IJINKAN AKU MENCATAT NAMA BESARMU DI CATATAN KECILKU
Sebuah pembicaraan kecil bersama Ibu, tentang dirimu, yang akan selalu kuingat sepanjang hidupku. Di sebuah beranda rumah kecil yang disampingnya terdapat pot-pot bunga anggrek yang tampak agak terlantar.
IBU : Kowe ngerti ra jenenge tanduran iki ? ( kamu tau nggak nama tanaman ini )
Kata Ibu sambil menunjuk sebuah tanaman di dalam pot yang diletakkan di tembok rendah pembatas teras.
Wah kupikir ibu sedang menge-tes pengetahuanku tentang tanaman. Mengingat aku sedang mendesain taman di halaman rumahnya.
AKU : Ini nama depan latinnya Scheflera, Bu...saya lupa nama kelanjutannya. Tapi orang kita mengenalnya dengan Tanaman Walisongo.
IBU : Jane salah. Sing bener wali iku onok sepuluh ( sebetulnya salah. Yang bener wali itu ada sepuluh )
Aku terkejut. Rupanya Ibu sedang tidak menge-tes ku tentang nama tanaman. Namun ada pembicaraan tersembunyi dibalik pertanyaannya tadi. Tentu saja aku terheran-heran dengan pernyataannya barusan. Dan mencoba menebak ke arah mana pembicaraan Ibu.
Sebelum aku bertanya lebih lanjut yang pastinya adalah : Siapa wali yang ke sepuluh itu. Namun Ibu sepertinya telah mengetahui apa yang terlintas di pikiranku, beliau langsung berkata :
IBU : Sing kesepuluh iku GUS DUR
Maka meledaklah tawaku dan ibupun tersenyum-senyum.
Malam ini, Rabu, 30 Desember 2009, Pukul 22.15 di tengah kabar bertubi-tubi tentang kepergianmu ke haribaan Illahi, ijinkan aku pada catatan kecil ini menyampaikan rasa penghormatan sebesar-besarnya padamu. Seseorang yang akan kukenang sebagai yang sangat kukagumi. Dan seorang WALI KESEPULUH .
Selamat jalan Gus. Ternyata benar, kita sesungguhnya tak perlu repot-repot.
*Ibu di sini adalah : Yang saya hormati Ibu Sinta Nuriyah Abdurrachman Wahid.
Perbincangan ini terjadi di sekitar tahun 2003
Bogor 1209
SELAYANG BAYANG
SELAMAT DATANG
adalah ruang di mana ada kehidupan yang saling menghidupi. Mungkin ada puisi, mungkin ada cerita, mungkin ada renungan atau oleh-oleh kecil atas sebuah perjalanan, mungkin ada imaji, bahkan mungkin sekedar omelan belaka. Suka maupun tak, apabila berkenan, tinggalkan jejak kata.
Apapun, selamat menikmati. Semoga menjadi inspirasi.
Terima kasih telah berkunjung.
Rabu, 30 Desember 2009
Selasa, 22 Desember 2009
PUISI
TAKIK ( CINTA ) LUKA
Bila sebuah waktu
Yang dilipatkah
Ketika kulihat
Kembali wajahmu
Termangu menatapku
Dengan cara yang kukenal
Di masa-masa itu
Sedangkan jarak tlah
Membentang jurang
Musim berganti
Jejak terhapus gelombang
Yang datang
Memeluk pantaiku
Dan bila kau bertanya
Apakah aku masih menyimpan
Takik-takik luka, maka
Akan kuanggukkan kepala
Bogor 1209
Bila sebuah waktu
Yang dilipatkah
Ketika kulihat
Kembali wajahmu
Termangu menatapku
Dengan cara yang kukenal
Di masa-masa itu
Sedangkan jarak tlah
Membentang jurang
Musim berganti
Jejak terhapus gelombang
Yang datang
Memeluk pantaiku
Dan bila kau bertanya
Apakah aku masih menyimpan
Takik-takik luka, maka
Akan kuanggukkan kepala
Bogor 1209
Jumat, 18 Desember 2009
PUISI
SEMALAM
Wahai, yang semalam tergolek di peraduanku
Melayang kabut selimut tenang telaga
Dari mana sajakah diri yang selalu kurindu
Harum tanah, serasah pinus, derik serangga
Wahai, dekap hangat dan wangi nafas
Ombak kecil menyisir pantai tenteram
Sesepi diri ini menunggu kehadiran
Ajakanmu akan sebuah perjalanan
Wahai, mimpi-mimpi kosong
Cerah langit malam elok rembulan
Dekap aku, dekap aku
Wahai, cakar-cakar kekar
Rimbun rimba rotan garang matahari
Cabik aku, cabik aku
Wahai, lengan-lengan kukuh
Badai-badai tujuh samudera
Telikung aku, telikung aku
Wahai, yang semalam menepi di bilikku
Desir angin nyanyi dedaunan
Pergilah hanya untuk kembali
Dentingan harpa dendang bidadari
Bogor 1209
Wahai, yang semalam tergolek di peraduanku
Melayang kabut selimut tenang telaga
Dari mana sajakah diri yang selalu kurindu
Harum tanah, serasah pinus, derik serangga
Wahai, dekap hangat dan wangi nafas
Ombak kecil menyisir pantai tenteram
Sesepi diri ini menunggu kehadiran
Ajakanmu akan sebuah perjalanan
Wahai, mimpi-mimpi kosong
Cerah langit malam elok rembulan
Dekap aku, dekap aku
Wahai, cakar-cakar kekar
Rimbun rimba rotan garang matahari
Cabik aku, cabik aku
Wahai, lengan-lengan kukuh
Badai-badai tujuh samudera
Telikung aku, telikung aku
Wahai, yang semalam menepi di bilikku
Desir angin nyanyi dedaunan
Pergilah hanya untuk kembali
Dentingan harpa dendang bidadari
Bogor 1209
Senin, 30 November 2009
PUISI
HUJAN AKHIR NOVEMBER
Seperti deras tubuhmu menghunjam bumi, hujan, betapa banyak sajak telah ditulis atas namamu. Juga malam yang memeluk gigil November, dingin, betapa rindu menepi di kehangatan rumah. Beku kaki melangkah, gemeretak jemari menggapai, manusia mencari nama di gelap masa lalunya. O kaki langit kian menjauh. Perjalanan tanpa batas waktu.
Seperti awan hitam mendekati api lampu, kelekatu, betapa banyak kematian atas namamu. Juga imajinasi-imajinasi yang dibagun di pantai, istana pasir, betapa selalu runtuh oleh ombak mendera. Lelah lunglai tubuh, berkerak pikir sudah, manusia menerka-nerka nasib di ragu masa depannya. O fajar kian lama menjemput. Perjalanan sia-sia
O apakah kukuh gunung kan selalu diam. Bila adalah tiang-tiang penopang langit yang runtuh kelak. O apakah samudra kan selalu terhampar. Bila adalah dasar-dasar huma yang berganti nanti
Dirimu, menjelma sosok fatamorgana dalam cermin. Tak tersebutkan.
Bogor 1109
Seperti deras tubuhmu menghunjam bumi, hujan, betapa banyak sajak telah ditulis atas namamu. Juga malam yang memeluk gigil November, dingin, betapa rindu menepi di kehangatan rumah. Beku kaki melangkah, gemeretak jemari menggapai, manusia mencari nama di gelap masa lalunya. O kaki langit kian menjauh. Perjalanan tanpa batas waktu.
Seperti awan hitam mendekati api lampu, kelekatu, betapa banyak kematian atas namamu. Juga imajinasi-imajinasi yang dibagun di pantai, istana pasir, betapa selalu runtuh oleh ombak mendera. Lelah lunglai tubuh, berkerak pikir sudah, manusia menerka-nerka nasib di ragu masa depannya. O fajar kian lama menjemput. Perjalanan sia-sia
O apakah kukuh gunung kan selalu diam. Bila adalah tiang-tiang penopang langit yang runtuh kelak. O apakah samudra kan selalu terhampar. Bila adalah dasar-dasar huma yang berganti nanti
Dirimu, menjelma sosok fatamorgana dalam cermin. Tak tersebutkan.
Bogor 1109
Sabtu, 14 November 2009
PUISI
SEBONGKAH MERAH HATI
Saat lampu dinyalakan
panggung membara tersapu
cahaya warna warni
Pemain tonil berjalan
perlahan mengendap lalu
menghilang di belakang
layar
Tiba seorang perempuan
menyeruak pentas
meludah
Kemudian lampu pun padam
penonton pulang membawa
sebongkah merah hati
*sebuah sajak lama kutulis ulang demi sebuah pertemuan denganmu pagi ini*
Lenteng Agung 91 – Bogor 09
Saat lampu dinyalakan
panggung membara tersapu
cahaya warna warni
Pemain tonil berjalan
perlahan mengendap lalu
menghilang di belakang
layar
Tiba seorang perempuan
menyeruak pentas
meludah
Kemudian lampu pun padam
penonton pulang membawa
sebongkah merah hati
*sebuah sajak lama kutulis ulang demi sebuah pertemuan denganmu pagi ini*
Lenteng Agung 91 – Bogor 09
Jumat, 30 Oktober 2009
CERPEN ; Fabel
KISAH RAJA MONYET UTARA
Tersebutlah sebuah hutan belantara yang luas yang dikuasai oleh para monyet. Belantara itu terbagi dalam empat kerajaan monyet yang masing-masing menguasai empat penjuru angin. Utara, Timur, Selatan dan Barat. Kerajaan-kerajaan itu seringkali berkelahi demi memperluas daerah kekuasaannya. Demi semakin luasnya daerah mereka untuk mencari makanan. Yakni buah-buahan.
Kerajaan-kerajaan monyet itu dipimpin oleh seekor monyet yang bertubuh paling besar dan berwajah lebih seram. Di keempat kerajaan monyet itu, pergantian puncak kekuasaan selalu dilakukan dengan perkelahian antar mereka. Kalau ada salah satu rakyat monyet yang merasa pantas memimpin kerajaan, maka dia akan menantang sang raja untuk berkelahi. Kalau dia menang, dia berhak menggantikan sang raja. Siapapun yang kalah maka dia akan diasingkan. Setelah beberapa saat baru diijinkan kembali ke kelompoknya. Itupun atas seijin sang raja yang sedang berkuasa.
Di Kerajaan Utara ada seekor monyet muda yang tumbuh dengan tubuh yang ideal untuk dijadikan raja. Namun oleh keluarganya, sang monyet muda ini tak diperbolehkan terlalu sering keluar sarangnya. Karena Sang Raja yang saat ini sedang berkuasa tidak ingin ada yang dapat mengalahkannya. Kalau Raja mendengar ada monyet muda yang tampak akan bertubuh besar, seperti yang pernah terjadi, dia akan mendatangi keluarga itu dan segera mengusirnya.
Sang monyet muda, meski disembunyikan, dia sangat rajin berlatih untuk mengembangkan otot-ototnya. Dia berlatih berayun dengan lincah dari pohon-ke pohon. Dia juga makan buah-buahan pilihan yang matang dan segar. Keluarganya sangat yakin dan berharap, dialah raja selanjutnya di Kerajaan Utara.
Pada suatu hari, Kerajaan Utara mendapat serangan dari Kerajaan Timur. Berhari-hari belantara ditingkahi oleh jerit dan teriakan-teriakan para monyet yang berkelahi. Meskipun begitu tetap sunyi senyap di malam hari. Karena saat itulah mereka beristirahat demi mengumpulkan tenaga untuk berkelahi esok.
Bagi yang kalah, mereka akan mundur beberapa jauh sampai batas di mana sang pemenang akan menentukan wilayahnya. Bagi pemenang, mereka akan mengambil wilayah secukupnya. Tak sampai menguasai seluruh wilayah yang kalah. Jadi, belantara akan selalu tetap terbagi dalam empat kerajaan.
Inilah saatnya sang monyet muda keluar dari persembunyian dan turut berkelahi melawan Kerajaan Timur. Ternyata, berkat sang monyet muda, Kerajaan Utara dapat mempertahankan daerah kekuasaannya dari serbuan Kerajaan Timur. Mereka berhasil memukul mundur para penyerbu itu. Kini rakyat Kerajaan Utara mendapat pahlawan baru. Yakni seekor monyet muda yang keluar dari persembunyiannya. Monyet mudapun itu dielu-elukan oleh seluruh rakyat monyet utara.
Hal ini menimbulkan rasa kecemburuan dari sang Raja. Raja Monyet Utara menantang sang pahlawan untuk berkelahi. Monyet muda bersedia namun dengan tahta kerajaan sebagai taruhannya. Karena sudah berada dipuncak amarahnya, tanpa berpikir panjang, Sang Raja Monyetpun bersedia. Maka pertarunganpun digelar. Kedua monyet berkelahi dengan seru. Saling mencakar, menarik, membanting, mendorong, memukul, menendang, menggigit. Melakukan apapun yang bisa dilakukan. Karena mereka adalah monyet.
Setelah beberapa lama berkelahi, sang Raja Monyet Utarapun menyerah kalah. Dan seperti biasa, sang pecundangpun diasingkan dari masyarakat. Dan kini rakyat Kerajaan Utara mendapatkan raja baru.
Namun raja muda baru ini ternyata mempunyai sifat yang berbeda dari raja yang lama. Raja lama, meski kejam tapi suka bekerja keras tak suka bermalas-malasan. Pekerjaan apapun dilakukannya sendiri. Tapi raja muda baru malah sebaliknya. Setelah mencapai tampuk puncak kekuasaan dia malah menjadi pemalas. Selalu ingin dilayani oleh rakyatnya. Selalu menyuruh ini dan itu. Tanpa mau melakukannya sendiri.
Karena sifat pemalasnya, tubuh raja muda yang tadinya tegap dengan otot-otot kekar dan terlatih menjadi gemuk dan lembek. Tubuhnya kini hanyalah sebuah timbunan lemak berjalan. Untuk bergerakpun dia tampak susah payah.
Ini menjadi kesedihan seluruh rakyat monyet utara. Pahlawan mereka tak segagah dulu. Karena kekuasaan telah merubahnya menjadi seekor monyet gemuk yang pemalas. Rakyat monyet Utara mulai khawatir kalau-kalau ada serbuan lagi dari kerajaan lain. Bagaimana seorang Raja yang kegemukan dan tak terlatih dapat memimpin rakyatnya berkelahi mempertahankan wilayahnya ?
Dan ternyata memang benar adanya. Kerajaan monyet Timur yang telah dikalahkan oleh kerajaan monyet Utara mendengar desas desus itu. Raja monyet Timur merasa inilah kesempatan menyerbu kembali ke utara. Maka pada suatu hari diadakanlah penyerbuan kembali ke Utara.
Kembali belantara di warnai oleh teriakan dan jeritan perkelahian. Kembali berhari-hari para monyet itu bertempur. Namun seperti yang dikhawatirkan oleh rakyat kerajaan monyet Utara, Sang Raja tak mampu memimpin rakyatnya. Dan Kerajaan Utara mengalami kekalahan yang telak. Hampir separuh wilayahnya dikuasai oleh Kerajaan Timur. Dan yang lebih menyedihkan, Raja mereka hilang dalam pertempuran. Kini rakyat monyet Utara harus memilih kembali Raja mereka. Sambil berharap Sang Raja nantinya dapat kembali merebut wilayah mereka yang terampas. ****
Tersebutlah sebuah hutan belantara yang luas yang dikuasai oleh para monyet. Belantara itu terbagi dalam empat kerajaan monyet yang masing-masing menguasai empat penjuru angin. Utara, Timur, Selatan dan Barat. Kerajaan-kerajaan itu seringkali berkelahi demi memperluas daerah kekuasaannya. Demi semakin luasnya daerah mereka untuk mencari makanan. Yakni buah-buahan.
Kerajaan-kerajaan monyet itu dipimpin oleh seekor monyet yang bertubuh paling besar dan berwajah lebih seram. Di keempat kerajaan monyet itu, pergantian puncak kekuasaan selalu dilakukan dengan perkelahian antar mereka. Kalau ada salah satu rakyat monyet yang merasa pantas memimpin kerajaan, maka dia akan menantang sang raja untuk berkelahi. Kalau dia menang, dia berhak menggantikan sang raja. Siapapun yang kalah maka dia akan diasingkan. Setelah beberapa saat baru diijinkan kembali ke kelompoknya. Itupun atas seijin sang raja yang sedang berkuasa.
Di Kerajaan Utara ada seekor monyet muda yang tumbuh dengan tubuh yang ideal untuk dijadikan raja. Namun oleh keluarganya, sang monyet muda ini tak diperbolehkan terlalu sering keluar sarangnya. Karena Sang Raja yang saat ini sedang berkuasa tidak ingin ada yang dapat mengalahkannya. Kalau Raja mendengar ada monyet muda yang tampak akan bertubuh besar, seperti yang pernah terjadi, dia akan mendatangi keluarga itu dan segera mengusirnya.
Sang monyet muda, meski disembunyikan, dia sangat rajin berlatih untuk mengembangkan otot-ototnya. Dia berlatih berayun dengan lincah dari pohon-ke pohon. Dia juga makan buah-buahan pilihan yang matang dan segar. Keluarganya sangat yakin dan berharap, dialah raja selanjutnya di Kerajaan Utara.
Pada suatu hari, Kerajaan Utara mendapat serangan dari Kerajaan Timur. Berhari-hari belantara ditingkahi oleh jerit dan teriakan-teriakan para monyet yang berkelahi. Meskipun begitu tetap sunyi senyap di malam hari. Karena saat itulah mereka beristirahat demi mengumpulkan tenaga untuk berkelahi esok.
Bagi yang kalah, mereka akan mundur beberapa jauh sampai batas di mana sang pemenang akan menentukan wilayahnya. Bagi pemenang, mereka akan mengambil wilayah secukupnya. Tak sampai menguasai seluruh wilayah yang kalah. Jadi, belantara akan selalu tetap terbagi dalam empat kerajaan.
Inilah saatnya sang monyet muda keluar dari persembunyian dan turut berkelahi melawan Kerajaan Timur. Ternyata, berkat sang monyet muda, Kerajaan Utara dapat mempertahankan daerah kekuasaannya dari serbuan Kerajaan Timur. Mereka berhasil memukul mundur para penyerbu itu. Kini rakyat Kerajaan Utara mendapat pahlawan baru. Yakni seekor monyet muda yang keluar dari persembunyiannya. Monyet mudapun itu dielu-elukan oleh seluruh rakyat monyet utara.
Hal ini menimbulkan rasa kecemburuan dari sang Raja. Raja Monyet Utara menantang sang pahlawan untuk berkelahi. Monyet muda bersedia namun dengan tahta kerajaan sebagai taruhannya. Karena sudah berada dipuncak amarahnya, tanpa berpikir panjang, Sang Raja Monyetpun bersedia. Maka pertarunganpun digelar. Kedua monyet berkelahi dengan seru. Saling mencakar, menarik, membanting, mendorong, memukul, menendang, menggigit. Melakukan apapun yang bisa dilakukan. Karena mereka adalah monyet.
Setelah beberapa lama berkelahi, sang Raja Monyet Utarapun menyerah kalah. Dan seperti biasa, sang pecundangpun diasingkan dari masyarakat. Dan kini rakyat Kerajaan Utara mendapatkan raja baru.
Namun raja muda baru ini ternyata mempunyai sifat yang berbeda dari raja yang lama. Raja lama, meski kejam tapi suka bekerja keras tak suka bermalas-malasan. Pekerjaan apapun dilakukannya sendiri. Tapi raja muda baru malah sebaliknya. Setelah mencapai tampuk puncak kekuasaan dia malah menjadi pemalas. Selalu ingin dilayani oleh rakyatnya. Selalu menyuruh ini dan itu. Tanpa mau melakukannya sendiri.
Karena sifat pemalasnya, tubuh raja muda yang tadinya tegap dengan otot-otot kekar dan terlatih menjadi gemuk dan lembek. Tubuhnya kini hanyalah sebuah timbunan lemak berjalan. Untuk bergerakpun dia tampak susah payah.
Ini menjadi kesedihan seluruh rakyat monyet utara. Pahlawan mereka tak segagah dulu. Karena kekuasaan telah merubahnya menjadi seekor monyet gemuk yang pemalas. Rakyat monyet Utara mulai khawatir kalau-kalau ada serbuan lagi dari kerajaan lain. Bagaimana seorang Raja yang kegemukan dan tak terlatih dapat memimpin rakyatnya berkelahi mempertahankan wilayahnya ?
Dan ternyata memang benar adanya. Kerajaan monyet Timur yang telah dikalahkan oleh kerajaan monyet Utara mendengar desas desus itu. Raja monyet Timur merasa inilah kesempatan menyerbu kembali ke utara. Maka pada suatu hari diadakanlah penyerbuan kembali ke Utara.
Kembali belantara di warnai oleh teriakan dan jeritan perkelahian. Kembali berhari-hari para monyet itu bertempur. Namun seperti yang dikhawatirkan oleh rakyat kerajaan monyet Utara, Sang Raja tak mampu memimpin rakyatnya. Dan Kerajaan Utara mengalami kekalahan yang telak. Hampir separuh wilayahnya dikuasai oleh Kerajaan Timur. Dan yang lebih menyedihkan, Raja mereka hilang dalam pertempuran. Kini rakyat monyet Utara harus memilih kembali Raja mereka. Sambil berharap Sang Raja nantinya dapat kembali merebut wilayah mereka yang terampas. ****
Minggu, 18 Oktober 2009
CELOTEH
MEDITASI JALAN KAKI DUA LANGKAH SATU DETIK
06.22
Jalan Juanda masih lengang. Tepat di tepi pagar Kebun Raya. Akar gantung pohon-pohon besar terburai di atas trotoar yang rapi. Oksigen memenuhi udara. Berpapasan dengan sepasang pejalan kaki sedang aku sendiri. Angin bertiup agak kencang. Matahari memaksa menerobos rapat dedaunan dan akar besar saling bersilang. Tapi di kejauhan dia memandikan sebuah bangunan pertokoan besar Bogor Trade Mall. Meditasi kumulai.
Berjalan dua langkah satu detik. Menghisap hembuskan udara dengan teratur. Riuh angkot hijau saling bersilang berebut penumpang yang berdiri di tepi jalan. Penjual gorengan, dua perempuan muda, keranjang-keranjang penuh dengan talas, keranjang penuh emping mentah, dua orang bapak-bapak jongkok bersandar pagar, merokok. Aku meliuk di antaranya.
Lengang Museum Zoologi, tak demikian dengan di seberang. Deretan angkot hijau dan biru, pedagang sayur mayur, jagung tumpah ke jalan, juga merah ranum wortel. Aku bermeditasi jalan kaki dua langkah satu detik.
Sebuah keluarga dengan satu bayi di gendongan ibunya dan seorang balita di tangan bapaknya menunggu pintu besar Kebun Raya dibuka. Tak kepagiankah, Pak ? Seorang gadis berambut lurus panjang berdiri bersandar di pagar. Tangannya lincah memainkan tombol telpon seluler. Mulutnya menyungging senyuman. Ah, indahnya pagi. Di seberangnya angkot hijau menyesaki jalan ke arah Pasar Bogor. Sebuah truk sampah kuning parkir di tepinya. Matahari menyalak.
Disergap keteduhan. Seperti tangan-tangan raksasa dari dalam Kebun Raya dahan dan ranting memanjang keluar, ke jalanan. Tajuknya rindang memayung. Aku menari di antara pedagang kelinci, marmut, talas, alpukat, suplir, pedagang menaik turunkan karung-karung dari kendaraan. Pada jalan menurun di trotoar yang lembab. Tiba-tiba bau pesing mengepung.
Jalan kembali lengang dan menanjak. Seorang pemuda berdandan ala punk duduk di pagar jembatan sungai Ciliwung. Menatap kosong ke depan. Tampaknya dia baru bangun dari tidurnya. Seorang ibu bergegas menuntun anak perempuan berseragam pramuka. Lebih tampak diseret daripada dituntun. Meditasiku mulai terasa di otot yang bekerja dengan keras. Jantung konstan berhitung.
Tugu Kujang belum padat oleh angkot hijau. Kupikir Pemkot sudah meresmikan pelebaran terminal Baranangsiang hingga ke sini. Terbukti ada pagar beton pemisah antara kendaraan umum yang berhenti dan kendaraan lain yang berjalan. Lebih siang lagi di bawah Tugu ini akan menjadi sebuah terminal kecil. Di sini juga ada sebuah Pos Polisi. Tampak beberapa pemuda ala punk ada di sekelilingnya. Entah sedang apa.
Jalan Pajajaran mulai ramai. Keteduhan pohon-pohon besar tinggi memanjang. Gedung tua IPB yang dingin. Isi buah kapuk berhamburan menari-nari ditiup angin. Bermacam kendaraan kendaraan kejar mengejar memutar hari. Juga di trotoar ini, banyak orang berolah raga pagi. Matahari menjilat jalanan.
Menuruni jalan Jalak Harupat. Kendaraan berpacu di aspal yang mulus, lebar dan lengang. Mengejar hari ini. Begitu juga diriku. Beberapa orang pejalan kaki kususul dan kian jauh tertinggal di belakang. Tapi aku tak mengejar apa-apa.
Tap. Tap. Tap. Dua langkah satu detik. Keringat deras bercucuran. Lapangan Sempur di kejauhan. Flamboyan seberang jalan memayung hingga ke seberang. O Flamboyan manakah bunga-bungamu ?. Seorang laki-laki dengan sebuah sepeda di sampingnya berdiri di jembatan. Memandang ke arah sungai Ciliwung. Ada seorang laki-laki membuang hajat di bawah sana. Di antara babatuan besar. Ah, laki-laki bersepeda, kau tak sedang memperhatikan laki-laki yang sedang membuang hajat itu kan ?
Di ujung jembatan bertemu kembali dengan pasangan pejalan kaki yang tadi kujumpai. Mereka duduk di pagar beton pinggir jembatan. Sang laki-laki menyeka keringat yang bercucuran di kening perempuan. Sang perempuan menunduk. Kecapekan, tampaknya. Dan kulihat perutnya. Dia sedang hamil muda. Langkahku kian menanjak.
Terus melangkah dengan keringat berlelehan. Beberapa sendi kaki mulia ngilu, otot-otot tubuhpun turut menegang. Aroma bunga tanjung menyergap, menguasai hingga tikungan pos jaga Paspampres - Gerbang utama Istana Bogor. Lalu lenyap ditelan hiruk pikur pertigaan Juanda – Sudirman – Jalak Harupat. Angkot menaik turunkan penumpang. Anak-anak sekolah, pekerja, karyawan dan serombongan keluarga yang hendak berwisata di tepi pagar istana. Memberi makan kijang-kijang. Sebuah mobil kijang terbuka semua jendelanya melintas. Dari dalamnya berdebum lagu “Bento” Iwan Fals.
Kembali ke jalan Juanda. Lalu lintas mulai riuh dengan aktifitas penghuni kota. Kijang-kijang mendekat di pagar. Menunggu peziarah menyodorkan wortel atau hijauan. Di kejauhan Istana berkilau berselubung cahaya matahari. Cahaya yang juga menyusur hijau rerumputan. Membentur dan diredam pohon-pohon besar.
Depan Gedung tua SMA 1 bau aspal baru digelar menyergap. Tampak jalanan hitam mengkilat belum banyak terinjak. Beberapa kendaraan pembuat jalan teronggok kelelahan ditepiannya. Mungkin telah bekerja keras semalaman. Berlawanan dengan berpuluh orang karyawan yang sedang menunggu bus jemputan. Tampak segar dan ceria. Menggoda perempuan-perempuan dalam angkot yang melintas pelan.
Menjelang Kantor Pos Besar langkah kuperlambat. Mengendapkan cahaya matahari mengapungkan kesadaran bumi. Meski masih terengah namun muncul kebahagiaan. Tak ada kesadaran tanpa jalan pikiran. “ Tiada pikiran atau dunia untuk disandari, keduanya bereaksi timbal balik”– Zen. Meditasi saatnya kuakhiri. Mereguk sebotol air putih dan kembali bergabung ke alam nyata.
07.14
Bogor 1009
06.22
Jalan Juanda masih lengang. Tepat di tepi pagar Kebun Raya. Akar gantung pohon-pohon besar terburai di atas trotoar yang rapi. Oksigen memenuhi udara. Berpapasan dengan sepasang pejalan kaki sedang aku sendiri. Angin bertiup agak kencang. Matahari memaksa menerobos rapat dedaunan dan akar besar saling bersilang. Tapi di kejauhan dia memandikan sebuah bangunan pertokoan besar Bogor Trade Mall. Meditasi kumulai.
Berjalan dua langkah satu detik. Menghisap hembuskan udara dengan teratur. Riuh angkot hijau saling bersilang berebut penumpang yang berdiri di tepi jalan. Penjual gorengan, dua perempuan muda, keranjang-keranjang penuh dengan talas, keranjang penuh emping mentah, dua orang bapak-bapak jongkok bersandar pagar, merokok. Aku meliuk di antaranya.
Lengang Museum Zoologi, tak demikian dengan di seberang. Deretan angkot hijau dan biru, pedagang sayur mayur, jagung tumpah ke jalan, juga merah ranum wortel. Aku bermeditasi jalan kaki dua langkah satu detik.
Sebuah keluarga dengan satu bayi di gendongan ibunya dan seorang balita di tangan bapaknya menunggu pintu besar Kebun Raya dibuka. Tak kepagiankah, Pak ? Seorang gadis berambut lurus panjang berdiri bersandar di pagar. Tangannya lincah memainkan tombol telpon seluler. Mulutnya menyungging senyuman. Ah, indahnya pagi. Di seberangnya angkot hijau menyesaki jalan ke arah Pasar Bogor. Sebuah truk sampah kuning parkir di tepinya. Matahari menyalak.
Disergap keteduhan. Seperti tangan-tangan raksasa dari dalam Kebun Raya dahan dan ranting memanjang keluar, ke jalanan. Tajuknya rindang memayung. Aku menari di antara pedagang kelinci, marmut, talas, alpukat, suplir, pedagang menaik turunkan karung-karung dari kendaraan. Pada jalan menurun di trotoar yang lembab. Tiba-tiba bau pesing mengepung.
Jalan kembali lengang dan menanjak. Seorang pemuda berdandan ala punk duduk di pagar jembatan sungai Ciliwung. Menatap kosong ke depan. Tampaknya dia baru bangun dari tidurnya. Seorang ibu bergegas menuntun anak perempuan berseragam pramuka. Lebih tampak diseret daripada dituntun. Meditasiku mulai terasa di otot yang bekerja dengan keras. Jantung konstan berhitung.
Tugu Kujang belum padat oleh angkot hijau. Kupikir Pemkot sudah meresmikan pelebaran terminal Baranangsiang hingga ke sini. Terbukti ada pagar beton pemisah antara kendaraan umum yang berhenti dan kendaraan lain yang berjalan. Lebih siang lagi di bawah Tugu ini akan menjadi sebuah terminal kecil. Di sini juga ada sebuah Pos Polisi. Tampak beberapa pemuda ala punk ada di sekelilingnya. Entah sedang apa.
Jalan Pajajaran mulai ramai. Keteduhan pohon-pohon besar tinggi memanjang. Gedung tua IPB yang dingin. Isi buah kapuk berhamburan menari-nari ditiup angin. Bermacam kendaraan kendaraan kejar mengejar memutar hari. Juga di trotoar ini, banyak orang berolah raga pagi. Matahari menjilat jalanan.
Menuruni jalan Jalak Harupat. Kendaraan berpacu di aspal yang mulus, lebar dan lengang. Mengejar hari ini. Begitu juga diriku. Beberapa orang pejalan kaki kususul dan kian jauh tertinggal di belakang. Tapi aku tak mengejar apa-apa.
Tap. Tap. Tap. Dua langkah satu detik. Keringat deras bercucuran. Lapangan Sempur di kejauhan. Flamboyan seberang jalan memayung hingga ke seberang. O Flamboyan manakah bunga-bungamu ?. Seorang laki-laki dengan sebuah sepeda di sampingnya berdiri di jembatan. Memandang ke arah sungai Ciliwung. Ada seorang laki-laki membuang hajat di bawah sana. Di antara babatuan besar. Ah, laki-laki bersepeda, kau tak sedang memperhatikan laki-laki yang sedang membuang hajat itu kan ?
Di ujung jembatan bertemu kembali dengan pasangan pejalan kaki yang tadi kujumpai. Mereka duduk di pagar beton pinggir jembatan. Sang laki-laki menyeka keringat yang bercucuran di kening perempuan. Sang perempuan menunduk. Kecapekan, tampaknya. Dan kulihat perutnya. Dia sedang hamil muda. Langkahku kian menanjak.
Terus melangkah dengan keringat berlelehan. Beberapa sendi kaki mulia ngilu, otot-otot tubuhpun turut menegang. Aroma bunga tanjung menyergap, menguasai hingga tikungan pos jaga Paspampres - Gerbang utama Istana Bogor. Lalu lenyap ditelan hiruk pikur pertigaan Juanda – Sudirman – Jalak Harupat. Angkot menaik turunkan penumpang. Anak-anak sekolah, pekerja, karyawan dan serombongan keluarga yang hendak berwisata di tepi pagar istana. Memberi makan kijang-kijang. Sebuah mobil kijang terbuka semua jendelanya melintas. Dari dalamnya berdebum lagu “Bento” Iwan Fals.
Kembali ke jalan Juanda. Lalu lintas mulai riuh dengan aktifitas penghuni kota. Kijang-kijang mendekat di pagar. Menunggu peziarah menyodorkan wortel atau hijauan. Di kejauhan Istana berkilau berselubung cahaya matahari. Cahaya yang juga menyusur hijau rerumputan. Membentur dan diredam pohon-pohon besar.
Depan Gedung tua SMA 1 bau aspal baru digelar menyergap. Tampak jalanan hitam mengkilat belum banyak terinjak. Beberapa kendaraan pembuat jalan teronggok kelelahan ditepiannya. Mungkin telah bekerja keras semalaman. Berlawanan dengan berpuluh orang karyawan yang sedang menunggu bus jemputan. Tampak segar dan ceria. Menggoda perempuan-perempuan dalam angkot yang melintas pelan.
Menjelang Kantor Pos Besar langkah kuperlambat. Mengendapkan cahaya matahari mengapungkan kesadaran bumi. Meski masih terengah namun muncul kebahagiaan. Tak ada kesadaran tanpa jalan pikiran. “ Tiada pikiran atau dunia untuk disandari, keduanya bereaksi timbal balik”– Zen. Meditasi saatnya kuakhiri. Mereguk sebotol air putih dan kembali bergabung ke alam nyata.
07.14
Bogor 1009
Jumat, 16 Oktober 2009
PUISI
POLITIK
Mana kelerengmu, ini kelerengku
Mari bermain hingga lelah tiba
Aduk dia dalam genggaman tangan
Hantam, hantamkan pada dinding
Prak
Biji siapakah terjauh
Dia bermain duluan
Bidik
Siapa terdekat
Sasaran ternikmat
Lesatkan, tembakkan
Siapa terkena
Mundur dari gelanggang
Pabila meleset
Jangan kecewa
Tunggu giliran selanjutnya
Hey
Jangan bermain api
Melangkah bukan saatnya
Hey
Jangan mencuri jarak
Agar sasaran mudah ditembak
Sisa berapa kelerengmu, ini kelerengku
Mari terus bermain hingga habis tandas
Bogor 1009
Mana kelerengmu, ini kelerengku
Mari bermain hingga lelah tiba
Aduk dia dalam genggaman tangan
Hantam, hantamkan pada dinding
Prak
Biji siapakah terjauh
Dia bermain duluan
Bidik
Siapa terdekat
Sasaran ternikmat
Lesatkan, tembakkan
Siapa terkena
Mundur dari gelanggang
Pabila meleset
Jangan kecewa
Tunggu giliran selanjutnya
Hey
Jangan bermain api
Melangkah bukan saatnya
Hey
Jangan mencuri jarak
Agar sasaran mudah ditembak
Sisa berapa kelerengmu, ini kelerengku
Mari terus bermain hingga habis tandas
Bogor 1009
PUISI
RAPUH
Tiang gawang tiang bambu saksi bisu sepuluh anak bermain bola kehilangan tanah lapang bengkah gempa. Gempa bisu gempa bermain bola sepuluh anak hilang tiang gawang negeri patah. Patah tanah lapang patah negeri sepuluh anak bermain bola bisu bambu tertiup angin semilir. O negeri rawan kapan berhenti bermain gempa. O tiang negeri nan rapuh bisu kehilangan sepuluh anak bermain bola.
Bogor 1009
Tiang gawang tiang bambu saksi bisu sepuluh anak bermain bola kehilangan tanah lapang bengkah gempa. Gempa bisu gempa bermain bola sepuluh anak hilang tiang gawang negeri patah. Patah tanah lapang patah negeri sepuluh anak bermain bola bisu bambu tertiup angin semilir. O negeri rawan kapan berhenti bermain gempa. O tiang negeri nan rapuh bisu kehilangan sepuluh anak bermain bola.
Bogor 1009
Rabu, 07 Oktober 2009
PUISI
AKU INGIN MEMANDANGMU TANPA JARAK
Dari tempat tanpa pijak
Aku ingin memandangmu
tanpa jarak
Bogor 1009
Dari tempat tanpa pijak
Aku ingin memandangmu
tanpa jarak
Bogor 1009
Jumat, 11 September 2009
PUISI
TERPAKU
O tidak
Tak satupun keluar
Dari sebutir kepalaku
Untuk menjemputmu
O sajak
O tidak
Tak hendak bergerak
Dari sebatang tubuhku
Untuk meraihmu
O gejolak
O tidak
Tak sebaitpun berbunyi
Dari sebongkah lidah
Untuk memagutmu
O kekasih
Bogor 0909
O tidak
Tak satupun keluar
Dari sebutir kepalaku
Untuk menjemputmu
O sajak
O tidak
Tak hendak bergerak
Dari sebatang tubuhku
Untuk meraihmu
O gejolak
O tidak
Tak sebaitpun berbunyi
Dari sebongkah lidah
Untuk memagutmu
O kekasih
Bogor 0909
Selasa, 08 September 2009
PUISI
SUDUT
Mencari celah menemuimu
di lautan dzikir ku tersudut
antara pusara-pusara penanda
bahwa esok segera
bergabung dalam samudra
putih pekat
Bogor 0909
Mencari celah menemuimu
di lautan dzikir ku tersudut
antara pusara-pusara penanda
bahwa esok segera
bergabung dalam samudra
putih pekat
Bogor 0909
PUISI
DIAM
Dalam setangkup tangan ruang mengembang dengan batas tak terhingga
Dan kau, pemiliknya, hanya duduk berdiam di tepi mengamati
Setiap sarang gemintang hidup dan mati
Bogor 0909
Dalam setangkup tangan ruang mengembang dengan batas tak terhingga
Dan kau, pemiliknya, hanya duduk berdiam di tepi mengamati
Setiap sarang gemintang hidup dan mati
Bogor 0909
Sabtu, 05 September 2009
CERPEN
GADIS PENJAGA KIOS TELEPON SELULER
Setiap kali lewat kios telepon seluler itu kepalaku selalu menengok ke kiri. Ada yang menyita perhatian di sana. Seorang gadis manis penjaga kios itu. Bermata bulat, rambut diekor kuda dan berbibir mungil. Nah ! betapa aku telah memperhatikannya. Bahkan hampir setiap detailnya.
Selewat dari kios itu selalu timbul perasaan, rasanya aku mengenal gadis itu. Tapi siapa dan di mana ? Dalam perjalanan selepas dari kios itu pernah aku bertarung dengan diriku sendiri. Ada sisi lain dari diriku yang berkata ; Ah, kau mulai cari-cari alasan saja. Sama saja kau dengan pemuda-pemuda yang lagi dimabuk cinta. Klise lah. Sok merasa pernah kenal di mana. Lalu suatu hari kau datangi kios itu. Kau tersenyum. Kau salami dia. Dan lalu berkata : Hai, rasanya pernah kenal. Tapi di mana ya ? Lalu gadis itu tersipu-sipu atas pertanyaanmu. Dan dengan sigap kau berondong dia dengan pertanyaan selanjutnya : Namanya siapa ? Boleh tahu nomor hpnya ? Kalau kau mendapat jawaban atas pertanyaan itu maka kau segera kembali bertanya : Jam berapa off ? Boleh aku antar pulang atau sebelumnya minum barang sebentar. Ah, kau.
Tidak, aku sungguh pernah mengenal wajah itu ; kata sisi diriku yang lain. Seseorang dari masa lalu. Tahukah kau bahwa dalam hidupku, sebelum aku menikah ini, aku pernah beberapa kali kehilangan perempuan yang dekat dengan hidupku. Bibiku, pacarku, dan satu perempuan yang diam-diam kucintai tapi kemudian dilamar orang.
Tapi lalu bagaimana ? Apakah kau akan segera mendekatinya, dan bertanya ; apakah kau dari masa laluku ? Hah ! Tak mungkin lah ! Kurasa kau cuma sedang jatuh cinta saja lalu mencari-cari alasan untuk mendekati dia.
Lalu kedua dirikupun menyatu menjadi diriku sendiri. Menyisakan pertanyaan besar, akankah suatu hari aku akan menghampiri lalu menyapanya ?
Suatu hari aku lewat lagi kios telepon seluler itu. Kepalaku menengok ke kiri. Gadis itu ada di sana dan tersenyum padaku. Dia memang mirip seseorang dari masa laluku, entah siapa.
Bogor 0909
Setiap kali lewat kios telepon seluler itu kepalaku selalu menengok ke kiri. Ada yang menyita perhatian di sana. Seorang gadis manis penjaga kios itu. Bermata bulat, rambut diekor kuda dan berbibir mungil. Nah ! betapa aku telah memperhatikannya. Bahkan hampir setiap detailnya.
Selewat dari kios itu selalu timbul perasaan, rasanya aku mengenal gadis itu. Tapi siapa dan di mana ? Dalam perjalanan selepas dari kios itu pernah aku bertarung dengan diriku sendiri. Ada sisi lain dari diriku yang berkata ; Ah, kau mulai cari-cari alasan saja. Sama saja kau dengan pemuda-pemuda yang lagi dimabuk cinta. Klise lah. Sok merasa pernah kenal di mana. Lalu suatu hari kau datangi kios itu. Kau tersenyum. Kau salami dia. Dan lalu berkata : Hai, rasanya pernah kenal. Tapi di mana ya ? Lalu gadis itu tersipu-sipu atas pertanyaanmu. Dan dengan sigap kau berondong dia dengan pertanyaan selanjutnya : Namanya siapa ? Boleh tahu nomor hpnya ? Kalau kau mendapat jawaban atas pertanyaan itu maka kau segera kembali bertanya : Jam berapa off ? Boleh aku antar pulang atau sebelumnya minum barang sebentar. Ah, kau.
Tidak, aku sungguh pernah mengenal wajah itu ; kata sisi diriku yang lain. Seseorang dari masa lalu. Tahukah kau bahwa dalam hidupku, sebelum aku menikah ini, aku pernah beberapa kali kehilangan perempuan yang dekat dengan hidupku. Bibiku, pacarku, dan satu perempuan yang diam-diam kucintai tapi kemudian dilamar orang.
Tapi lalu bagaimana ? Apakah kau akan segera mendekatinya, dan bertanya ; apakah kau dari masa laluku ? Hah ! Tak mungkin lah ! Kurasa kau cuma sedang jatuh cinta saja lalu mencari-cari alasan untuk mendekati dia.
Lalu kedua dirikupun menyatu menjadi diriku sendiri. Menyisakan pertanyaan besar, akankah suatu hari aku akan menghampiri lalu menyapanya ?
Suatu hari aku lewat lagi kios telepon seluler itu. Kepalaku menengok ke kiri. Gadis itu ada di sana dan tersenyum padaku. Dia memang mirip seseorang dari masa laluku, entah siapa.
Bogor 0909
Jumat, 04 September 2009
CELOTEH
TETANGGA OH TETANGGA
Hidup bertetangga itu susah susah mudah. Pengalaman saya hidup bertetangga selama ini membuktikannya. Pernah tinggal di sebuah pemukiman yang padat di kota besar. Di mana setiap pintu rumah berjarak sepelangkahan kaki membuat apapun yang dibicarakan bahkan dibisikan terdengar pula oleh tetangga sebelah. Sesuatu hal negatif yang sesungguhnya bukan kita sasarannya, telinga ikut panas dibuatnya. Jangan tanya kalau tetangga atau kita sendiri sedang memasak makanan. Seluruh kampung bisa kenyang atau lapar bersama dibuatnya. Namun hal positif yang didapat dari lingkungan seperti itu adalah kebersamaan yang dalam. Setiap warga dituntut untuk membuka hati lebar-lebar agar dapat menerima apapun dari tetangga. Saling menegur dan mengingatkan satu sama lain menjadi hal yang lumrah karena setiap kali dapat bertatap muka dan saling sapa.
Pernah pula tinggal di pemukiman teratur rapi, tepi jalan umum, di pinggiran kota. Di mana terdapat pagar-pagar tinggi membatasi satu sama lain. Hanya mengenal tetangga kiri kanan dan depan ( seberang jalan ) saja. Itupun karena keperluan yang sangat mendesak, yakni meminta ijin memasang sesuatu di rumah kita sehingga mengganggu atau menggunakan properti rumah depan atau sebelah. Selebihnya, mungkin hanya saling melempar senyum ketika membuka pintu pagar hendak mengeluarkan mobil. Enaknya dalam lingkungan seperti ini, kita mendapatkan privasi yang lebih besar daripada di pemukiman padat. Tak perlu panas kuping mendengar omongan tetangga karena memang sangat jarang yang didengar. Karena terhalang pandang, tak perlu panas hati bila tetangga membeli alat elektonik atau mebel baru. Namun rasa kebersamaan di pemukiman ini sangatlah kurang. Di sini berlaku prinsip, asal bayar iuran ( yang boleh jadi bernilai besar ), selesai semua urusan. Terima jadi aja deh.
Dinamika bertetangga juga unik. Cerita anak tetangga yang mencuri jambu atau mangga di halaman kita. Cerita parkir mobil yang menghalangi pintu. Hingga ke urusan-urusan yang lebih domestik ( rumah tangga ) dan sensitif. Hutang piutang, misalnya. Tak urung terjadi pergesekan antar tetangga. Juga cerita-cerita baik tentang kerjasama demi keamanan bersama. Saling membantu bila sedang tertimpa kesusahan. Bahkan saling menjaga – meski cuma melihat-lihat sepintas saja – rumah yang ditinggal penghuninya untuk waktu yang agak lama.
Dalam bertetangga memang sangat dibutuhkan sebuah kedewasaan berpikir. Bahwa bertetangga –terutama yang bakal menetap selamanya – akan terus menerus saling bersinggungan satu sama lain. Bahwa bertetangga akan selalu tampak muka dan tampak punggung. Betapa konyolnya apabila bahwa tetangga yang saling berhimpitan dinding selalu terdapat perasaan saling curiga satu sama lain. Hidup menjadi sangat tak nyaman, bukan.
Juga dalam bertetangga negara. Sangat tak nyaman bila keduanya saling mengganggu. Sangat tak nyaman memang bila anak-anak ( bangsanya ) nya berbuat kriminal di rumah orang lain. Mencuri dan mendaku properti tetangganya. Entah disengaja atau tidak. Bukankah setiap anak-anak bangsa juga mempunyai kecerdasan berpikir dan ketinggian budaya ? Lain soal lagi bila memang berniat menduduki rumah ( negara ) tetangganya. Ah, norak, kampungan dan mempermalukan diri sendiri, bukan ?
Dalam tabiat bertetangga, tak dapat dimungkiri, ada sedikit iri hati bila melihat tetangga membeli kulkas baru, meubel baru atau memperbesar rumahnya. Tetapi sekali lagi, mengganggu tetangga adalah sebuah perbuatan yang tercela. Apalagi sebagai tetangga sesama negara yang mayoritas muslim. Nabi Muhammad SAW telah memberikan contoh bagaimana memuliakan tetangga, bukan.
Bogor 0909
Hidup bertetangga itu susah susah mudah. Pengalaman saya hidup bertetangga selama ini membuktikannya. Pernah tinggal di sebuah pemukiman yang padat di kota besar. Di mana setiap pintu rumah berjarak sepelangkahan kaki membuat apapun yang dibicarakan bahkan dibisikan terdengar pula oleh tetangga sebelah. Sesuatu hal negatif yang sesungguhnya bukan kita sasarannya, telinga ikut panas dibuatnya. Jangan tanya kalau tetangga atau kita sendiri sedang memasak makanan. Seluruh kampung bisa kenyang atau lapar bersama dibuatnya. Namun hal positif yang didapat dari lingkungan seperti itu adalah kebersamaan yang dalam. Setiap warga dituntut untuk membuka hati lebar-lebar agar dapat menerima apapun dari tetangga. Saling menegur dan mengingatkan satu sama lain menjadi hal yang lumrah karena setiap kali dapat bertatap muka dan saling sapa.
Pernah pula tinggal di pemukiman teratur rapi, tepi jalan umum, di pinggiran kota. Di mana terdapat pagar-pagar tinggi membatasi satu sama lain. Hanya mengenal tetangga kiri kanan dan depan ( seberang jalan ) saja. Itupun karena keperluan yang sangat mendesak, yakni meminta ijin memasang sesuatu di rumah kita sehingga mengganggu atau menggunakan properti rumah depan atau sebelah. Selebihnya, mungkin hanya saling melempar senyum ketika membuka pintu pagar hendak mengeluarkan mobil. Enaknya dalam lingkungan seperti ini, kita mendapatkan privasi yang lebih besar daripada di pemukiman padat. Tak perlu panas kuping mendengar omongan tetangga karena memang sangat jarang yang didengar. Karena terhalang pandang, tak perlu panas hati bila tetangga membeli alat elektonik atau mebel baru. Namun rasa kebersamaan di pemukiman ini sangatlah kurang. Di sini berlaku prinsip, asal bayar iuran ( yang boleh jadi bernilai besar ), selesai semua urusan. Terima jadi aja deh.
Dinamika bertetangga juga unik. Cerita anak tetangga yang mencuri jambu atau mangga di halaman kita. Cerita parkir mobil yang menghalangi pintu. Hingga ke urusan-urusan yang lebih domestik ( rumah tangga ) dan sensitif. Hutang piutang, misalnya. Tak urung terjadi pergesekan antar tetangga. Juga cerita-cerita baik tentang kerjasama demi keamanan bersama. Saling membantu bila sedang tertimpa kesusahan. Bahkan saling menjaga – meski cuma melihat-lihat sepintas saja – rumah yang ditinggal penghuninya untuk waktu yang agak lama.
Dalam bertetangga memang sangat dibutuhkan sebuah kedewasaan berpikir. Bahwa bertetangga –terutama yang bakal menetap selamanya – akan terus menerus saling bersinggungan satu sama lain. Bahwa bertetangga akan selalu tampak muka dan tampak punggung. Betapa konyolnya apabila bahwa tetangga yang saling berhimpitan dinding selalu terdapat perasaan saling curiga satu sama lain. Hidup menjadi sangat tak nyaman, bukan.
Juga dalam bertetangga negara. Sangat tak nyaman bila keduanya saling mengganggu. Sangat tak nyaman memang bila anak-anak ( bangsanya ) nya berbuat kriminal di rumah orang lain. Mencuri dan mendaku properti tetangganya. Entah disengaja atau tidak. Bukankah setiap anak-anak bangsa juga mempunyai kecerdasan berpikir dan ketinggian budaya ? Lain soal lagi bila memang berniat menduduki rumah ( negara ) tetangganya. Ah, norak, kampungan dan mempermalukan diri sendiri, bukan ?
Dalam tabiat bertetangga, tak dapat dimungkiri, ada sedikit iri hati bila melihat tetangga membeli kulkas baru, meubel baru atau memperbesar rumahnya. Tetapi sekali lagi, mengganggu tetangga adalah sebuah perbuatan yang tercela. Apalagi sebagai tetangga sesama negara yang mayoritas muslim. Nabi Muhammad SAW telah memberikan contoh bagaimana memuliakan tetangga, bukan.
Bogor 0909
Kamis, 03 September 2009
PUISI
TANAH RAWAN
Berlantai srasah
Berdinding samudra
Bertiang gunung-gunung api
Beratap tajuk pepohonan
Negeri tanah rawan
Kita adalah
sebutir debu
yang telah dicatat
dan ditentukan
Bogor, 0909
Berlantai srasah
Berdinding samudra
Bertiang gunung-gunung api
Beratap tajuk pepohonan
Negeri tanah rawan
Kita adalah
sebutir debu
yang telah dicatat
dan ditentukan
Bogor, 0909
Selasa, 25 Agustus 2009
PUISI
MANTRA SEDAP
Sesedap malam
teduh randu
bunga kantil
reruntuhan kamboja
aroma kenanga
mawar merah hati dan
wangi melati
Tiba padaku pusara
membujur kaku
menghadap kiblat
sebut namamu
sebut namamu
O, Hyang Agung
Surabaya 0809
Sesedap malam
teduh randu
bunga kantil
reruntuhan kamboja
aroma kenanga
mawar merah hati dan
wangi melati
Tiba padaku pusara
membujur kaku
menghadap kiblat
sebut namamu
sebut namamu
O, Hyang Agung
Surabaya 0809
Selasa, 18 Agustus 2009
PUISI
PEREMPUAN MENUNGGU
Saat malam tlah jauh melangkah dari ambang batasnya
Di naung payung halte, seorang perempuan menunggu
Air mata menderas rinai hujan bulan Agustus
Dari jalan nuju selokan-selokan hati remuk redam
Kuning temaram lampu jalan tak mampu membaca dunia
Yang lesat melintas di angkuh dinding-dinding kota
Hanya dingin yang sanggup menyesap
Lewat liur kian mencekat
Bogor 0809
Saat malam tlah jauh melangkah dari ambang batasnya
Di naung payung halte, seorang perempuan menunggu
Air mata menderas rinai hujan bulan Agustus
Dari jalan nuju selokan-selokan hati remuk redam
Kuning temaram lampu jalan tak mampu membaca dunia
Yang lesat melintas di angkuh dinding-dinding kota
Hanya dingin yang sanggup menyesap
Lewat liur kian mencekat
Bogor 0809
Selasa, 11 Agustus 2009
PUISI
PAGI
Pagi di suatu hari
adalah seorang gadis kecil
yang duduk di mangkuk
pelepah kering daun palm raja
Seorang jejaka kecil menyeret tangkainya
Tertawa-tawa mereka riang gembira
Bogor 0809
Pagi di suatu hari
adalah seorang gadis kecil
yang duduk di mangkuk
pelepah kering daun palm raja
Seorang jejaka kecil menyeret tangkainya
Tertawa-tawa mereka riang gembira
Bogor 0809
Kamis, 06 Agustus 2009
PUISI
BALAP KARUNG
Berdiri di satu ujung sambil nanar menatap karung terlipat di ujung lain dan berpikir keras ; kira-kira dimana letak mulutnya. Tentu tak mudah.
Kalau sudah ketemu akan dimasukkan kaki satu persatu dan secepatnya berlari.
Hei, tak boleh berlari. Melompat
Ya, melompat
Melompat dengan cepat sambil memegang ujung-ujung karung agar tak terlepas atau agar tak terserimpung jatuh menggelundung
( Tapi tiba-tiba ada suara ; Hey, cepat lari. Kenapa melamun )
Bogor 0809
Berdiri di satu ujung sambil nanar menatap karung terlipat di ujung lain dan berpikir keras ; kira-kira dimana letak mulutnya. Tentu tak mudah.
Kalau sudah ketemu akan dimasukkan kaki satu persatu dan secepatnya berlari.
Hei, tak boleh berlari. Melompat
Ya, melompat
Melompat dengan cepat sambil memegang ujung-ujung karung agar tak terlepas atau agar tak terserimpung jatuh menggelundung
( Tapi tiba-tiba ada suara ; Hey, cepat lari. Kenapa melamun )
Bogor 0809
PUISI
BALAP KELERENG
Gigit sendok dengan seksama
letakkan sebiji kelereng di cekungnya
tunggu aba-aba
Dan peluitpun menyalak
berjalanlah dengan hati-hati
jaga kesimbangan
Ingat
Keseimbangan
Bila percaya diri
boleh sedikit berlari
tapi tentu si biji
akan keras menari
Atau memilih berhati-hati
berjalan pelan saja
sambil terus menjaga
kelereng tak loncat dari
sendok cekungnya
Bila sampai garis akhir
bolehlah bergembira
tapi jangan telan kelerengnya
Bogor 0809
Gigit sendok dengan seksama
letakkan sebiji kelereng di cekungnya
tunggu aba-aba
Dan peluitpun menyalak
berjalanlah dengan hati-hati
jaga kesimbangan
Ingat
Keseimbangan
Bila percaya diri
boleh sedikit berlari
tapi tentu si biji
akan keras menari
Atau memilih berhati-hati
berjalan pelan saja
sambil terus menjaga
kelereng tak loncat dari
sendok cekungnya
Bila sampai garis akhir
bolehlah bergembira
tapi jangan telan kelerengnya
Bogor 0809
PUISI
BALAP KERUPUK
Dan peluit ditiup
berlarilah lari
nuju kerupuk tergantung
yang diombang ambing angin
Sampai di tempat
belum tuntas tugas
maka tengadahlah
dan nganga mulut
melahap kerupuk
yang mulai susut
dijilat udara
Remaslah remas oleh
gigi geligi dan ludah
gurih asin tertelan remah
nyangkut di tenggorokan
Sorak sorai penyemangat
bercampur debu menari
mata kelilipan
hidung kemasukan
Dan kerupukpun habis
tinggal benang menggantung
diombang ambing angin
riuh sorak sambut pemenang
Bogor 0809
Dan peluit ditiup
berlarilah lari
nuju kerupuk tergantung
yang diombang ambing angin
Sampai di tempat
belum tuntas tugas
maka tengadahlah
dan nganga mulut
melahap kerupuk
yang mulai susut
dijilat udara
Remaslah remas oleh
gigi geligi dan ludah
gurih asin tertelan remah
nyangkut di tenggorokan
Sorak sorai penyemangat
bercampur debu menari
mata kelilipan
hidung kemasukan
Dan kerupukpun habis
tinggal benang menggantung
diombang ambing angin
riuh sorak sambut pemenang
Bogor 0809
Kamis, 23 Juli 2009
CERPEN
DARI BALIK BENTANG PITA KUNING
Dengan sarung tangan karet dia memungut sebuah pecahan logam yang tertempel di seserpih daging. Sebuah pinset dikeluarkan dari saku rompinya. Mencoba memisahkan logam dari benda yang berwarna merah segar itu. Dia tak tahu logam itu berasal dari serpihan apa –dia akan segera mencari tahu- tapi dia tahu seserpih daging itu milik yang sebelumnya adalah seorang manusia.
Teringat dia akan kakeknya, seorang modin. Laki-laki yang paling diperlukan di desanya dulu ketika ada warga yang meninggal dunia. Yang mengurus jenazah dari memandikan, mengafani, menyolatkan hingga memimpin rombongan pengantar ke kuburan. Kakeknya pernah berkata padanya ; ketika hidup, manusia harus saling memuliakan hingga ke liang lahat. Setelahnya manusia akan dimuliakan oleh alam dengan caranya sendiri. Seperti pembusukkan, pemisahan tulang belulang, hingga penyatuan kembali sebagai tanah. Tanah akan menumbuhkan tanaman yang sebagian akan dimakan ole manusia pula. Jadi kau harus memuliakan alam pula, karena mereka akan dan telah memuliakanmu.
Logam dan daging yag telah terpisah ditempatkan di dua buah tempat plastik transparan berbeda. Dua-duanya akan dikumpulkan dengan benda-benda yang serupa dan dibawa ke laboratorium untuk diidentifikasi. Tempat berpijaknya kini adalah sebuah restoran yang luluh lantak oleh sebuah ledakan bom. Ada kemarahan dalam dirinya pada entah siapapun di luar sana. Yang selama ini mendaku jalan mulia dengan cara membunuh sesama. Harusnya siapapun itu mengenal kakeknya terlebih dahulu. Melihat dan mendengar orang tua itu bagaimana cara memuliakan manusia hingga ke liang lahat.
Lalu dia berdiri dari jongkoknya. Di sampingnya telah berdiri temannya yang menenteng sebuah kamera digital dan sebuah tas besar bergantung di pinggang kirinya. “Gimana ? Berantakan ?” Tanya temannya itu.
“Yup, berantakan,” jawabnya singkat.
Berdua mereka saling bersitatap. Lalu menyapu pandang ruang yang remuk redam. Temannya menggeleng-gelengkan kepala. Sementara dia membuat gerakaN sedikit merentangkan kedua tangan, menghela nafas panjang dan bergumam “ manusia...”
Bogor 0709
Dengan sarung tangan karet dia memungut sebuah pecahan logam yang tertempel di seserpih daging. Sebuah pinset dikeluarkan dari saku rompinya. Mencoba memisahkan logam dari benda yang berwarna merah segar itu. Dia tak tahu logam itu berasal dari serpihan apa –dia akan segera mencari tahu- tapi dia tahu seserpih daging itu milik yang sebelumnya adalah seorang manusia.
Teringat dia akan kakeknya, seorang modin. Laki-laki yang paling diperlukan di desanya dulu ketika ada warga yang meninggal dunia. Yang mengurus jenazah dari memandikan, mengafani, menyolatkan hingga memimpin rombongan pengantar ke kuburan. Kakeknya pernah berkata padanya ; ketika hidup, manusia harus saling memuliakan hingga ke liang lahat. Setelahnya manusia akan dimuliakan oleh alam dengan caranya sendiri. Seperti pembusukkan, pemisahan tulang belulang, hingga penyatuan kembali sebagai tanah. Tanah akan menumbuhkan tanaman yang sebagian akan dimakan ole manusia pula. Jadi kau harus memuliakan alam pula, karena mereka akan dan telah memuliakanmu.
Logam dan daging yag telah terpisah ditempatkan di dua buah tempat plastik transparan berbeda. Dua-duanya akan dikumpulkan dengan benda-benda yang serupa dan dibawa ke laboratorium untuk diidentifikasi. Tempat berpijaknya kini adalah sebuah restoran yang luluh lantak oleh sebuah ledakan bom. Ada kemarahan dalam dirinya pada entah siapapun di luar sana. Yang selama ini mendaku jalan mulia dengan cara membunuh sesama. Harusnya siapapun itu mengenal kakeknya terlebih dahulu. Melihat dan mendengar orang tua itu bagaimana cara memuliakan manusia hingga ke liang lahat.
Lalu dia berdiri dari jongkoknya. Di sampingnya telah berdiri temannya yang menenteng sebuah kamera digital dan sebuah tas besar bergantung di pinggang kirinya. “Gimana ? Berantakan ?” Tanya temannya itu.
“Yup, berantakan,” jawabnya singkat.
Berdua mereka saling bersitatap. Lalu menyapu pandang ruang yang remuk redam. Temannya menggeleng-gelengkan kepala. Sementara dia membuat gerakaN sedikit merentangkan kedua tangan, menghela nafas panjang dan bergumam “ manusia...”
Bogor 0709
Kamis, 16 Juli 2009
PUISI
DALAM TANUR
Berdesak-desak kami
berbatas dinding bata
tanur tinggi nganga
mulutnya menghadap
langit
Di bawah
berjejal-jejal cangkang
kering kelapa
dalam rongga
siap dinyalakan
api
Bila lelatu menari
dan asap telah
memenuhi ruang
tanda kami
kan segera
berubah
tapi sayang
sebagian dari
kami kan retak
bahkan pecah
tak berbentuk
Bogor 0709
Berdesak-desak kami
berbatas dinding bata
tanur tinggi nganga
mulutnya menghadap
langit
Di bawah
berjejal-jejal cangkang
kering kelapa
dalam rongga
siap dinyalakan
api
Bila lelatu menari
dan asap telah
memenuhi ruang
tanda kami
kan segera
berubah
tapi sayang
sebagian dari
kami kan retak
bahkan pecah
tak berbentuk
Bogor 0709
Senin, 06 Juli 2009
CELOTEH
AYO INDONESIA, KAMU BISA !!!
Hari ini, Senin 6 Juni 2009, pagi-pagi saya didatangi oleh utusan dari RW ( belum resmi ). Beliau memberikan titipan surat undangan C 4 Pilpres 2009 untuk dibagikan kepada warga di sekitar saya. Kapasitas saya di sini adalah Sekretaris RT ( belum resmi juga ). Ya, kami adalah warga kompleks perumahan yang baru saja dibangun. Yang juga baru saja membentuk formatur RT / RW sendiri yang kelak setelah pilpres akan diajukan ke kelurahan untuk diresmikan. Status warga kami juga masih amburadul. Tapi yang jelas sebagian sudah menjadi warga RT / RW lama ( yang sudah lebih dulu ada ) dan masih warga dari daerah masing-masing sebelum pindah ke kompleks perumahan ini. Dan undangan yang datang pagi ini adalah undangan bagi warga yang telah terdaftar sebagai warga baru di RT / RW yang sudah lebih dulu ada.
Pemilu legislatif lalu sebagian besar kami tak terdaftar di RT / RW ini. Mungkin terdaftar pada daerah asal masing-masing. Juga saya. Tapi saya sendiri tak mengeceknya di daerah asal saya, karena sudah di luar kota. Butuh waktu dan biaya tersendiri untuk mengurusnya.
Pagi ini, dengan pikiran agar secepatnya sampai pada yang berhak mendapatkan undangan maka sayapun bergerak. Tapi alamak, dari jumlah undangan yang tak sampai 60 lembar ini sebagian ( mungkin sekitar 20 % ) terjadi kerancuan. Antara lain alamat dan nama yang diundang tak cocok. Dan satu udangan tidak termasuk warga di sekitar saya. Tapi alhamdulillah, setelah di cocok-cocokan akhirnya terjadi kesalahan alamat dan nama cuma pada lingkungan RT saya. Jadi bisa saling ditukarkan satu sama lain. Entahlah, bagaimana ini bisa terjadi. Saya sendiri belum terlibat dalam pendataan warga waktu itu. Saya cuma didatangi oleh seorang sukarelawan RT ( lama ) untuk menyerahkan fotokpi KTP dan KK yang juga baru saja jadi.
Hmmm....baru kali ini saya turut terlibat dalam silang sengkarut Pemilu. Sebagai warga tingkat terbawah yang turut repot, terpikir oleh saya ; ini baru setingkat RT bagaimana untuk tingkat yang lebih atas ? Baru kali ini saya turut merasakan betapa semua ini adalah hal yang tak mudah untuk dilaksanakan. Betapa tidak. Penduduk selalu bergerak atau berpindah. Data kependudukan sudah tak valid. Mungkin ada tangan-tangan oknum yang ingin memenangkan pihak-pihak tertentu. Tingkat kepedulian warga yang beragam. Oh...INDONESIAKU, begitu runyamkah ?
Tapi sudahlah. Saya pikir, Pilpres sudah di pelupuk mata. Selama ini kitapun sudah disuguhi kampanye-kampanye Capres. Dalam benak kita, sebagai pemilih yang cerdas tentu sudah dapat menilai mana Capres yang lebih pantas memimpin negeri ini ke depan. Atau malah tak akan memilih dengan berbagai alasan. Silakan.
Yang kita butuhkan sekarang dan kedepan adalah Indonesia yang lebih maju di segala bidang dari sekarang. Indonesia yang data kependudukannya lebih rapi dari sekarang. Tapi alangkah baiknya kita sebagai warga negara berpartisipasi ( menurut saya, tak memilihpun dapat juga berpastisipasi ) demi sebuah negara yang tak lagi amburadul. Entah dengan cara apa dan bagaimana. Atau malah pesimistik ? Jangan. Anak cucu kita masih mau jadi warga negara Indonesia kan ?
Saya berjanji mulai dari saya dulu ah. Mudah-mudahan kelak jadi Sekretaris RT yang baik dan dapat melayani warga dengan administrasi yang tak amburadul.
AYO INDONESIA, KAMU BISA !
Bogor 0709
Hari ini, Senin 6 Juni 2009, pagi-pagi saya didatangi oleh utusan dari RW ( belum resmi ). Beliau memberikan titipan surat undangan C 4 Pilpres 2009 untuk dibagikan kepada warga di sekitar saya. Kapasitas saya di sini adalah Sekretaris RT ( belum resmi juga ). Ya, kami adalah warga kompleks perumahan yang baru saja dibangun. Yang juga baru saja membentuk formatur RT / RW sendiri yang kelak setelah pilpres akan diajukan ke kelurahan untuk diresmikan. Status warga kami juga masih amburadul. Tapi yang jelas sebagian sudah menjadi warga RT / RW lama ( yang sudah lebih dulu ada ) dan masih warga dari daerah masing-masing sebelum pindah ke kompleks perumahan ini. Dan undangan yang datang pagi ini adalah undangan bagi warga yang telah terdaftar sebagai warga baru di RT / RW yang sudah lebih dulu ada.
Pemilu legislatif lalu sebagian besar kami tak terdaftar di RT / RW ini. Mungkin terdaftar pada daerah asal masing-masing. Juga saya. Tapi saya sendiri tak mengeceknya di daerah asal saya, karena sudah di luar kota. Butuh waktu dan biaya tersendiri untuk mengurusnya.
Pagi ini, dengan pikiran agar secepatnya sampai pada yang berhak mendapatkan undangan maka sayapun bergerak. Tapi alamak, dari jumlah undangan yang tak sampai 60 lembar ini sebagian ( mungkin sekitar 20 % ) terjadi kerancuan. Antara lain alamat dan nama yang diundang tak cocok. Dan satu udangan tidak termasuk warga di sekitar saya. Tapi alhamdulillah, setelah di cocok-cocokan akhirnya terjadi kesalahan alamat dan nama cuma pada lingkungan RT saya. Jadi bisa saling ditukarkan satu sama lain. Entahlah, bagaimana ini bisa terjadi. Saya sendiri belum terlibat dalam pendataan warga waktu itu. Saya cuma didatangi oleh seorang sukarelawan RT ( lama ) untuk menyerahkan fotokpi KTP dan KK yang juga baru saja jadi.
Hmmm....baru kali ini saya turut terlibat dalam silang sengkarut Pemilu. Sebagai warga tingkat terbawah yang turut repot, terpikir oleh saya ; ini baru setingkat RT bagaimana untuk tingkat yang lebih atas ? Baru kali ini saya turut merasakan betapa semua ini adalah hal yang tak mudah untuk dilaksanakan. Betapa tidak. Penduduk selalu bergerak atau berpindah. Data kependudukan sudah tak valid. Mungkin ada tangan-tangan oknum yang ingin memenangkan pihak-pihak tertentu. Tingkat kepedulian warga yang beragam. Oh...INDONESIAKU, begitu runyamkah ?
Tapi sudahlah. Saya pikir, Pilpres sudah di pelupuk mata. Selama ini kitapun sudah disuguhi kampanye-kampanye Capres. Dalam benak kita, sebagai pemilih yang cerdas tentu sudah dapat menilai mana Capres yang lebih pantas memimpin negeri ini ke depan. Atau malah tak akan memilih dengan berbagai alasan. Silakan.
Yang kita butuhkan sekarang dan kedepan adalah Indonesia yang lebih maju di segala bidang dari sekarang. Indonesia yang data kependudukannya lebih rapi dari sekarang. Tapi alangkah baiknya kita sebagai warga negara berpartisipasi ( menurut saya, tak memilihpun dapat juga berpastisipasi ) demi sebuah negara yang tak lagi amburadul. Entah dengan cara apa dan bagaimana. Atau malah pesimistik ? Jangan. Anak cucu kita masih mau jadi warga negara Indonesia kan ?
Saya berjanji mulai dari saya dulu ah. Mudah-mudahan kelak jadi Sekretaris RT yang baik dan dapat melayani warga dengan administrasi yang tak amburadul.
AYO INDONESIA, KAMU BISA !
Bogor 0709
Minggu, 05 Juli 2009
PUISI
SEPERTI MUSA
Ketika kau pinta ku memandang matamu, seperti Musa, aku pingsan menyaksikan runtuhnya gunung. Namun dalam mimpiku, seperti Musa, kubelah lautan dengan sebatang tongkat.
Dan ketika ku sadar, bibir ranummu telah begitu dekat.
Bogor 0709
Ketika kau pinta ku memandang matamu, seperti Musa, aku pingsan menyaksikan runtuhnya gunung. Namun dalam mimpiku, seperti Musa, kubelah lautan dengan sebatang tongkat.
Dan ketika ku sadar, bibir ranummu telah begitu dekat.
Bogor 0709
Sabtu, 04 Juli 2009
PUISI
JEJAK ABADI
bilakah hujan kan menyapu jejakmu / tak, di pun turut hanyut ke kali / terus dan terus sampai menjadi awan / abadi bergantung di langit / hingga ku mati
Bogor 0709
bilakah hujan kan menyapu jejakmu / tak, di pun turut hanyut ke kali / terus dan terus sampai menjadi awan / abadi bergantung di langit / hingga ku mati
Bogor 0709
Kamis, 02 Juli 2009
PUISI
BIRU
Daun kering
Jatuh melayang
Berlarat sesal
Ranting biru
Tatap hati
Patah meratap
Ohoy, seru angin
Ingat karmamu
Jiwa tak lekang
Oleh waktu
Ohoy, hibur bumi
Datanglah padaku
Kan peluk hingga
Tiba masamu
Bogor, 0709
Daun kering
Jatuh melayang
Berlarat sesal
Ranting biru
Tatap hati
Patah meratap
Ohoy, seru angin
Ingat karmamu
Jiwa tak lekang
Oleh waktu
Ohoy, hibur bumi
Datanglah padaku
Kan peluk hingga
Tiba masamu
Bogor, 0709
PUISI
BERDIRIKU
Berdiriku pada sebuah ruang
penuh dengan jendela pemandangan
dirimu dengan berbagai wajah
Kutunggu kau buka
satu pintu untukku
Bogor 0709
Berdiriku pada sebuah ruang
penuh dengan jendela pemandangan
dirimu dengan berbagai wajah
Kutunggu kau buka
satu pintu untukku
Bogor 0709
Selasa, 23 Juni 2009
PUISI
PERSETUBUHAN LABA-LABA
Memintalku jejaring
Simpul antar waktu
Di ujung reranting
Rapuh
Memintalmu jejaring
Temalimu masa
Reruang hampa
Getas
Kudekatimu, Kaubelaiku
Meniti serat tipis
Tempat bergantung
Embun
Dan pagi
Persetubuhan laba-laba
Kaitku kaitmu
Cakarmu cakarku
Liurku liurmu
Uh, semesta
Getarmu, geloraku
Uh, betapa
Dan usai
Berserah diri
Santap jiwaku
Bagimu
Bogor 0609
Memintalku jejaring
Simpul antar waktu
Di ujung reranting
Rapuh
Memintalmu jejaring
Temalimu masa
Reruang hampa
Getas
Kudekatimu, Kaubelaiku
Meniti serat tipis
Tempat bergantung
Embun
Dan pagi
Persetubuhan laba-laba
Kaitku kaitmu
Cakarmu cakarku
Liurku liurmu
Uh, semesta
Getarmu, geloraku
Uh, betapa
Dan usai
Berserah diri
Santap jiwaku
Bagimu
Bogor 0609
PUISI
SEBUAH PERNYATAAN BAHU KANAN
Nyeri itu menyerang lagi
........................................
Bogor 0609
Nyeri itu menyerang lagi
........................................
Bogor 0609
PUISI
SUNGGUH
Sungguh, aku hanya
ingin menyanyi
Bukan memberi arti
dari gumaman
angin yang telah
tertentu kemana
arah bertiup
Sungguh aku hanya
ingin mendendang
Bukan mengubah
makna yang
ada sejak
masa purba
Namun bila
suara burukku
menyesatkan hingga
kau tak memahami
nyanyi
Maafkan jiwaku
Namun bila
nadaku sumbang
mengacaukan hingga
kau tak mengerti
lagu
Maafkan ruhku
Bogor 0609
Sungguh, aku hanya
ingin menyanyi
Bukan memberi arti
dari gumaman
angin yang telah
tertentu kemana
arah bertiup
Sungguh aku hanya
ingin mendendang
Bukan mengubah
makna yang
ada sejak
masa purba
Namun bila
suara burukku
menyesatkan hingga
kau tak memahami
nyanyi
Maafkan jiwaku
Namun bila
nadaku sumbang
mengacaukan hingga
kau tak mengerti
lagu
Maafkan ruhku
Bogor 0609
Jumat, 12 Juni 2009
PUISI
SEMALAM
Semalam kuhirup
nafas dalam mimpimu
tapi kau tak sedang di sana
pergi jauh entah ke mana
Lalu melangkahku
pada dermaga
di mana perahu harapmu
pernah tertambat
Biduk itu masih ada
terombang-ambing alun
musim yang kian
tak tertebak
Tak jua temukan dirimu
maka ku jumpa ragamu
tergolek pasrah di peluk
tubuhku yang kian renta
Bogor 0609
Semalam kuhirup
nafas dalam mimpimu
tapi kau tak sedang di sana
pergi jauh entah ke mana
Lalu melangkahku
pada dermaga
di mana perahu harapmu
pernah tertambat
Biduk itu masih ada
terombang-ambing alun
musim yang kian
tak tertebak
Tak jua temukan dirimu
maka ku jumpa ragamu
tergolek pasrah di peluk
tubuhku yang kian renta
Bogor 0609
PUISI
SEBATANG POHON
Sebatang pohon terus menerus menghitung dan mencatat musim dalam lingkaran-lingkaran serupa pusaran galaksi. Sementara akarnya menghunjam bumi, mencari makan, ranting dan dedaunnya merogoh langit yang kian retak. Mengintip betapa sibuk sebuah tempat bernama surga menampung doa-doa. Betapa sepi neraka ditinggal penghuni turun ke bumi.
Sebatang pohon yang kelak kan rebah. Entah dibantai anai-anai, disambar petir, diterjang angin, digulung banjir atau terbakar merana.
Bogor 0609
Sebatang pohon terus menerus menghitung dan mencatat musim dalam lingkaran-lingkaran serupa pusaran galaksi. Sementara akarnya menghunjam bumi, mencari makan, ranting dan dedaunnya merogoh langit yang kian retak. Mengintip betapa sibuk sebuah tempat bernama surga menampung doa-doa. Betapa sepi neraka ditinggal penghuni turun ke bumi.
Sebatang pohon yang kelak kan rebah. Entah dibantai anai-anai, disambar petir, diterjang angin, digulung banjir atau terbakar merana.
Bogor 0609
Jumat, 05 Juni 2009
PUISI
KITA ADALAH
Kita adalah
sebuah noktah
indung telur
ribuan galaksi
tempat bersemayam
berjuta matahari
hidup
tanpa tanda
tanpa nafas
tanpa raga
mati
tanpa nisan
tanpa bunga tabur
tanpa ratap tangis
hanya ada doa-doa
memusar pada
diri
Bogor, 0609
Kita adalah
sebuah noktah
indung telur
ribuan galaksi
tempat bersemayam
berjuta matahari
hidup
tanpa tanda
tanpa nafas
tanpa raga
mati
tanpa nisan
tanpa bunga tabur
tanpa ratap tangis
hanya ada doa-doa
memusar pada
diri
Bogor, 0609
Selasa, 02 Juni 2009
PUISI
Sebuah puisi pesanan seorang sahabat yang sedang merancang buku perpisahan anaknya yang masih duduk di bangku Taman Kanak-Kanak
KEPIK
Terbanglah terbang
Mahluk mungil di taman
Selagi musim masih nyaman
Terbanglah terbang
Lompatlah lompat
Mahluk mungil di dedaunan
Selagi cerah mentari
Lompatlah lompat
Menarilah menari
Mahluk mungil pada bunga-bunga
Warna-warni indah merona
Menarilah menari
Tertawalah tertawa
Mahluk mungil pada dunia
Hiasi dia dengan ceria
Tertawalah tertawa
Bogor 0609
KEPIK
Terbanglah terbang
Mahluk mungil di taman
Selagi musim masih nyaman
Terbanglah terbang
Lompatlah lompat
Mahluk mungil di dedaunan
Selagi cerah mentari
Lompatlah lompat
Menarilah menari
Mahluk mungil pada bunga-bunga
Warna-warni indah merona
Menarilah menari
Tertawalah tertawa
Mahluk mungil pada dunia
Hiasi dia dengan ceria
Tertawalah tertawa
Bogor 0609
Senin, 01 Juni 2009
PUISI
23.35
Kita berada pada lorong yang sama. Dinding malam yang menautkan tegakkan pepohonan. Bak kaki-kaki raksasa yang tubuh dan kepalanya di atas, entah sebelah mana.
Kepalaku masih penuh dengan dentaman suara, kelebat gambar dan cerita sebuah film fiksi masa depan. Tubuhku berbalut aroma wewangian, dingin kabin dan roda yang melesat memburu pagi.
Kepalamu, di sana tertunduk menghitung gelas-gelas air mineral bekas. Bersanding dengan tubuh mungil berbaring beralas kardus. Karung-karung yang kuyakin juga mengejar fajar.
Tiga bulatan lampu dengan warna yang berbeda itu telah menghentikanku. Mengajak mataku bertualang menjemputmu. Dan kini kau turut bermain film dalam pikiranku.
Bogor, 0609
Kita berada pada lorong yang sama. Dinding malam yang menautkan tegakkan pepohonan. Bak kaki-kaki raksasa yang tubuh dan kepalanya di atas, entah sebelah mana.
Kepalaku masih penuh dengan dentaman suara, kelebat gambar dan cerita sebuah film fiksi masa depan. Tubuhku berbalut aroma wewangian, dingin kabin dan roda yang melesat memburu pagi.
Kepalamu, di sana tertunduk menghitung gelas-gelas air mineral bekas. Bersanding dengan tubuh mungil berbaring beralas kardus. Karung-karung yang kuyakin juga mengejar fajar.
Tiga bulatan lampu dengan warna yang berbeda itu telah menghentikanku. Mengajak mataku bertualang menjemputmu. Dan kini kau turut bermain film dalam pikiranku.
Bogor, 0609
Selasa, 26 Mei 2009
PUISI
SEBUAH FOTO
Menelisik satu persatu foto, ku berhenti pada gambarmu. Bukan pada wajah nan ayu, tapi sesuatu di belakangmu. Kenangan. Sebuah benih yang dulu kucoba tanam pada lahan subur, kukira dia akan tumbuh membesar. Kuat menjejak tanah. Rindang menaungi. Namun ternyata tak. Benih itu mungkin membusuk. Dimakan cacing, atau mikroba tanah. Karena tak kulihat bangkainya apalagi berkecambah. Namun suatu pagi, foto itu datang padaku. Bukan wajah ayumu. Tapi kenangan. Mengetuk pintu dan membuatku terperanjat ketika kubuka. Dengan wajah kuyu dia berkata, ah rumahmu tak cukup besar untukku, ternyata.
Bogor 0509
Menelisik satu persatu foto, ku berhenti pada gambarmu. Bukan pada wajah nan ayu, tapi sesuatu di belakangmu. Kenangan. Sebuah benih yang dulu kucoba tanam pada lahan subur, kukira dia akan tumbuh membesar. Kuat menjejak tanah. Rindang menaungi. Namun ternyata tak. Benih itu mungkin membusuk. Dimakan cacing, atau mikroba tanah. Karena tak kulihat bangkainya apalagi berkecambah. Namun suatu pagi, foto itu datang padaku. Bukan wajah ayumu. Tapi kenangan. Mengetuk pintu dan membuatku terperanjat ketika kubuka. Dengan wajah kuyu dia berkata, ah rumahmu tak cukup besar untukku, ternyata.
Bogor 0509
Jumat, 15 Mei 2009
PUISI
GEMBIRAKU
Rentang kata mekar merapuh ujung jemari
Menangkup di dada dan kita melekat
Peluk aku, peluk aku
Diam mulut diam kata hati bicara
Bila cinta datang menjemput
Kerandalah kendara
terakhir menuju liangmu
O wangi bunga tabur
O wangi doa-doa
O tiada sedih, tiada tangis
Karna gembiraku
Bogor 0509
Rentang kata mekar merapuh ujung jemari
Menangkup di dada dan kita melekat
Peluk aku, peluk aku
Diam mulut diam kata hati bicara
Bila cinta datang menjemput
Kerandalah kendara
terakhir menuju liangmu
O wangi bunga tabur
O wangi doa-doa
O tiada sedih, tiada tangis
Karna gembiraku
Bogor 0509
Rabu, 13 Mei 2009
PUISI
SEBUAH PERBINCANGAN DI KALA LAUT SURUT
Bisik ketam di tepi laut surut bertanya pada lokan ; hei, tak mendengarkah kau tentang terumbu karang kian memucat. Lokan diam saja. Dia sedang mendengar debur dan siul laut di kejauhan. Yang kelak akan dia sampaikan pada daun telinga anak-anak manusia. Sambil berharap ada sepenggal suara, nyanyi lembut perempuan berambut panjang, berekor ikan. Lagu yang terputus entah kenapa.
Bisik ketam kembali pada lokan yang tetap diam : hei, laut kian mendekat. Aku akan segera lari ke pinggir. Jaga dirimu ya. Sepertinya buih sedang membawa kabar yang tak cukup baik untuk kita.
Bogor 0509
Bisik ketam di tepi laut surut bertanya pada lokan ; hei, tak mendengarkah kau tentang terumbu karang kian memucat. Lokan diam saja. Dia sedang mendengar debur dan siul laut di kejauhan. Yang kelak akan dia sampaikan pada daun telinga anak-anak manusia. Sambil berharap ada sepenggal suara, nyanyi lembut perempuan berambut panjang, berekor ikan. Lagu yang terputus entah kenapa.
Bisik ketam kembali pada lokan yang tetap diam : hei, laut kian mendekat. Aku akan segera lari ke pinggir. Jaga dirimu ya. Sepertinya buih sedang membawa kabar yang tak cukup baik untuk kita.
Bogor 0509
Senin, 11 Mei 2009
PUISI
JANTUNGKU BERNYANYI
Dia datang dari kenangan entah kapan
menghampiriku dengan tangan
menyorong ke dada kiriku
lalu bertanya, apakah aku menyimpan
detak jantungnya
Ku jawab, tidak
aku memendam detak
jantungku sendiri
Lalu dia berbalik, berjalan menjauh
meniti sebuah tali menuju bulan
sambil menyanyikan lagu
sebuah masa yang pernah kukenal
Aku tersentak dan
berteriak, itu dendangku
Dia tak berhenti
bahkan menengokpun tak,
terus berjalan hingga
hinggap di bulan
Kini setiap purnama tiba
di pucat tatap matanya
dalam sepi kudengar jantungku
berdetak menyanyi
Bogor 0509
Dia datang dari kenangan entah kapan
menghampiriku dengan tangan
menyorong ke dada kiriku
lalu bertanya, apakah aku menyimpan
detak jantungnya
Ku jawab, tidak
aku memendam detak
jantungku sendiri
Lalu dia berbalik, berjalan menjauh
meniti sebuah tali menuju bulan
sambil menyanyikan lagu
sebuah masa yang pernah kukenal
Aku tersentak dan
berteriak, itu dendangku
Dia tak berhenti
bahkan menengokpun tak,
terus berjalan hingga
hinggap di bulan
Kini setiap purnama tiba
di pucat tatap matanya
dalam sepi kudengar jantungku
berdetak menyanyi
Bogor 0509
Senin, 04 Mei 2009
PUISI
HATIMU
Biru terang langit
ujung geladak
menjorok ke laut
tepian teluk
Hatimu lebam
Camar menyambar
geliat ikan
bermain di muka air
jernih memandang
Hatimu kusam
Semilir angin
mendesir pasir
membawa asin
tempat yang jauh
Hatimu gelisah
Cinta tak habis
diterpa badai
karena musim
masihlah teduh
Maka bergembiralah
Bogor 0509
Biru terang langit
ujung geladak
menjorok ke laut
tepian teluk
Hatimu lebam
Camar menyambar
geliat ikan
bermain di muka air
jernih memandang
Hatimu kusam
Semilir angin
mendesir pasir
membawa asin
tempat yang jauh
Hatimu gelisah
Cinta tak habis
diterpa badai
karena musim
masihlah teduh
Maka bergembiralah
Bogor 0509
CELOTEH
DADU
Dadu. Kubus berwajah enam itu adalah sebuah permainan kemungkinan. Petaruh dan pelempar tak pernah tahu, angka yang bakal keluar. Dadu, sesungguhnya adalah juga sebuah permainan nasib. Namun pada sebuah epos kita tahu siapa pemenang permainan itu. Nasibpun dapat dipermainkan. Duryudana dengan Patihnya Sengkuni berhasil menipu Yudhistira, entah dengan cara apa mengolah dadu hingga selalu memenangkan mereka. Segala yang dipertaruhkan sulung Pandawa itu berhasil disita Kurawa. Bahkan Drupadi, istri Yudhistira yang menjadi bahan pertaruhan adalah sebuah cerita tragis dari masa ke masa. Permainan itu juga berhasil membuat Pandawa terusir dari kerajaannya selama dua belas tahun.
Dadu adalah sebuah permainan dengan kemungkinan yang seimbang. Meski kadarnya ditentukan oleh besar kecilnya enam angka yang tertera di sana, tapi hasil akhirnya adalah sama. Menang atau kalah. Tapi bagi para pemain profesional, mereka sangat tahu besar atau kecil kadar kemungkinannya. Dan jangan lupa, mereka juga banyak tahu cara mengakalinya.
Hari-hari ini kita sedang terlibat dalam sebuah permainan dadu. Dadu politik yang hendak menentukan nasib bangsa Indonesia ke depan. Entah kita menganalogikan mana dadu, mana angka, mana pemain, mana pelempar, mana petaruh, pada kondisi kita sekarang. Ah, jangan-jangan kita pun mulai bertanya, adakah kita juga bercermin pada kisah besar Mahabarata itu. Yang berakhir pada sebuah perang habis-habisan. Menyisakan penyesalan berlarat-larat seorang Yudhistira bersama seekor anjingnya yang setia. Mudah-mudahan tidak.
Bogor 0509
Dadu. Kubus berwajah enam itu adalah sebuah permainan kemungkinan. Petaruh dan pelempar tak pernah tahu, angka yang bakal keluar. Dadu, sesungguhnya adalah juga sebuah permainan nasib. Namun pada sebuah epos kita tahu siapa pemenang permainan itu. Nasibpun dapat dipermainkan. Duryudana dengan Patihnya Sengkuni berhasil menipu Yudhistira, entah dengan cara apa mengolah dadu hingga selalu memenangkan mereka. Segala yang dipertaruhkan sulung Pandawa itu berhasil disita Kurawa. Bahkan Drupadi, istri Yudhistira yang menjadi bahan pertaruhan adalah sebuah cerita tragis dari masa ke masa. Permainan itu juga berhasil membuat Pandawa terusir dari kerajaannya selama dua belas tahun.
Dadu adalah sebuah permainan dengan kemungkinan yang seimbang. Meski kadarnya ditentukan oleh besar kecilnya enam angka yang tertera di sana, tapi hasil akhirnya adalah sama. Menang atau kalah. Tapi bagi para pemain profesional, mereka sangat tahu besar atau kecil kadar kemungkinannya. Dan jangan lupa, mereka juga banyak tahu cara mengakalinya.
Hari-hari ini kita sedang terlibat dalam sebuah permainan dadu. Dadu politik yang hendak menentukan nasib bangsa Indonesia ke depan. Entah kita menganalogikan mana dadu, mana angka, mana pemain, mana pelempar, mana petaruh, pada kondisi kita sekarang. Ah, jangan-jangan kita pun mulai bertanya, adakah kita juga bercermin pada kisah besar Mahabarata itu. Yang berakhir pada sebuah perang habis-habisan. Menyisakan penyesalan berlarat-larat seorang Yudhistira bersama seekor anjingnya yang setia. Mudah-mudahan tidak.
Bogor 0509
PUISI
ANTRI
Olobis kuntul baris
antri beli sepatu crocks
lima ratus ribu, potong
lima puluh persen
tandas amblas
Olobis kuntul baris
antri be el te
tiga ratus ribu, potong
lima puluh ribu
menangis ikhlas
Olobis kuntul baris
antri batu Ponari
boleh gratis asal
sembuh tanpa harus
buang uang
ke puskemas
Olobis kuntul baris
antri koalisi
hitung-hitung suara
capres, cawapres
ya, ya, ya
Bogor 0409
Olobis kuntul baris
antri beli sepatu crocks
lima ratus ribu, potong
lima puluh persen
tandas amblas
Olobis kuntul baris
antri be el te
tiga ratus ribu, potong
lima puluh ribu
menangis ikhlas
Olobis kuntul baris
antri batu Ponari
boleh gratis asal
sembuh tanpa harus
buang uang
ke puskemas
Olobis kuntul baris
antri koalisi
hitung-hitung suara
capres, cawapres
ya, ya, ya
Bogor 0409
Rabu, 22 April 2009
PUISI
HEI
Hei, siapakah berlagu
dendang di terik siang
Hei, sayup-sayup tertiup
ambisi angin jaman
Hei, inikah suaramu
rintihan rekah tanah
Hei, aku mendengarmu
aku menyimakmu
Bogor, 0409
Hei, siapakah berlagu
dendang di terik siang
Hei, sayup-sayup tertiup
ambisi angin jaman
Hei, inikah suaramu
rintihan rekah tanah
Hei, aku mendengarmu
aku menyimakmu
Bogor, 0409
Kamis, 16 April 2009
PUISI
UNTUK KEKASIH SETIAKU ( IV )
Ceruk waktu bukit berbatu
berbaris dinding berlapis-lapis
Diriku senyap pada ronggamu hangat
menyusun nafas satu persatu
mengatur suara aku terbata
Inikah seperti saat sang manusia mulia
bertemu penunggang burung surga
dalam liang meringkuk memeluk lutut
Demam tak kunjung henti
Nikmat tiada tara
Cintamu terus memberondong
Larik-larik keindahan susul menyusul
Tak kuasa diriku menahan gejolak
Magma membumbung
Siap meledak
Dan oh
Tak ada lagi
Oh keraguan
Dirimu ku
Diriku mu
Bogor 0904
Ceruk waktu bukit berbatu
berbaris dinding berlapis-lapis
Diriku senyap pada ronggamu hangat
menyusun nafas satu persatu
mengatur suara aku terbata
Inikah seperti saat sang manusia mulia
bertemu penunggang burung surga
dalam liang meringkuk memeluk lutut
Demam tak kunjung henti
Nikmat tiada tara
Cintamu terus memberondong
Larik-larik keindahan susul menyusul
Tak kuasa diriku menahan gejolak
Magma membumbung
Siap meledak
Dan oh
Tak ada lagi
Oh keraguan
Dirimu ku
Diriku mu
Bogor 0904
Senin, 13 April 2009
PUISI
UNTUK KEKASIH SETIAKU ( III )
Pada sebuah padang lapang
Di naung pohon rindang
Matahari teduh
Sapa angin menggiring awan
yang ekornya menarikan
rambut kecil dekat telingamu
Uh, tak dapat ku menahan gejolak
Kau melirikku, lalu
tersenyum entah pada siapa
Karena kau tak lagi memandangku
Malah ku berpikir kau mencibir
Uh, nafsuku
Ingatkah ketika kau mulai mengejarku, tanyamu lembut
Aku diam tak paham apa yang hendak kau bicarakan
Sedikit dari yang ku ingat, kataku, akhirnya
Ya, tadinya kau hanya mengenal namaku
Aku mengangguk setuju
Sedikitpun tak hirau, meski ku melintas di mata
telinga, ucap, rasa dan pikirmu
Kembali aku mengangguk setuju
Lalu kenapa kau mengejarku, tanyamu
Kubuang pandang pada cakrawala
yang kian melengkung setelah bermilyar
tahun meregang dan membuat lubang-lubang hitam
kuburan matahari penghisap menuju negeri entah
Aku seperti batas langit yang pada saatnya adalah kematian, kataku
Sesungguhnya aku telah mencintaimu sejak dulu, katamu
Tiba tanah lapang pun mengkerut
Hanya tersisa untuk duduk dan pijak
Tajuk pohon melengkung, merengkuh
Aku pun menyusut ke dalam dirimu
Berasyik masyuk di ronggamu
Bogor 0409
Pada sebuah padang lapang
Di naung pohon rindang
Matahari teduh
Sapa angin menggiring awan
yang ekornya menarikan
rambut kecil dekat telingamu
Uh, tak dapat ku menahan gejolak
Kau melirikku, lalu
tersenyum entah pada siapa
Karena kau tak lagi memandangku
Malah ku berpikir kau mencibir
Uh, nafsuku
Ingatkah ketika kau mulai mengejarku, tanyamu lembut
Aku diam tak paham apa yang hendak kau bicarakan
Sedikit dari yang ku ingat, kataku, akhirnya
Ya, tadinya kau hanya mengenal namaku
Aku mengangguk setuju
Sedikitpun tak hirau, meski ku melintas di mata
telinga, ucap, rasa dan pikirmu
Kembali aku mengangguk setuju
Lalu kenapa kau mengejarku, tanyamu
Kubuang pandang pada cakrawala
yang kian melengkung setelah bermilyar
tahun meregang dan membuat lubang-lubang hitam
kuburan matahari penghisap menuju negeri entah
Aku seperti batas langit yang pada saatnya adalah kematian, kataku
Sesungguhnya aku telah mencintaimu sejak dulu, katamu
Tiba tanah lapang pun mengkerut
Hanya tersisa untuk duduk dan pijak
Tajuk pohon melengkung, merengkuh
Aku pun menyusut ke dalam dirimu
Berasyik masyuk di ronggamu
Bogor 0409
Rabu, 01 April 2009
GEGURITAN
SOM, PIYE TO SOM
Som, piye to Som
Makelar manuk kok nyaleg
Mbok delok bojomu kono
Geru-geru nangis ditagih utang
Som, piye to Som
Cucak rowomu po wis payu
Sepeda montormu wis mlayu
Mbok gadekno omah moro tuamu
Som, piye to Som
Jejogedan ning nduwur panggung
Bareng artis pamer bokong
Pledang-pleding ning sirahe wong
Som, piye to Som
Nek edan mbok yo mesisan
Ben ndang digowo ning rumah sakit
Solahmu agawe moto sepet
Bogor 0409
Som, piye to Som
Makelar manuk kok nyaleg
Mbok delok bojomu kono
Geru-geru nangis ditagih utang
Som, piye to Som
Cucak rowomu po wis payu
Sepeda montormu wis mlayu
Mbok gadekno omah moro tuamu
Som, piye to Som
Jejogedan ning nduwur panggung
Bareng artis pamer bokong
Pledang-pleding ning sirahe wong
Som, piye to Som
Nek edan mbok yo mesisan
Ben ndang digowo ning rumah sakit
Solahmu agawe moto sepet
Bogor 0409
Senin, 30 Maret 2009
PUISI
YAMADIPATI
Melayang tubuhnya
antara bumi dan langit
bersedekap murung berbelit
petir berselimut
awan gelap
Bogor, 0309
Melayang tubuhnya
antara bumi dan langit
bersedekap murung berbelit
petir berselimut
awan gelap
Bogor, 0309
PUISI
UNTUK KEKASIH SETIAKU ( II )
Menatap bening wajahmu
Telaga diriku berkaca
Kau petik raguku dengan senyummu
Yakinkanku akan tandamu
Dan kitapun berjalan
Bersisian kadang bersinggungan
Ketika dingin kian pekat
Jemari kita saling melekat
Kini lenyap diriku
Sirna pula dirimu
Menjadi satu jiwa
Melanglang semesta
Bogor 0309
Menatap bening wajahmu
Telaga diriku berkaca
Kau petik raguku dengan senyummu
Yakinkanku akan tandamu
Dan kitapun berjalan
Bersisian kadang bersinggungan
Ketika dingin kian pekat
Jemari kita saling melekat
Kini lenyap diriku
Sirna pula dirimu
Menjadi satu jiwa
Melanglang semesta
Bogor 0309
Selasa, 24 Maret 2009
PUISI
KERTAS MENGUNING KUSAM
Sebuah kertas menguning kusam
bertuliskan catatan seorang penyair
tak lagi memedulikan dari mana dia berasal
jajaran hutan pinuskah atau jerami persawahan
Bogor 0309
Sebuah kertas menguning kusam
bertuliskan catatan seorang penyair
tak lagi memedulikan dari mana dia berasal
jajaran hutan pinuskah atau jerami persawahan
Bogor 0309
PUISI
DI BIBIRMU
Di bibirmu ku tatap
lembayung cakrawala
berlarik-larik
luka.
Ku berharap
musim berganti
segera
Bogor 0309
Di bibirmu ku tatap
lembayung cakrawala
berlarik-larik
luka.
Ku berharap
musim berganti
segera
Bogor 0309
Senin, 16 Maret 2009
PUISI
JATI MERANGGAS
Berdiriku hanya beberapa langkah darimu
gerbang tegakan jati meranggas
“Ini waktumukah”
Kau diam tak menjawab
Sebentar lagi akan banyak anak kecil
datang memasukimu dan
bermain-main, bernyanyi-nyanyi
di kedalaman sana hingga
teriakan mereka terdengar
sampai rumah terakhir batas desa
dengan dirimu
Lalu terdengar suara dari arah lain
“jangan terlalu jauh. Nanti kamu tersesat”
teriakan seorang perempuan
Ah, kuyakin kau takkan menyesatkan mereka
“ya kan ?”
Kau tetap diam tak menjawab
Baiklah, sekarang kuputuskan pergi
meninggalkan dirimu yang sedang asyik
meruntuhkan dedaunan demi keseimbangan
dan aku tak mau menjadi pertanyaan
anak-anak yang segera datang kemudian
“bapak siapa ? dari mana ?”
Bogor 0309
Berdiriku hanya beberapa langkah darimu
gerbang tegakan jati meranggas
“Ini waktumukah”
Kau diam tak menjawab
Sebentar lagi akan banyak anak kecil
datang memasukimu dan
bermain-main, bernyanyi-nyanyi
di kedalaman sana hingga
teriakan mereka terdengar
sampai rumah terakhir batas desa
dengan dirimu
Lalu terdengar suara dari arah lain
“jangan terlalu jauh. Nanti kamu tersesat”
teriakan seorang perempuan
Ah, kuyakin kau takkan menyesatkan mereka
“ya kan ?”
Kau tetap diam tak menjawab
Baiklah, sekarang kuputuskan pergi
meninggalkan dirimu yang sedang asyik
meruntuhkan dedaunan demi keseimbangan
dan aku tak mau menjadi pertanyaan
anak-anak yang segera datang kemudian
“bapak siapa ? dari mana ?”
Bogor 0309
Kamis, 12 Maret 2009
PUISI
KU LIHAT MATA ELANG
Ku lihat mata elang
empunya sepasang
kaki-kaki kukuh
bertengger gagah
sebatang ranting pinus
pada pagi menghunus
dingin kabut bersarang
di tepi danau hening
Mata menatap muka air
tanpa riak tanpa kabar
meski angin bertiup
tak dapat memaksa
dedaun pinus bersiul
tapi mampu lenakan
beberapa ekor ikan
dalam danau tenang
mereka bermain
Mata elang menyala
empunya paruh sekeras besi
terkatup kuku setajam
pedang mencengkeram
ranting menggigil
menahan bunyi gemeretak
Maka pada sekian
ribu detak jantungnya
terbanglah elang terbang
melayang tinggalkan
ranting waktu menjadi
pijakan masa lalu
Hilang waktupun hilang
Menyatu jadi sayap mengepak
Mendorong tubuh melesat
susuri sepi rata muka air
Tinggalkan angin tersedu
Meratapi nasib di belakang
Mata elang mata api
Empunya cakar menyergap
Mangsa yang tak lagi sempat
berpikir apakah kecipak
air adalah kabar baik
ataukah kabar buruk
Yang dia tahu adalah
sepasang kaki kukuh
dengan kuku-kuku
belati mencengkeram
nasib dirinya hari ini
telah ditentukan pada
sang mata bola api
Ku lihat mata elang
Lesat terbang menghilang
pada tegakan pinus pagi bisu
Air danau berasap kabut biru
Hening dan tenang
Bogor 0309
Ku lihat mata elang
empunya sepasang
kaki-kaki kukuh
bertengger gagah
sebatang ranting pinus
pada pagi menghunus
dingin kabut bersarang
di tepi danau hening
Mata menatap muka air
tanpa riak tanpa kabar
meski angin bertiup
tak dapat memaksa
dedaun pinus bersiul
tapi mampu lenakan
beberapa ekor ikan
dalam danau tenang
mereka bermain
Mata elang menyala
empunya paruh sekeras besi
terkatup kuku setajam
pedang mencengkeram
ranting menggigil
menahan bunyi gemeretak
Maka pada sekian
ribu detak jantungnya
terbanglah elang terbang
melayang tinggalkan
ranting waktu menjadi
pijakan masa lalu
Hilang waktupun hilang
Menyatu jadi sayap mengepak
Mendorong tubuh melesat
susuri sepi rata muka air
Tinggalkan angin tersedu
Meratapi nasib di belakang
Mata elang mata api
Empunya cakar menyergap
Mangsa yang tak lagi sempat
berpikir apakah kecipak
air adalah kabar baik
ataukah kabar buruk
Yang dia tahu adalah
sepasang kaki kukuh
dengan kuku-kuku
belati mencengkeram
nasib dirinya hari ini
telah ditentukan pada
sang mata bola api
Ku lihat mata elang
Lesat terbang menghilang
pada tegakan pinus pagi bisu
Air danau berasap kabut biru
Hening dan tenang
Bogor 0309
Kamis, 26 Februari 2009
CERPEN
LAKI-LAKI MUDA DI RUANG TUNGGU
Tak seorangpun sadar bila langit luar ruang tunggu itu sedang mengancam kota kecil dengan badainya. Malam telah membungkusnya dengan rapi berpita lampu berpendar-pendar dari pusat-pusat pertokoan.
Orang-orang di ruang tunggu sedang menonton tv layar plasma. Sebuah sinetron yang telah rutin ditayangkan. Dengan cerita yang tak jelas juntrungannya. Berhias peletat-peletot wajah pemain dan pelototan mata bila marah atau terkejut. Yang tampak sama belaka.
Ah, ternyata ada juga tak menonton sinetron. Seorang laki-laki muda. Meski matanya menghadap layar plasma tapi pikirannya melayang pada ruang-ruang, entah yang mana, tempat istrinya sedang diperiksa oleh dokter kandungan. Mulutnya terus mengunyah apa saja yang tersimpan di tas plastik kreseknya. Sesekali dia menoleh pada dua perempuan yang duduk di kursi depan sebelah kirinya yang terus mengomentari cerita sinetron. Yang terdengar jelas di telinganya adalah ketika kedua perempuan itu berkata, bersahutan :
-. Rasakno koen !
-. Huuh, cik matek rak uwis !
Laki-laki itu tak mengerti apa yang diucapkan oleh kedua perempuan itu. Dia pikir itu pasti bahasa Jawa. Tiba-tiba dia menghentikan kunyahannya demi melihat ke luar kaca. Di sana angin sedang membabi buta.
Hatinya dirundung cemas. Pasti sebentar lagi mati lampu. Seperti hari-hari kemarin di kota ini. Lalu dia bertanya dalam hati, adakah rumah sakit ini mempunyai listrik cadangan.
* terjemahan :
-. Rasain kamu !
-. Huuh, biar mati sekalian !
Bogor 08-09
Tak seorangpun sadar bila langit luar ruang tunggu itu sedang mengancam kota kecil dengan badainya. Malam telah membungkusnya dengan rapi berpita lampu berpendar-pendar dari pusat-pusat pertokoan.
Orang-orang di ruang tunggu sedang menonton tv layar plasma. Sebuah sinetron yang telah rutin ditayangkan. Dengan cerita yang tak jelas juntrungannya. Berhias peletat-peletot wajah pemain dan pelototan mata bila marah atau terkejut. Yang tampak sama belaka.
Ah, ternyata ada juga tak menonton sinetron. Seorang laki-laki muda. Meski matanya menghadap layar plasma tapi pikirannya melayang pada ruang-ruang, entah yang mana, tempat istrinya sedang diperiksa oleh dokter kandungan. Mulutnya terus mengunyah apa saja yang tersimpan di tas plastik kreseknya. Sesekali dia menoleh pada dua perempuan yang duduk di kursi depan sebelah kirinya yang terus mengomentari cerita sinetron. Yang terdengar jelas di telinganya adalah ketika kedua perempuan itu berkata, bersahutan :
-. Rasakno koen !
-. Huuh, cik matek rak uwis !
Laki-laki itu tak mengerti apa yang diucapkan oleh kedua perempuan itu. Dia pikir itu pasti bahasa Jawa. Tiba-tiba dia menghentikan kunyahannya demi melihat ke luar kaca. Di sana angin sedang membabi buta.
Hatinya dirundung cemas. Pasti sebentar lagi mati lampu. Seperti hari-hari kemarin di kota ini. Lalu dia bertanya dalam hati, adakah rumah sakit ini mempunyai listrik cadangan.
* terjemahan :
-. Rasain kamu !
-. Huuh, biar mati sekalian !
Bogor 08-09
Jumat, 13 Februari 2009
PUISI
UNTUK KEKASIH SETIAKU
Kau selalu siap dengan
Tas punggungmu
Menungguku di persimpangan jalan
Dengan senyum purba
Yang tak pernah lekang
Dari bibir merahmu
Bila ku datang
Ku tak pernah menanyakan
Kabarmu
Ah, kau tak juga menanyakan
Kabarku
Seperti biasa kau langsung
Menyerahkan peta perjalanan itu
Padaku untuk ku pilih-pilih
Arah mana petualangan kita
Selanjutnya
Situasi yang terus berulang
Dan berulang dan kau
Tak pernah bosan melakukannya
Padahal kau tahu
Aku selalu mengingkarimu
Bogor 0209
Kau selalu siap dengan
Tas punggungmu
Menungguku di persimpangan jalan
Dengan senyum purba
Yang tak pernah lekang
Dari bibir merahmu
Bila ku datang
Ku tak pernah menanyakan
Kabarmu
Ah, kau tak juga menanyakan
Kabarku
Seperti biasa kau langsung
Menyerahkan peta perjalanan itu
Padaku untuk ku pilih-pilih
Arah mana petualangan kita
Selanjutnya
Situasi yang terus berulang
Dan berulang dan kau
Tak pernah bosan melakukannya
Padahal kau tahu
Aku selalu mengingkarimu
Bogor 0209
Selasa, 10 Februari 2009
CELOTEH
“Inilah kehidupan yang saya jalani. Dulu saya mengikuti para tetua. Berjalan melintas gurun. Berdagang dari desa ke desa. Kini sayalah pemimpin rombongan. Saya menikmatinya. Saya tak berpikir yang lain. Ada nggak sih, kehidupan yang lebih enak selain daripada seperti ini ?”
Itulah yang dikatakan oleh Al-Hasan, seorang pemimpin rombongan pedagang pengembara yang melintas Sahara. Dalam film dokumenter Last Chance Journeys : Sahara di National Geographic Channel. Al-Hasan berbicara seperti itu sambil setengah tertawa. Saya, penonton film dokumenter itu, merasa, Al-Hasan sedang menertawakan saya.
Akhir-akhir ini saya merasa kehidupan berjalan dengan cepat. Saya pernah berpikir ; dulu ketika masa kanak-kanak saya begitu ingin cepat dewasa. Merasakan hal-hal yang dilakukan oleh orang dewasa yang tampak bagi saya, saat itu, begitu bebas dan nikmat. Waktu, saat-saat itu, berjalan dengan lamban. Ingin cepat-cepat menjadi orang dewasa, rasanya. Kini ketika dewasa, saya sedang merasakan kebebasan dan kenikmatan itu. Tapi satu hal lain, saya merasa waktu berjalan lebih cepat.
Entahlah, mungkin saya saat ini sedang berpikir atau tepatnya ketakutan. Akan waktu-waktu yang selanjutnya saya jelang. Usia tua. Di mana, tak dapat dimungkiri, tua adalah identik dengan lamban, tak gagah lagi, kembali terkungkung dalam banyak keterbatasan. Utamanya keterbatasan fisik.
Saya bertanya, kenapa saya tak berpikir saja seperti Al-Hasan. “Ada nggak sih, kehidupan yang lebih enak selain daripada seperti ini.” Tapi saya kini menertawakan diri saya sendiri. Al-Hasan hidup di gurun. Perjalanan demi perjalanan yang beribu kilometer. Diterpa badai dan dinginnnya malam. Berjalan cepat di kala malam agar tak kehilangan bintang penanda yang bergeser. Meninggalkan ternak atau teman yang mati begitu saja di perjalanan. Ah, kehidupan saya tak segarang A-Hasan. Tapi laki-laki begitu tegarnya. Apalah saya ini.
Dalam rombongan Al-Hasan, ada seorang pemuda yang selalu diledek. Karena dia tak becus mengatasi kesulitan-kesulitan selama di perjalanan. Pemuda itu bercita-cita, kelak dia tak mau meneruskan cara hidup seperti itu. Dia akan menyetir mobil. Tapi pemuda itu ditertawakan, bagaimana hendak menyetir mobil kalau tak bisa menyetir dan tak ada mobil di gurun.
Dalam pandangan saya, betapa hidup itu begitu sederhana menurut Al-Hasan. Meski sepanjang perjalan hidupnya bertembung dengan keganasan alam dan kesulitan hidup. Namun begitu rumit bagi sang pemuda, kala dia bercita-cita setinggi langit.
Menjelang bagian akhir film dokumenter, Al-Hasan kembali ke desanya. Desa kecil di tengah-tengah luasnya gurun. Katanya, “kini saya pulang, saya berharap desa saya sedamai dulu ketika saya tinggalkan.”
Bogor, 0209
Itulah yang dikatakan oleh Al-Hasan, seorang pemimpin rombongan pedagang pengembara yang melintas Sahara. Dalam film dokumenter Last Chance Journeys : Sahara di National Geographic Channel. Al-Hasan berbicara seperti itu sambil setengah tertawa. Saya, penonton film dokumenter itu, merasa, Al-Hasan sedang menertawakan saya.
Akhir-akhir ini saya merasa kehidupan berjalan dengan cepat. Saya pernah berpikir ; dulu ketika masa kanak-kanak saya begitu ingin cepat dewasa. Merasakan hal-hal yang dilakukan oleh orang dewasa yang tampak bagi saya, saat itu, begitu bebas dan nikmat. Waktu, saat-saat itu, berjalan dengan lamban. Ingin cepat-cepat menjadi orang dewasa, rasanya. Kini ketika dewasa, saya sedang merasakan kebebasan dan kenikmatan itu. Tapi satu hal lain, saya merasa waktu berjalan lebih cepat.
Entahlah, mungkin saya saat ini sedang berpikir atau tepatnya ketakutan. Akan waktu-waktu yang selanjutnya saya jelang. Usia tua. Di mana, tak dapat dimungkiri, tua adalah identik dengan lamban, tak gagah lagi, kembali terkungkung dalam banyak keterbatasan. Utamanya keterbatasan fisik.
Saya bertanya, kenapa saya tak berpikir saja seperti Al-Hasan. “Ada nggak sih, kehidupan yang lebih enak selain daripada seperti ini.” Tapi saya kini menertawakan diri saya sendiri. Al-Hasan hidup di gurun. Perjalanan demi perjalanan yang beribu kilometer. Diterpa badai dan dinginnnya malam. Berjalan cepat di kala malam agar tak kehilangan bintang penanda yang bergeser. Meninggalkan ternak atau teman yang mati begitu saja di perjalanan. Ah, kehidupan saya tak segarang A-Hasan. Tapi laki-laki begitu tegarnya. Apalah saya ini.
Dalam rombongan Al-Hasan, ada seorang pemuda yang selalu diledek. Karena dia tak becus mengatasi kesulitan-kesulitan selama di perjalanan. Pemuda itu bercita-cita, kelak dia tak mau meneruskan cara hidup seperti itu. Dia akan menyetir mobil. Tapi pemuda itu ditertawakan, bagaimana hendak menyetir mobil kalau tak bisa menyetir dan tak ada mobil di gurun.
Dalam pandangan saya, betapa hidup itu begitu sederhana menurut Al-Hasan. Meski sepanjang perjalan hidupnya bertembung dengan keganasan alam dan kesulitan hidup. Namun begitu rumit bagi sang pemuda, kala dia bercita-cita setinggi langit.
Menjelang bagian akhir film dokumenter, Al-Hasan kembali ke desanya. Desa kecil di tengah-tengah luasnya gurun. Katanya, “kini saya pulang, saya berharap desa saya sedamai dulu ketika saya tinggalkan.”
Bogor, 0209
Selasa, 03 Februari 2009
PUISI
BERITA PAGI
( lagi dan lagi )
Berita pagi ini tentangmu lagi
Kabar kawan-kawanku
Yang kembali kau telan
Dalam rahasia kabut lipatan
Lekuk tubuh memancing birahi
Tahukah kau
Mereka sesungguhnya mencoba
Mengerti sesuatu yang tampak bagi mereka
Di kejauhan sebagai perempuan
Molek menggoda
Ah, Tidak
Kau tak menggoda
Mereka yang tergoda
Begitupun aku
Dulu
Betapa kini ku memahamimu
Sebagai sebuah penciptaan
Yang setiap saat
Kubelai dari kejauhan
Sambil terus memendam
Dendam penaklukan
Ah, kau tersenyum di sana
Beberapa hari yang lalu
Mimpi-mimpi buruk menyambangi
Ternyata itu kau
Memberi tanda akan sebuah
Kunjungan
Seharusnya ku tahu
Kau telah menyapaku
Bogor, 0209
( lagi dan lagi )
Berita pagi ini tentangmu lagi
Kabar kawan-kawanku
Yang kembali kau telan
Dalam rahasia kabut lipatan
Lekuk tubuh memancing birahi
Tahukah kau
Mereka sesungguhnya mencoba
Mengerti sesuatu yang tampak bagi mereka
Di kejauhan sebagai perempuan
Molek menggoda
Ah, Tidak
Kau tak menggoda
Mereka yang tergoda
Begitupun aku
Dulu
Betapa kini ku memahamimu
Sebagai sebuah penciptaan
Yang setiap saat
Kubelai dari kejauhan
Sambil terus memendam
Dendam penaklukan
Ah, kau tersenyum di sana
Beberapa hari yang lalu
Mimpi-mimpi buruk menyambangi
Ternyata itu kau
Memberi tanda akan sebuah
Kunjungan
Seharusnya ku tahu
Kau telah menyapaku
Bogor, 0209
Jumat, 30 Januari 2009
PUISI
HEY
Hey, aku telah melihat jendelamu
Berbingkai jati belantara purba
Berdaun pintu sayap kupu-kupu
Hey, ijinkan aku menjenguknya
Demi seraut wajah kekasihku
Yang saat sepi kudaras namanya
Bogor, 0109
Hey, aku telah melihat jendelamu
Berbingkai jati belantara purba
Berdaun pintu sayap kupu-kupu
Hey, ijinkan aku menjenguknya
Demi seraut wajah kekasihku
Yang saat sepi kudaras namanya
Bogor, 0109
Kamis, 29 Januari 2009
PUISI
AKU DUDUK DI SINI
Aku duduk di sini
Di sisi taman
Yang sedang gelisah
Akan musim yang
Kian tak tertebak
Aku duduk di sini
Memperhatikanmu bermain
Di taman berlarian
Di antara ribuan
Bunga yang sebagian
Layu sebagian
Berharap matahari
Mendorong mekarnya
Aku duduk di sini
Menikmati semilir angin
Yang telah membuatku
Enggan beranjak
BOGOR 0109
Aku duduk di sini
Di sisi taman
Yang sedang gelisah
Akan musim yang
Kian tak tertebak
Aku duduk di sini
Memperhatikanmu bermain
Di taman berlarian
Di antara ribuan
Bunga yang sebagian
Layu sebagian
Berharap matahari
Mendorong mekarnya
Aku duduk di sini
Menikmati semilir angin
Yang telah membuatku
Enggan beranjak
BOGOR 0109
Kamis, 22 Januari 2009
PUISI
( II ) DAN DAUN......
Padamu yang sedang senang memandangi daun jatuh
Sayang ya, di sini tak ada musim gugur, katamu
Tapi pernahkah kau melihat jati meranggas, tanyaku
Kau menggeleng
Lalu Kita diam
Kita tenggelam
Menyusup dalam serasah
Gelisah yang tak kunjung usai
Bogor 0109
Padamu yang sedang senang memandangi daun jatuh
Sayang ya, di sini tak ada musim gugur, katamu
Tapi pernahkah kau melihat jati meranggas, tanyaku
Kau menggeleng
Lalu Kita diam
Kita tenggelam
Menyusup dalam serasah
Gelisah yang tak kunjung usai
Bogor 0109
Rabu, 21 Januari 2009
PUISI
PETARUNG
: B
Mengenalinya di sebuah lorong remang
Ruang siku bawah tangga dinding gambar komik
Anatomi berotot layaknya petarung
Dirinya petarung
Yang menjilati matahari menelikung malam
Menempelkannya di tembok yang kelak
Dijadikannya sebuah kuda-kuda
Untuk melancarkan sebuah pukulan lurus
Kanvas kehidupan
Dirinya petarung
Yang membaca seribu Al-Fatihah
Seusai sembahyang pengantar senja
Bogor, 0109
: B
Mengenalinya di sebuah lorong remang
Ruang siku bawah tangga dinding gambar komik
Anatomi berotot layaknya petarung
Dirinya petarung
Yang menjilati matahari menelikung malam
Menempelkannya di tembok yang kelak
Dijadikannya sebuah kuda-kuda
Untuk melancarkan sebuah pukulan lurus
Kanvas kehidupan
Dirinya petarung
Yang membaca seribu Al-Fatihah
Seusai sembahyang pengantar senja
Bogor, 0109
Selasa, 20 Januari 2009
PUISI
AIR MATA PADA BATU
Pernah ku bertanya pada batu
Apakah waktu yang digenggamnya
Luluh dengan sendirinya bila
Air mata menetes bermilyar tahun
Di atasnya
Ternyata jawabnya ; tidak
Dia mengembang
Dan terus meregang
Mencapai batas sia-sia
Bogor, 0109
Pernah ku bertanya pada batu
Apakah waktu yang digenggamnya
Luluh dengan sendirinya bila
Air mata menetes bermilyar tahun
Di atasnya
Ternyata jawabnya ; tidak
Dia mengembang
Dan terus meregang
Mencapai batas sia-sia
Bogor, 0109
Jumat, 16 Januari 2009
PUISI
KOTA LELAH
Jangan paksa kota membaca luruh hujan yang merintih di keremangan nyala lampu kuning perempatan jalan. Meski di bawah jalan banyak selokan nganga mulutnya, kau tentu tak tahu kemana larinya air. Begitu pula dia.
Tak ingatkah kau kini musim sedang memilin jemarinya. Gemeretak siap bertarung dengan siapapun yang menghadang. Juga kota. Yang lelah.
Ada baiknya kau memahaminya. Seperti ketika kau membelainya, malam. Menunjukkannya sebuah bintang bila terang. Mengajaknya berkeliling, makan-makan dan bercanda. Tak lebih.
Bogor 0109
Jangan paksa kota membaca luruh hujan yang merintih di keremangan nyala lampu kuning perempatan jalan. Meski di bawah jalan banyak selokan nganga mulutnya, kau tentu tak tahu kemana larinya air. Begitu pula dia.
Tak ingatkah kau kini musim sedang memilin jemarinya. Gemeretak siap bertarung dengan siapapun yang menghadang. Juga kota. Yang lelah.
Ada baiknya kau memahaminya. Seperti ketika kau membelainya, malam. Menunjukkannya sebuah bintang bila terang. Mengajaknya berkeliling, makan-makan dan bercanda. Tak lebih.
Bogor 0109
PUISI
SUATU HARI
Menjadi tua dan lelah
Menunggu apapun
Yang kelak mati
Dan membusuk
Menjadi pupuk
Bagimu bunga
Cinta
Yakinkah kau
Bila kelak kita
Bersatu
Tanpa rasa
Apa apa
Bogor 0109
Menjadi tua dan lelah
Menunggu apapun
Yang kelak mati
Dan membusuk
Menjadi pupuk
Bagimu bunga
Cinta
Yakinkah kau
Bila kelak kita
Bersatu
Tanpa rasa
Apa apa
Bogor 0109
Kamis, 15 Januari 2009
CELOTEH
PINTU
Akhir-akhir ini aku sedang berpikir tentang pintu. Tak satu. Banyak. Aku berpikir ; hidup ini ternyata menghadapi banyak pintu. Begini. Entah kenapa sekarang ini aku merasa menghadapi banyak pintu yang sesungguhnya -setidaknya untuk beberapa langkah setelah memasukinya- satu, dua, sudah tertebak akan menuju kemana. Tinggal apakah aku masuk ke dalamnya satu persatu atau kupilih hanya satu.
Dulu kupikir dunia hanya lempang saja. Perjalanan hidup memang berliku, menurun dan mendaki. Hanya itu. Tapi ternyata perjalanan juga memiliki pintu. Kalau menengok ke belakang ternyata aku telah memilih sebuah pintu ketika aku memutuskan berhenti kuliah. Dan baru ku sadar di sana ada pintu yang kupilih yang akhirnya mengantarku pada pintu-pintu lain. Pintu yang sengaja kupilih dan pintu yang dibukakan. Karena aku selalu berkeyakinan selalu ada hal-hal gaib di luar nalar maka begitu pula pada pintu yang dibukakan.
Seperti di awal ku bilang, kini aku berdiri di depan beberapa pintu. Ku tengokkan kepala di belakang. Beberapa pintu sudah kulalui. Ada yang aku dapat keluar masuk dengan nyaman. Ada yang setelah aku masuk kemudian tertutup tak dapat dibuka kembali. Ada yang tertutup setelah aku masuk dan keluar, tak dapat kumasuki lagi. Dan masih ada lagi pintu-pintu dengan banyak kemungkinan.
Bogor 0109
Akhir-akhir ini aku sedang berpikir tentang pintu. Tak satu. Banyak. Aku berpikir ; hidup ini ternyata menghadapi banyak pintu. Begini. Entah kenapa sekarang ini aku merasa menghadapi banyak pintu yang sesungguhnya -setidaknya untuk beberapa langkah setelah memasukinya- satu, dua, sudah tertebak akan menuju kemana. Tinggal apakah aku masuk ke dalamnya satu persatu atau kupilih hanya satu.
Dulu kupikir dunia hanya lempang saja. Perjalanan hidup memang berliku, menurun dan mendaki. Hanya itu. Tapi ternyata perjalanan juga memiliki pintu. Kalau menengok ke belakang ternyata aku telah memilih sebuah pintu ketika aku memutuskan berhenti kuliah. Dan baru ku sadar di sana ada pintu yang kupilih yang akhirnya mengantarku pada pintu-pintu lain. Pintu yang sengaja kupilih dan pintu yang dibukakan. Karena aku selalu berkeyakinan selalu ada hal-hal gaib di luar nalar maka begitu pula pada pintu yang dibukakan.
Seperti di awal ku bilang, kini aku berdiri di depan beberapa pintu. Ku tengokkan kepala di belakang. Beberapa pintu sudah kulalui. Ada yang aku dapat keluar masuk dengan nyaman. Ada yang setelah aku masuk kemudian tertutup tak dapat dibuka kembali. Ada yang tertutup setelah aku masuk dan keluar, tak dapat kumasuki lagi. Dan masih ada lagi pintu-pintu dengan banyak kemungkinan.
Bogor 0109
Minggu, 11 Januari 2009
PUISI
LUKISAN KECIL
Di ujung bawah tangga ada lukisan kecil
Menempel di dinding
Yang kau tak tahu siapa pelukisnya
Setiap hendak ke atas
Kau memandanginya
Dengan mata tertutup
Karena kau pernah gagal
Bila kelopakmu terbuka
Pemandangan itu begitu dekat
Lebih dekat dari urat nadimu
Pernah suatu kali ibu
Memindahkan lukisan itu ke lorong
Yang berujung ke taman buatanmu
Tapi tetap saja setiap hendak ke atas
Kau berhenti di bawah tangga
Memandang dinding kosong itu
Dengan mata tertutup
Bogor, 0109
Di ujung bawah tangga ada lukisan kecil
Menempel di dinding
Yang kau tak tahu siapa pelukisnya
Setiap hendak ke atas
Kau memandanginya
Dengan mata tertutup
Karena kau pernah gagal
Bila kelopakmu terbuka
Pemandangan itu begitu dekat
Lebih dekat dari urat nadimu
Pernah suatu kali ibu
Memindahkan lukisan itu ke lorong
Yang berujung ke taman buatanmu
Tapi tetap saja setiap hendak ke atas
Kau berhenti di bawah tangga
Memandang dinding kosong itu
Dengan mata tertutup
Bogor, 0109
Rabu, 07 Januari 2009
PUISI
DAN DAUN.....
Menikmati waktu berhenti kala daun jatuh.
Lepas dari rantingnya, melayang
Terombang-ambing oleh angin matahari
Kanan, kiri, depan, belakang
Menukik sebentar, kembali melayang
Sebelum benar-benar jatuh
Pada permukaan air tenang
Membentuk gelombang
Susul menyusul ke tepian
Dan lalu diam
Waktu kembali berjalan
Menghanyutkan daun jatuh ke tempat yang jauh
Bogor, 0109
Menikmati waktu berhenti kala daun jatuh.
Lepas dari rantingnya, melayang
Terombang-ambing oleh angin matahari
Kanan, kiri, depan, belakang
Menukik sebentar, kembali melayang
Sebelum benar-benar jatuh
Pada permukaan air tenang
Membentuk gelombang
Susul menyusul ke tepian
Dan lalu diam
Waktu kembali berjalan
Menghanyutkan daun jatuh ke tempat yang jauh
Bogor, 0109
Minggu, 04 Januari 2009
PUISI
DARI KATA
Kau harap apa dari kata ; membimbingmu ke surgakah tak, nerakapun tak. Berkelindan dia di sini. Relung hati yang dibimbing oleh darahmu dari otak
Bogor, 0109
Kau harap apa dari kata ; membimbingmu ke surgakah tak, nerakapun tak. Berkelindan dia di sini. Relung hati yang dibimbing oleh darahmu dari otak
Bogor, 0109
PUISI
KATAKAN YA
Katakan Ya
Maka setapak demi setapak
Kan kujejakan kaki
Menari
Kitari bumi,
Terbang melesat pesat
Katakan Ya
Maka kan kulemparkan selendang
Tuk mengajakmu
Menari
Menyelam samudra
Hilang ingatan hilang raga
Katakan Ya,
Maka sublim diriku sublim dirimu
Lenyap tanpa bekas.
Tandas
Bogor 1208
Katakan Ya
Maka setapak demi setapak
Kan kujejakan kaki
Menari
Kitari bumi,
Terbang melesat pesat
Katakan Ya
Maka kan kulemparkan selendang
Tuk mengajakmu
Menari
Menyelam samudra
Hilang ingatan hilang raga
Katakan Ya,
Maka sublim diriku sublim dirimu
Lenyap tanpa bekas.
Tandas
Bogor 1208
Kamis, 01 Januari 2009
PUISI
SENJA DI LADANG
Kenapa baru sekarang ku kuyakin. Bahwa kau benar-benar tlah pergi. Padahal masih saja kulihat bayangmu. Berdiri di pematang. Ladang-ladang pertempuran. Pada senja berjelaga. Benar katamu : Bharatayudha telah berlalu. Dan langit masih tergores jejak apinya. Maka kau harus pergi mengikuti anak-anakmu. Menemui bapak-bapaknya. Para Dewa. Harusnya kusadar sejak awal. Dalam epos ini, aku, laki-laki dengan kaki yang pincang, bukanlah apa-apa.
Bogor 0109
Kenapa baru sekarang ku kuyakin. Bahwa kau benar-benar tlah pergi. Padahal masih saja kulihat bayangmu. Berdiri di pematang. Ladang-ladang pertempuran. Pada senja berjelaga. Benar katamu : Bharatayudha telah berlalu. Dan langit masih tergores jejak apinya. Maka kau harus pergi mengikuti anak-anakmu. Menemui bapak-bapaknya. Para Dewa. Harusnya kusadar sejak awal. Dalam epos ini, aku, laki-laki dengan kaki yang pincang, bukanlah apa-apa.
Bogor 0109
Langganan:
Postingan (Atom)