SELAYANG BAYANG

SELAMAT DATANG

adalah ruang di mana ada kehidupan yang saling menghidupi. Mungkin ada puisi, mungkin ada cerita, mungkin ada renungan atau oleh-oleh kecil atas sebuah perjalanan, mungkin ada imaji, bahkan mungkin sekedar omelan belaka. Suka maupun tak, apabila berkenan, tinggalkan jejak kata.
Apapun, selamat menikmati. Semoga menjadi inspirasi.
Terima kasih telah berkunjung.

Jumat, 30 Desember 2011

CELOTEH


SAYA DAN PERGANTIAN TAHUN


Sesaat menjelang pergantian tahun seperti ini, pertanyaan yang datang pada saya, dari teman, saudara, biasanya adalah : Tahun Baruan ke mana ? Saya yakin ini adalah sebuah pertanyaan yang umum ketika pergantian tahun Masehi ini telah menjadi momentum perayaan selain pergantian angka, juga diharapkan sebagai pergantian keberuntungan, menutup “buku lama” dan mengganti dengan “buku baru”, juga harapan-harapan baru ke depannya. Tahun ini ketika muncul pertanyaan itu, membuat saya bertanya pada diri sendiri : Iya ya, Tahun Baruan ini saya ke mana ya ?

Saya mungkin adalah salah satu orang yang ( mungkin juga minoritas ) jarang mengadakan atau ikut perayaan Tahun Baru. Tapi memang pada dasarnya saya adalah orang yang tak menyukai acara pesta. Sementara pergantian Tahun baru itu selalu identik dengan pesta pora.

Seingat saya ada dua kali saya dengan sengaja memperingati pergantian Tahun Baru dengan sebuah acara yang istimewa. Satu kali sebuah kegiatan perenungan yang istimewa. Satu lagi adalah kegiatan hura-hura.

Satu kegiatan perenungan itu adalah saya dengan sengaja bertahun baru ( lupa tahun berapa ) di Gunung Welirang, JawaTimur. Saat itu saya berangkat dengan dua kawan, Budi dan Tanto. Meski tak sampai puncak ( kami hanya sampai gubuk para pencari belerang ) saya merasa puas. Bukan karena penaklukan alam tapi penaklukan diri sendiri. Saya merasa puas bahwa pergantian tahun baru saya rayakan dengan “bersembunyi” dari keramaian. Hanya diri saya, teman perjalanan dan teman yang bertemu di jalur pendakian saja yang merasa ada sebuah momentum pergantian antar waktu. Tapi apakah alam yang saja pijak, yang saya telusuri, yang saya sedang terlibat di dalamnya juga turut merayakan pergantian itu ? Saya pikir tidak.

Saya saat itu merasa sebagai individu yang naïf dan kecil dibanding dengan gunung, hutan belantara dan alam semesta yang besar. Yang selalu berevolusi dengan diam-diam tanpa perayaan. Saya merasa terlalu “kegeden rumangsan” apabila saya berpesta pora merayakannya. Ada satu peristiwa kecil di gubuk penambang belerang yakni tarik ulur antara menyalakan kembang api ( suar ) atau tidak saat detik-detik pergantian tahun itu. Kami, para pendaki berbeda pendapat tentang tindakan itu. Satu sisi ada yang takut menyebabkan kebakaran karena kami ada di sekitar belerang. Satu sisi menyatakan tidak apa-apa. Tapi akhirnya kami memutuskan tidak menyalakannya. Kami hanya duduk-duduk dan ngopi di sekitar api unggun di dalam gubuk dan saling mengucapkan Selamat Tahun Baru

Perayaan Tahun Baru yang kedua adalah ketika saya hendak mendirikan majalah Visit Bogor bersama teman-teman. Saat itu kami hendak menabung tulisan untuk edisi pertama. Kami  menulis tentang perayaan Tahun Baru di Puncak, Bogor, Jawa Barat yang sudah menjadi tradisi dari tahun ke tahun. Saat itu saya pergi bersama Hari, Yudha dan Imam.

Kami sengaja berangkat dari siang tanggal 31 Desember. Kami bermaksud merekam dari detik ke detik perubahan suasana keramaian di Puncak. Ya memang pada akhirnya sampai juga kami ke puncak acaranya yakni pesta kembang api di sekitar Masjid At-Taawun. Dari lokasi ini kami dapat melihat kembang api yang bak jamur bermunculan di seantero kota Bogor. Kami mengamati pemandangan itu dari kebun teh. Sementara di jalanan sendiri, ketika detik-detik tahun berganti dimeriahkan oleh hamburan petasan ke langit malam. Bak perang layaknya. Dalam situasi itu saya hanya mencatat dan memotret yang kelak akan saya tampilkan dalam tulisan.

Setelahnya, sekitar jam 02.00 pagi kami beranjak turun kembali ke Bogor. Namun yang kami dapati adalah kemacetan panjang iring-iringan kendaraan bermotor dan manusia.

Itulah dua peristiwa yang pernah saya alami dalam detik-detik pergantian tahun. Selebihnya saya di rumah saja. Nonton televisi atau lebih sering tidur dan terbangun sebentar ketika suara rinduh rendah petasan mengepung di udara. Mungkin setelah ini saya akan mendapatkan pengalaman yang lain. Entahlah

SELAMAT TAHUN BARU 2012



BOGOR 1112

Rabu, 28 Desember 2011

PUISI


SAJAK PENDAKI


Betapa,
Ragu-ragu adalah manusiawi
Penasaran adalah manusiawi
Menemukan diri adalah Ilahi



Bogor 1112

Rabu, 14 Desember 2011

PUISI



RUANG SUNYI


Ruang sunyi
Ada jendela ada pintu
Keduanya terbuka
Menatap langit biru

Lantai menyerap dingin
Hujan yang ragu-ragu
Dan kabut mengendap
Di dinding abu-abu

Seperti ada
Dirimu di sudut
Meringkuk memeluk
Sepasang lutut

Konon kisah
Tentang ruang sunyi ini
Sudah tercatat di alam mahfudz
Secara rapi dan berurut




BOGOR, 1112

Kamis, 08 Desember 2011

PUISI


APALAH AKU


Terbukti sudah
Apalah aku
Raga hina
Lumpur kotor
Sampah
Dan cuma limbah



Bogor, 1112

PUISI


LABIRIN SUNYI


Meraba dirimu
Yang tak tersebutkan
Dalam ragu
Terbata
Dalam ruang
Remang
Bertanya hati
Adakah hadirmu

Menatap kosong
Tubuh tanpa raga
Dalam diam
Hening
Dalam waktu
Mengembang
Bertanya jiwa
Bilakah menyatu

Jasadku
Lumpur
Rohku
Milikmu


Bogor, 1112


Senin, 28 November 2011

PUISI


NEGERI FANTASI


Pantai berpasir putih memanjang
Ombak berdebur mengirim fantasiku
Pada rumah tepi tebing berpagar alang-alang
Berdirimu di sana memandang cakrawala

Lembut matahari menyapa rambutmu
Titian nan lurus tiada bergelombang
Wangi angin masa lampau
Jenjang kaki menari-nari

Melompatlah lompat di atas ombak
Susul menyusul memagut pantai
Pasir tergerus terbawa arus
Mengayun, menyisir berdesir-desir

Uh, pantai negeri fantasi
Samudra tiada batas
Langit biru tegak berdiri
Jangan bangunkan aku dari mimpi




Bogor, 1111

Selasa, 15 November 2011

PUISI


HARI SENIN, SEBUAH SIANG YANG TERIK


Di antara berlapis-lapis jeruji besi
Lorong-lorong yang berujung entah di mana
Bilakah Tuhan hadir lewat selembar sajadah kumal
Tertenteng oleh tangan yang pernah berlumur darah
Dan pikiran-pikiran yang masih tertanam seringai serigala

Ah, Dia Maha Baik, katamu
Dan lafadz agung itu terbang bersama kepulan asap rokok
Yang mungkin kau harap sampai ke ujung langit

Ah, sebuah logika yang kacau, kataku




BOGOR, 1111

Rabu, 09 November 2011

PUISI


SEPI


Dalam sepi aku bisa mendengar dengan jernih
Bahkan hingga sampai ke dasar hati mu

Dalam sepi aku bisa melihat dengan jelas
Bahkan hingga sampai di ujung kabut mu

Dalam sepi aku bisa berbicara pada mu
Tanpa interupsi




KUTA, Bali 1111

Senin, 07 November 2011

OLEH-OLEH




KUTA BERCERITA


Saya pertama kali mengunjungi pantai ini sekitar tahun 1983. Pertama kali saya mengunjungi Bali dan pertama kali pula saya mengunjungi sebuah pantai yang besar. Waktu itu saya diajak Om dengan naik motor. Untuk masuk ke kawasan pantai kami harus melewati jalan setapak yang di kiri kanan terdapat alang-alang, pohon pandan duri dan semak-semak yang tinggi. Tepi pantai Kuta waktu itu banyak ditumbuhi pohon waru.



Terakhir, Minggu kemarin saya datang kembali. Tentu saja pantai sudah berubah banyak. Tapi kedatangan saya kali ini agak istimewa. Karena terus terang saya sedang merindukannya. Saya terakhir mengunjungi sebelum Minggu kemarin adalah tahun 1998. Dan kerinduan saya tuntas sudah

Entah kenapa di pantai ini saya ingin selalu berdiam diri. Bermeditasi mendengarkan suara ombak. Saya merasa tempat ini ombaknya selalu berusaha bercerita. Saya sendiri tak tahu apa yang diceritakannya, tapi saya merasa dia sedang berkata-kata, berbicara. Saya tak mengerti bahasanya tapi saya  merasa akrab. Selanjutnya adalah perasaan tenang dalam diri yang ada.
Tapi kedatangan saya kemarin ada sesuatu yang menarik. Ketika saya menenangkan diri menghadap laut saya dihampiri oleh seorang turis laki-laki yang tinggi besar. Dia menyapa saya sedang apa. Saya bilang saya sedang mendengarkan laut. “Kamu mendengarkan ombak ?” Tanyanya.

Saya mengangguk.

“Kamu memandangi cakrawala ?” Tanyanya lagi.

Saya mengiyakan. Dia tersenyum.

Lalu dia berkata, “Mereka datang entah dari mana dan pergi entah ke mana. Cakrawala nampak begitu dekat namun kita tak pernah dapat menjangkaunya.” 

Giliran saya yang tersenyum

Lalu kami terlibat perbincangan basa-basi saling menanyakan asal-usul, pekerjaan dan lain-lain. Baru saya tahu, dia turis berasal dari Jerman.

Tiba saat kami berpisah dia berpesan, “anak, istri, dunia kamu mungkin suatu saat dapat meninggalkan kamu. Maka lepaskanlah semua beban dan pikiran. Karena mereka semua telah ada di hati kamu. Tak kan pernah pergi ke mana-mana. Seperti pantai yang ombaknya datang dan pergi tapi mereka selalu ada. Seperti Cakrawala yang dekat namun tak dapat dijangkau.”

Saya terdiam, tersenyum lalu mengucapkan terima kasih atas pesan-pesannya itu. Setelah itu kamipun berpisah.

















KUTA, BALI 1111

Kamis, 03 November 2011

PUISI


MELATA


Malam membungkus embun
Embun membungkus daun
Daun membungkus pohon
Pohon menaungi tanah
Tiada mata gelap semata
Naluri melata
Menyuruk di kegelapan
Tiada angin tiada cahaya
Merasa embun
Merasa daun
Merasa tajuk pepohonan
Hening menaungi
Malam melata


Bogor 1111

Rabu, 26 Oktober 2011

CELOTEH


BIS SURAT


Saya tak tahu kenapa dinamakan Bis Surat. Apakah ada hubungannya dengan Bis ( Bus ), kendaraan yang dapat mengangkut banyak orang, dan benda ini adalah untuk tempat banyak surat dan kemudian surat dibawa pergi ke tempat-tempat jauh ? Atau ada alasan lain ?

Mungkin ini sebentar lagi akan menjadi bagian dari sejarah Pos dan Telekomunikasi. Di mana sekarang telah melimpah ruah media / alat yang dapat menghubungkan kita dengan orang lain di tempat yang jauh. Surat kertas sekarang sudah tergantikan dengan surat elektronik di internet. Kartu Pos tergantikan dengan teks pesan pendek di telepon seluler. Maka benda inipun akan tersingkir dan masuk museum.

Bagaimanapun benda ini juga menjadi bagian dari sejarah saya. Saya dulu sering mengirimkan naskah tulisan, kartu pos quiz, bahkan gambar ke acara Pak Tino Sidin di TVRI Pusat, Jakarta dengan cara memasukkan ke kotak ini.



Bogor 1011

Selasa, 18 Oktober 2011

CELOTEH



NOVEL BARU

Telah terbit NOVEL SILAT :

Karang, Cahaya Jingga di Ufuk Timur.
Harga Rp. 37.900,00.
Sementara untuk mendapatkannya silakan klik ini :


Deskripsi:

Sombar, seorang pendekar kepercayaan Aryo Penangsang ingin mengundurkan diri dari dunia persilatan. Namun perjalanan untuk menempuh itu sangat tak mudah. Di tempat persembunyiannya dia menemukan seorang anak laki-laki yang terdampar di pantai selatan. Karena anak itu kehilangan ingatan masa lalunya maka dinamainya, Karang. Dia sendiri merubah namanya menjadi Ki Sriti. Dalam sebuah mimpinya, Ki Sriti bertemu dengan Nyi Roro Kidul yang memberi mandat untuk mendidik anak itu menjadi seorang pendekar yang disegani di tanah Jawa. Dan ternyata Karang memang sangat berbakat dalam ilmu kanuragan dan kebatinan. Ki Sriti dibantu oleh Kyai Purwo, ulama desa terdekat dari tempat persembunyiannya membentuk Karang menjadi pendekar yang tangguh, disegani oleh kawan maupun lawan.



Senin, 17 Oktober 2011

PUISI


PAGI DI KOLAM SEBUAH TAMAN


Berdiam diri bunga teratai
Tanpa riak tanpa gelombang
Mentari menyelinapi sela dedaunan
Pucuk –pucuk ranting pohon mengemas
Hatinya terbakar api cemburu



BOGOR 1110

Kamis, 06 Oktober 2011

Minggu, 25 September 2011

PUISI

SEPOTONG SENJA, SEBIJI KAPUK DAN SEORANG GADIS KECIL


Senja, seorang gadis kecil menatap langit kelabu
dia menunjuk ke atas
“lihat, apakah itu ? Ada kapas terbang”

Sebutir biji berwarna hitam melayang di udara
terbungkus serabut lembut
terombang ambing angin pancaroba

Mata sang gadis mengerjap-ngerjap
pupilnya memandang
kemana serabut lembut itu terbang

Biji kapuk mendarat di rerumputan
tempat matahari meninggalkan jejak baranya
juga tanah yang rindu basah

Ibu randu telah menitipkan anak-anaknya
pada angin untuk pergi ke tempat-tempat
yang jauh

Gadis kecil menatap langit
yang perlahan kian gelap
awan hitam bergulung-gulung

Sayup-sayup dia mendengar dari angin
ibu randu sedang menagih janjinya
pada hujan



Bogor 0911




Jumat, 23 September 2011

PUISI


SEPTEMBER

September, tiada ada yang menyambutmu
Perayaan usai sudah, hujan terbata-bata
Tanah bengkah, air sembunyi
Dedaun ragu, pucuk-pucuk baru layu
Ilalang terbakar, ikan-ikan terkapar
Ratapan, ratapan, kering


Bogor 0911


Rabu, 24 Agustus 2011

PUISI


SAJAK OASE KERING


Bila dalam perjalananmu setiap kali bertemu oase adalah sekumpulan palm-palm mati, sumur-sumur kering, semak belukar dan pepohonan meranggas, lalu apakah yang hendak kau bawa ke dalam perjalanan setelahnya. Punggungmu kan terisi batu, pasir, onak dan matahari yang memanggang. Sementara padang pasir tak menjanjikan apa-apa selain angin gurun dan dingin malam. Langit kian meninggi di atas kepala dan bintang-bintang malam sangat jauh tuk dijangkau. Dalam dirimu hanyalah seonggok daging yang kian lekat pada tulang. Kering tenggorokan dan kerongkongan mencekik. Hilang akal hilang jiwa.



Bogor 0811   


Jumat, 19 Agustus 2011

PUISI


L E L A H


Dengan gagap aku
Memasuki pintu mu
Sambil memohon harap
Dan doa seorang
Musafir tertatih
Di padang pasir
Yang meminta
Setetes embun dari
Mata air surga mu



Bogor 0811



PUISI


DI BAWAH KIBARAN BENDERA

Seperti juga pagi kemarin
Kemarin, kemarin, dan kemarinnya lagi
Tiada kibaran bendera
Tiada hiruk pikuk sirene
Tiada tetabuhan dan pekik merdeka
Hanya semilir angin
Bisingnya kendaraan bermotor
Dan karung yang harus dipenuhi
Untuk  sebuah hidup
Memerdekakan diri
Mencari sesuap nasi
Karena kibaran bendera
Nampaknya takkan pernah peduli


BOGOR 0811



Selasa, 16 Agustus 2011

PUISI


KE PANTAI MU

Telah ku tahu betapa dalam sebuah kolam yang tak terukur. Juga telah ku terima kucuran air mu yang tiada henti. Gelombang susul menyusul. Arus terus menggerus senti demi senti. Membawaku ke pantai mu. Ke pantai mu.


Bogor 0811


Jumat, 12 Agustus 2011

CELOTEH


Kisah Nyata

MALAIKAT PENOLONG DI SIANG BOLONG


Jumat siang di bulan puasa ini matahari bersinar terik sekali. Tapi saya harus keluar untuk memfotokopi beberapa dokumen. Kebetulan tempat langganan fotokopi saya ada di pinggir jalan besar KH Abdullah bin Nuh, Bogor. Jalan yang trotoarnya sedang dalam pengerjaan.

Ketika saya sedang menunggu dokumen saya dikerjakan datanglah sebuah mobil van yang dikendarai seorang ibu. Dia memarkirkan mobilnya tepat di depan kios fotokopi. Dia ternyata juga hendak memfotokopi dokumen. Karena dokumennya cuma satu maka diapun cepat selesai dan angkat kaki dari kios itu.

Dia kembali ke mobilnya dan bersiap pergi. Tapi apa yang terjadi ? Alamak ! Ketika mobil itu bergerak, kaki-kakinya ban depan tersangkut kanstin trotoar. Mobilpun meraung-raung tak bisa jalan. Si Ibu itu sendiri di dalam mobil tampak kebingungan. Saya yang  hanya beberapa meter di depan kejadian memberikan isyarat agar si ibu tak terus mencoba menjalankan mobilnya. Karena toh akan percuma.

Saya akhirnya turun untuk membantu si ibu dengan cara mencoba singkirkan batu-batu,  beton dan kanstin yang membuat kaki-kaki mobil itu tersangkut. Tapi apa daya kaki-kaki itu sudah tersangkut demikian dalam. Dibantu oleh tukang foto kopi kami mencoba membongkar beton di bawah mobil. Tentu saja ini membutuhkan tenaga yang ekstra keras. Tak lama keringat kami pun bercucuran. Dan tak kunjung berhasil.

Berbagai akal kami berdua tempuh demi membebaskan mobil itu. Termasuk diantaranya menggoyang-goyang mobil itu. Pikiran saya, mobil ini harus diangkat. Mau minta tolong orang di sekitar jalan itu saya tak terlalu yakin mereka mau. Beberapa orang tampak melihat saja.

Di tengah kami bertiga yang kehabisan akal, tiba-tiba entah dari mana ada seorang bapak berbaju batik, berpeci datang menghampiri. Bapak itu saya rasa berusia sekitar 60 tahunan. “Diangkat saja, Mas,” katanya

“Iya. Saya tadi juga berpikir begitu. Tapi sendirian saya nggak kuat,” kata saya.

“Ya sudah mari saya bantu,” kata bapak itu sambil menghampiri ban belakang dekat saya berdiri.

“Yakin pak ?” Tanya saya agak meragukan kesehatan dan kemampuan sang Bapak. Mengingat usia dan fisiknya saya takut nanti terjadi sesuatu pada beliau akibat mengangkat mobil itu. Sebab saya sendiri pernah cidera pinggang gara-gara mengangkat mobil teman yang salah satu bannya tercebur ke dalam got.

“Ayo lah, kita coba,” kata bapak itu dengan nada optimis.

Sekali angkat, mobil di-gas, mobil tak bergerak. Dua kali angkat, mobil di-gas, lepaslah kaki-kaki roda depan mobil itu dari kanstin yang menahannya. Mobil pun berdiri normal di jalanan aspal. Kami berempat pun tertawa puas atas keberhasilan itu.

Setelah saling mengucapkan terima kasih dan ibu itu pergi dengan mobilnya, saya pergi ke kran air yang ditunjukkan tukang fotokopi untuk mencuci tangan. Setelah mencuci tangan saya berharap bertemu kembali dengan bapak berbaju batik dan berpeci itu. Namun si bapak itu sudah tak ada di tempat kami berdiri tadi. Saya pikir dia tadi juga sedang mengantri untuk mencuci tangan.

Saya tanyakan kepada tukang fotokopi, kemana perginya bapak tadi. Tak ada yang tahu. Saya mecoba berkeliling ke tempat-tempat terdekat, mencari ke mana perginya si bapak tadi. Saya tak juga menemuinya.

Saya kembali ke tempat fotokopi dan bertanya lagi ke mana perginya bapak tadi. Mereka menjawab,“malaikat kali, Mas. Abis nolongin, ngilang dia…. Hahaha..” Sayapun ikut tertawa.

Ya mungkin bapak itu adalah seorang malaikat. Wallahualam.




BOGOR, 0811





Kamis, 04 Agustus 2011

PUISI



KESUNYIAN APAKAH


Sepi menari-nari
Batu-batu bisu
Dunia berlalu



BOGOR 0711

Senin, 01 Agustus 2011

CERPEN ; Anak

( Setelah bongkar-bongkar naskah lama, ternyata saya juga menyimpan sebuah Cerita Anak tentang Puasa )


PUASA ANDI
                                                                                                      E. Andantino


Puasa tahun ini adalah puasa ke tiga bagi Andi. Sejak dua tahun yang lalu dia sudah belajar berpuasa dengan penuh dari Subuh hingga Magrib. Tahun-tahun sebelumnya Andi hanya berpuasa hingga waktu Dzuhur tiba.


Sejujurnya, berpuasa baginya adalah sebuah pengalaman yang berat. Namun karena ini adalah kewajiban bagi seorang Muslim, maka dia harus menjalankannya.


Suatu hari Bapaknya pernah berkata, “Memang, berpuasa, tampaknya adalah sesuatu yang berat. Namun kelak kamu akan tahu manfaat kita diwajibkan berpuasa.”


Sampai sekarang Andi kelas VI, dia belum mengerti juga maksud ucapan dari Bapaknya. Baginya, puasa adalah sebuah kesusahan menjelang kegembiraan. Di mana umat Islam merayakan kemenangan berpuasa dengan baju baru dan makan makanan yang enak-enak di Idul Fitri. Saat ini, hanya itulah yang dia tunggu ketika bulan puasa menjelang.


Hari pertama berpuasa, dengan malas Andi bangun untuk makan sahur. Meski di meja makan ibu sudah menyediakan makanan yang tampak lezat, begitu susah Andi menimbulkan selera makannya. Saat itu menurutnya lebih baik meneruskan tidur. Tapi kalau tidur lagi dia akan mendapat malu dari adiknya, Rama. Anak laki-laki kelas II SD itu tampak gembira duduk di meja makan. Ya, Rama tampak bersemangat makan sahur. Tentu saja dia pasti juga sedang bersemangat berpuasa.  


Andi jadi teringat saat pertama dia belajar berpuasa. Seperti Rama, diapun bersemangat berpuasa saat itu. Bapaknya menjanjikannya tambahan uang saku bila berhasil melaksanakan puasa hingga Magrib tiba. Begitu juga dengan Rama saat ini. Diapun dijanjikan mendapat tambahan uang saku itu.


Tapi bagi Andi kini lain. Orang tuanya tak menjajikan apa-apa padanya karena kini dia dianggap sudah cukup besar untuk menjalankan ibadah dengan tanpa iming-iming hadiah. Karena sekarang Andi harus tahu bahwa berpuasa adalah kewajiban yang tak boleh ditinggalkan oleh umat Muslim. Meski Andi tahu, lebaran nanti dia akan mendapat jatah baju baru pula.


Dengan malas dan mengantuk dia duduk di belakang meja makan. Sup ayam jagung hangat bikinan Ibu tak juga menerbitkan selera makannya. Ayam goreng yang baru turun dari penggorengan juga belum membuatnya bersemangat. Dia melihat saja tingkah laku adiknya yang dengan lahap menyantap makanan yang disediakan.


“Kamu nggak makan sahur, Di ?” Tegur ibunya demi melihat anak laki-laki sulungnya itu terpaku di belakang meja makan.


“Makanlah, Di. Makan sahur penting untuk tenagamu seharian nanti,” susul Bapak.


Dengan mata yang masih berat dia mengambil nasi dari wadahnya ke atas piring. Ibu membantunya mengambil sepotong dada ayam goreng. Meletakkan di atas nasinya. Andi mengucapkan terima kasih pada Ibunya.


*****


Hari-hari berpuasa, menurut perasaan Andi, berlalu dengan sangat lamban. Cuaca hari-hari yang panas membuat perasaannya semakin tertekan. Sementara ini yang selalu ditunggunya adalah waktu berbuka. Di mana dia bisa makan dan minum sesukanya. Tapi Bapak melarangnya untuk makan terlalu banyak. Sebab, kata Bapak, perut yang terlalu kenyang akan memperberat tugas lambung dalam mengolah makanan. Andi menurutinya meski dengan wajah cemberut.


Satu lagi yang ditunggunya adalah saat shalat Tarawih. Di Langgar, dia bertemu dengan kawan-kawannya. Setelah turun Tarawih bermain bersama di halaman Langgar. Di saat shalat Tarawih itu Andi mendengar dari ceramah Ustadz Rahim bahwa kegembiraan orang berpuasa adalah pada saat berbuka dan pada saat bertemu Tuhan di surga nanti. Benar, pikir Andi, kegembiraannya sekarang adalah saat berbuka. Tapi esok dia akan kembali bersusah payah menahan lapar dan haus.


Satu minggu menjelang Idul Fitri, Ibu mulai sibuk dengan persiapannya membuat kue-kue Lebaran. Pagi itu Ibu tampak di dapur. Mengeluarkan peralatan membuat kue yang lama tersimpan di dalam lemari. Tapi tiba-tiba wajah Ibu tampak kecewa. Peralatan mencetak kuenya telah rusak karena tertindih oleh peralatan memasak yang lain. Bapak menghibur Ibu dan berjanji akan membelikannya besok di Pasar Besar. 


Esoknya, di hari Minggu, Bapak telah bersiap pergi ke Pasar Besar. Dia mengajak Andi pergi ke sana. “Sekalian sambil menunggu Magrib,” kata Bapak menghibur Andi. Tentu saja Andi sangat senang.


Dengan sepeda motor mereka ke Pasar Besar. Sebuah pasar di mana menjual bermacam-macam barang dan peralatan selain pasar sayur dan buah-buahan. Andi dan Bapak berkendara menembus terik cahaya matahari di langit cerah dan udara panas jalanan. Andi menikmati perjalanan itu sambil melihat-lihat ke tepi jalan. Melupakan terik matahari yang menyengat kulitnya.


Tapi tiba-tiba sepeda motor meliuk-liuk ke kiri dan ke kanan. Bapak tampak berusaha mengendalikannya agar tak jatuh, menabrak atau tertabrak kendaraan yang lain.


“Astaghfirullah....ban kita kempes Di,” kata Bapak sambil pelan-pelan meminggirkan sepeda motornya ke tepi jalan.


Dan benar. Ban belakang sepeda motor itu tampak kempis. Velgnya hampir menyentuh aspal.


“Ck..Ck...Pasti kena paku,” keluh Bapak. “Ayo cari tukang tambal ban...” kata Bapak.


Sejurus kemudian, mereka berjalan menyusuri bahu jalan. Bapak menuntun sepeda motor itu. Andi mengikutinya di belakang. Dalam hati, Andi menyesal juga ikut Bapak pergi ke pasar. Kini perasaannya kian tertekan oleh panas jalanan. Haus dan lapar kian terasa.


Andi melihat Bapaknya yang mulai bersimbah peluh menuntun sepeda motor. Tentu sangat berat bagi Bapak, pikirnya, menuntun sepeda motor yang berat itu di terik matahari di saat berpuasa seperti ini. Hati Andi tergerak membantu Bapaknya. Dia mulai ikut mendorong sepeda motor itu agar tugas Bapaknya menjadi lebih ringan. Bapak menengok ke belakang sebentar. Wajahnya tampak berkeringat dan lelah. Tapi Andi masih melihat semangat di senyumnya.


Setelah berjalan hampir sepuluh menit mereka menemukan seorang tukang tambal ban pinggir jalan. Bapak menyerahkan sepeda motor itu pada Pak Tua tukang tambal ban itu untuk ditambal. Dengan tekun Pak Tua mengerjakan ban belakang yang bocor itu.


“Bapak berpuasa ?” Tanya Bapak kepada Pak Tua.


“Alhamdulillah, saya berpuasa,” jawab Pak Tua.


Tiba-tiba Andi merasa kagum dengan Pak Tua itu. Di tengah lapar dan hausnya di panas jalanan, Pak Tua dengan tabah menjalankan pekerjaannya.


Ban selesai ditambal dan dipompa, sepeda motor kembali dapat dijalankan. Setelah Bapak memberikan ongkos yang diminta, mereka melanjutkan perjalanan menuju ke Pasar Besar.


*****


Saatnya hari terakhir berpuasa tiba. Esok seluruh umat Muslim akan merayakan kemenangan di hari yang Fitri. Malam ketika beduk ditabuh bertalu-talu dan takbir berkumandang di angkasa, Andi menemui Bapaknya yang sedang bersantai di teras.


“Pak, sekarang Andi tahu manfaat berpuasa bagi kita,” katanya pada Bapaknya.


“Apa itu ?”


“Kita dapat berlatih kesabaran dan keteguhan hati.”


Bapaknya tersenyum dan mengusap-usap kepalanya.






Bogor 0907

Rabu, 27 Juli 2011

PUISI


KISAH SEBIJI BENIH


Pada bumi benih terperam
Dalam gulita semesta nir cahya
Bertahan dikurung sunyi
Diam dipendam kelam
Adalah cinta setetes air
Turun dari langit
Nan berlapis-lapis
Bangkitkan ruh
Pecahkan cangkang pikir
Mencari sumber
Sang pemberi hidup
Maka
Tumbuhlah akar
Tumbuhlah daun
Alam menggeliat
Alam memelihara
Benih menjadi pokok
Bercabang, beranting
Merengkuh angin meraih langit
Cinta memayung bumi
Tempat dulu benih terperam


BOGOR 0711

Selasa, 26 Juli 2011

PUISI


PINTU


Katakanlah padaku tentang
pintumu yang berlapis-lapis itu
setiap kali ku membukanya
selalu ada yang baru
berakhir di manakah
berujung di manakah
dan bila lelah ku kan berhenti
itukah maumu
karena dirimu memang
tak pernah terjangkau



Bogor 0711


Rabu, 13 Juli 2011

PUISI


PUISI TAK TERSAMPAIKAN

Sudah adakah dia di tanganmu
sebuah puisi yang tak tersampaikan

entahlah, mungkin
dulu dia sempat
ngeluyur malam-malam
mencarimu di sela hujan
atau dia sempat terbang
mengira kau ada di awan

kini dia benar-benar
telah pergi sendiri
maafkan aku
bila tak berpeta
dan tak bernavigasi
karena dulu kubuat dia
dengan hati ragu

adakah dia kini
sampai padamu



Bogor 0711


Selasa, 12 Juli 2011

PUISI

BERKACA PADA EMBUN

Berkaca pada embun
Menitik di malam sebelum pagi pecah
Tiada mengenal musim
Tiada mengenal cuaca
Rona merona kemilau menggelayut
Mata terpejam dalam bening
Di pusatmu ijinkan aku berdiam
Mendaras lagu-lagu bintang
Yang terpancar dari raut wajahmu


Bogor, 0711



Kamis, 07 Juli 2011

PUISI


YANG PERLAHAN MENGHILANG


Suatu saat jemari tangan kita
tak bertaut dan bibir
tak berpagut, maka
lepaslah lepas
janji sehidup semati
bersama angin gunung
meniup kabut dari
pucuk-pucuk pepohonan, dan
salak mentari menembus
dedaunan pakis merambah
tanah tempat dulu kita
berbaring menatap gemintang, yang
kini tertutup pendar cahaya kota
asap-asap polusi menyesakkan
dada

Aku hanya dapat menatap
dari jauh dan diam-diam
meratapimu


Bogor, 0711

Rabu, 29 Juni 2011

PUISI

BIARKAN


Kini biarkan aku
Tertidur dalam biru
Bersembunyi di lipatan
Bebukit
Tempat pulang kabut
Dan dingin angin

Peluk ku



Batu, 0611


PUISI

DI SINI


Di sini
Dasar wadag kasar
Tempat bersemayam
Nafsu bertahta
Melata tersuruk-suruk
Tanpa cahaya

O Bangkitkan
Poros tubuh
Keseimbangan
Ubun-ubun langit
Raga berpendar

O Bangkitkan



Batu, ( rajab ) 0611




Senin, 27 Juni 2011

OLEH-OLEH

ANAK-ANAK SEKITAR PEMAKAMAN TEMBOK, SURABAYA



Dalam pulang kampung ke Surabaya, saya selalu menyempatkan berkunjung ke makam keluarga besar bapak di Pemakaman Umum Tembok. Setiap kali ke sana sejak dari pintu gerbang selalu diikuti oleh anak-anak yang menawarkan jasa membersihkan area makam. Anak-anak ini bermodal arit, sapu lidi dan tentu saja tenaga mereka demi beberapa lembar uang seribuan. Tapi saya tak memanfaatkan tenaga mereka karena makam keluarga bapak sudah ada yang menjaga. Kali ini mereka saya daulat saja untuk berpose di depan kamera. Tak lupa saya berikan sedikit imbalan sebagai bentuk rasa terima kasih karena telah menjadi “model” saya.



Surabaya, 0611

Minggu, 12 Juni 2011

PUISI


HENING

Dalam hening
Warna-warni cahaya menggoda mata
Berpendar pendar hilang dan timbul

Dalam perjalanan
Hanya ada satu yang dituju
Tiada warna-warni tanpa cahaya


BOGOR 0611


Rabu, 08 Juni 2011

OLEH-OLEH

PAKU TANAH JAWA

Terus terang, bagi saya, naik pesawat terbang adalah sesuatu yang mewah. Sampai kini saya naik burung besi itu belumlah genap sejumlah jari yang ada di ke dua tangan saya. Saya naik pesawat terbang hanya karena sebuah pekerjaan yang harus saya tempuh dengan moda transportasi itu atau hanya hal-hal mendesak yang harus menggunakannya untuk mempersingkat waktu. Selebihnya, karena alasan lebih murah, saya lebih sering menempuh jalan darat.

Suatu hari di tahun 2003 saya harus terbang dari Surabaya ke Jakarta karena mendapat kabar anak saya masuk rumah sakit mendadak. Maka, pagi hari terang tanah saya terbanglah untuk pertama kali. Pesawat lepas landas dalam cuaca yang cerah. Di balik jendela saya tertegun melihat pemandangan di bawah sana.

G. Arjuno -Welirang
Yang pertama kali saya perhatikan adalah Gunung Arjuno – Welirang dan Penanggungan. Mereka bertiga seperti sebuah keluarga. Bapak dan Ibu Arjuno-Welirang dan memangku seorang anak Penanggungan. Selanjutnya terus bergerak ke Barat. Maka otak saya pun memutar kembali pelajaran peta buta sewaktu SD. Saya mencoba mengidentifikasi penanda-penanda di bawah sana. Dalam hal ini gunung-gunung yang menjulang ke langit. Saya mencoba mengingat-ingat kembali gunung-gunung apakah yang terlihat berjajar di tanah Jawa dari Timur ke Barat ( minus Gunung Semeru karena tak terlihat ) itu. Ini mungkin sedikit yang dari saya ingat, atau boleh jadi menebak-nebak : Arjuno-Welirang-Penanggungan, Wilis, Lawu, Merapi, Sindoro-Sumbing-Slamet, Ciremai, Gede – Pangrango - Salak.

Lalu saya pun teringat sebuah legenda tentang asal-usul jajaran gunung di tanah Jawa. Dikisahkan, Pulau Jawa pada jaman dahulu kala adalah sebuah pulau yang terombang-ambing di tengah samudra. Para Dewa memutuskan untuk memaku Tanah Jawa dengan gunung yang besar di India. Gunung Meru. Maka Dewa Wisnu merubah dirinya menjadi kura-kura untuk menggendong gunung itu dan Dewa Brahma berubah menjadi ular untuk membelit gunung agar tidak lepas.

Karena beratnya gunung itu berceceran dari barat menuju timur pulau Jawa. Dan puncak Meru itu akhirnya ditancapkan di sisi Timur pulau Jawa. Yang sekarang bernama gunung Semeru dengan puncaknya yang bernama Mahameru.

Sayang pada saat itu saya tak dapat mengabadikan pemandangan yang menakjubkan itu. Saya hanya dapat mengagumi dan jadi merasa sangat kecil dibanding dengan alam semesta nan maha luas ini. Juga dihadapan Sang Hyang Pencipta.

Beberapa hari lalu saya mendapat kesempatan ke dua. Saya terbang kembali dari Surabaya ke Jakarta. Ini juga karena harus mempersingkat waktu agar saya sampai secepatnya di Jakarta untuk sebuah pekerjaan. Dan kebetulan pula karena kehabisan tiket kereta sehari sebelumnya. Tanpa saya sia-siakan kesempatan ini, saya abadikan  pemandangan yang pernah membuat saya terkagum-kagum. Sayang, cuaca mendung tebal. Tak semua gunung yang pernah saya lihat sebelumnya menampakkan dirinya.


Bogor 0611

G. Arjuno-Welirang dan Penanggungan



 
G. Lawu




G. Wilis




G. Merapi