SELAYANG BAYANG

SELAMAT DATANG

adalah ruang di mana ada kehidupan yang saling menghidupi. Mungkin ada puisi, mungkin ada cerita, mungkin ada renungan atau oleh-oleh kecil atas sebuah perjalanan, mungkin ada imaji, bahkan mungkin sekedar omelan belaka. Suka maupun tak, apabila berkenan, tinggalkan jejak kata.
Apapun, selamat menikmati. Semoga menjadi inspirasi.
Terima kasih telah berkunjung.

Sabtu, 30 April 2011

PUISI


SAJAK MENUNGGU PAGI


Gulita dan terang terangkum sudah
Dalam janji matahari
Bila embun segera turun
Lindap rerumputan
Mesra bergayut menunggu
Jatuh di tanah
Lesap

Bintang gemintang kan menyibak
Segera setelah menarikan satu babak
Opera malam berkumandang
Dalam kelir hitam malam
Gemuruhnya dia bersorak
Riang

Atau hujan yang terdiam
Setelah mendera basahi bumi
Simponi tak terputus
Bak musik genderang bertalu-talu
Riuh rendah
Lalu hening

Cericit anak burung
Menunggu sang induk pergi
Menjemput sang surya
membangkitkan ulat
yang terlanjur lelap kesiangan

Dan pada pagi
Semesta bergantung harap



Bogor 0411

Selasa, 26 April 2011

OLEH-OLEH



Makanan Kampung : ULI JEPRET

Terbungkuk-bungkuk jalan bapak penjual makanan ini. Memikul dagangannya keliling kampung di sekitar desa Pabuaran Poncol, Cilendek Timur, Bogor. Tadinya saya salah mengira, saya pikir sang bapak berjualan peuyeum ( tape singkong ). Setelah saya datangi ternyata dia berjualan makanan yang saya tak tahu apa namanya. Uli Jepret, jawabnya ketika saya tanya.

Makanan ini terbuat dari parutan singkong yang dipadatkan dengan cara ditumbuk. Lalu dibentuk sedemikian rupa dan kemudian dikukus. Cara makannya dicocol dengan parutan kelapa yang disangrai dan ditaburi dengan gula supaya manis. Dimakan tanpa ditaburi gula pun juga enak. Saya teringat makanan serupa sewaktu saya kecil di Surabaya. Namanya Pluntir. Bedanya, parutan singkong setelah dipadatkan dan ditambahi gula lalu dibungkus daun pisang baru kemudian dikukus.

Uli Jepret, makanan kampung khas dalam keaneka ragaman jajanan rakyat Indonesia.

PUISI

P E R J A L A N A N

Sesiapa menebak
Perjalanan ini
Cerah, berkabut
Tersesat gelap mata
Lamur mata memandang
Silau, terang dunia
Belantara kenikmatan
Padang Kesengsaraan
Tertawa, menangis
Diam, hampa
Meronta-ronta

Padamu hidup
Mati berkalang tanah
Jiwa setia menari-nari
Langlang dimensi-dimensi
Dunia cermin
Pada air
Pada udara
Pada bumi
Pada api

Lupakan





Bogor 0411

Minggu, 24 April 2011

PUISI


BUNGA KAMBOJA


Tegak kokoh pokok mu
Bercabang-cabang reranting
Merambah langit menjulang
Bila kemarau datang
Rintangi matahari
Berbayang senja memerah
Bila musim penghujan tiba
Selimut dedaun teduhi tanah
Bunga-bunga bermekaran
Tiada musim tiada janji
Hanya mentari sebagai tanda
Wangi yang  segera kau tebarkan
Bila satu kelopak mahkotamu
Terselip di kuping perempuan
Tiada kabar selain keelokan
Bila jatuh di kolam
Terombang ambing gelombang
Tiada kata selain keindahan
Bunga kamboja, bunga kamboja
Lalu kenapa kau disebut
Bunga kuburan

BOGOR, 0411

Selasa, 19 April 2011

PUISI


ULAT BULU


Tentu aku tak salah melihat
Itu ulat bulu, bukan alis matamu



Bogor 0411

Senin, 11 April 2011

PUISI

SEBUAH PERJALANAN MENEMUI KEKASIH


1/. Bersiap menemui sang kekasih. Lekuk nan indah, aroma tanah, jenjang pinus dan rambut selembut cemara

Dia yang berdiri angkuh menantang
Selalu mengundang untuk datang
Siang, gemulai berselendang gemawan
Malam, berpendar diguyur gemintang



2/. Sebentar aku kan mencatatnya agar kelak menjadi sebuah kisah

Ini bukan cerita penaklukan
Tapi sebuah peleburan
Dua jiwa menjadi satu
Kisah-kisah panjang
Yang mungkin berlarat-larat
Menaik menurun seperti hidup
Hilang dan timbul
Tiada awal dan akhir



3/. Senyampang langit biru dan matahari cerah, inilah perjalanan, mungkin sepercik petualangan

Alam semesta adalah samudra
Tempat lahir dan  mati
Rumah-rumah bintang dan galaksi
Berjasad atau menjadi hantu
Berkembang dan menyusut
Tak terhingga
Di mana bumi berkaca
Raga lahir dan mati
Timbul tenggelam
Arungi waktu



4/. Dan berangkatlah hati dengan membawa gelisah

Bilakah diri tak resah
Hendak bertemu kekasih
Yang lama terbenam dalam masa
Hanya sesekali dijumpai
Dalam mimpi dan angan-angan
Dalam praduga dan misteri tanda



5/. Menemui mu belantara, gemuruh dada terpacu

Tangga-tangga batu menuju entah
Bebukitan, pokok-pokok tegak menjulur ke langit
Payung-payung pakis, derik serangga
Tanah-tanah basah, raga basah
Detak jantung bertalu-talu
Susuri gemulai tubuh
Menggelinjang meraung-raung



6/. Puncak-puncak ekstase seribu air terjun, jiwa menari-nari

Leleh, lelehlah ruh
Bak lilin terbakar api
Menari-nari didera angin
Terombang-ambing di satu sumbu
Lelatu memercik meletup-letup
Perlahan kian menderas bak air terjun
Jatuh menghantam kolam-kolam
Semesta bergelombang susul menyusul
Gembiralah, gembiralah
Lepaskan raga dan jatuhlah pasrah



7/. Matahari tenggelam di senja hening, tenang

Lalu diam
Surya memerah tanda lingsir
Senja meraup tanah tanah basah
Merubah hitam menjadi emas
Sang kekasih bergeming
Dan tersenyum dalam misteri
Yang selalu mengundang
Datang untuk kembali

Esok lagi.



Bogor, 0411





















Proses kreatif : ini sebuah jalan-jalan di hari Minggu. Dalam rangka survey lokasi untuk sebuah acara photo tour. Mengunjungi air terjun Curug Ngumpet, Curug Sawer dan Curug Seribu di sekitar Gunung Bunder, Bogor. Timbulah inspirasi potongan-potongan puisi yang kemudian saya catat di status facebook, sejak persiapan jam 07.00 hingga pulang jam 17.00. Lalu saya kembangkan lebih lanjut untuk menjadi sebuah kisah.

Jumat, 08 April 2011

CERPEN


DI TEPI SUNGAI BESAR
                                                                                                             

                                                                         
“Apa yang kau ketahui tentang cinta ?” Tanyanya di sebuah keramaian lalu lintas. Tangannya dengan cekatan mengendalikan kemudi sebuah sedan warna merah hati. Kami baru saja meninggalkan lokasi proyek yang sedang kami kerjakan.
“Cinta, terus terang aku sesungguhnya tak sepenuhnya memahaminya. Tapi tentu saja aku pernah mengalaminya,” jawabku.
Dia diam. Sepertinya sedang memahami jawabanku. Atau sedang mencari celah pertanyaan atas jawabanku ?
“Bolehkah aku mengalaminya lagi ketika aku telah berkeluarga seperti sekarang ini.”
Sepertiku, dia juga telah berkeluarga. Bersuami seorang importir barang-barang dari Korea, Malaysia dan China. Beranak tiga, perempuan, yang cantik-cantik semua. Yang sulung, kelas enam sekolah dasar. Yang tengah, kelas tiga sekolah dasar. Yang bungsu, kelas pra taman kanak-kanak.  “Hmm....menurutku boleh-boleh saja. Urusan hati dan pikiran tak ada yang melarang, bukan.”
“Ya. Saat ini aku jatuh cinta lagi.”
Huh, akhirnya. Seperti yang telah kuduga, binar wajah itu tak dapat menyembunyikan syair cinta yang sedang berlagu di hatinya.
“Aku tahu dengan siapa kamu jatuh cinta saat ini.” Sesungguhnya aku sedang menebak
“Dia melirikku. Dia tersenyum.”
“Kamu sudah tahu ?”
“Ya. Aku tahu. Pada akhirnya.” Masih menebak.
“Kok bisa memastikan begitu.”
“Tentu saja bisa. Aku tahu kamu sedang jatuh cinta dengan siapa saat ini. Ketika aku berkenalan dengan kalian berdua aku sudah membaca. Aku membaca bahasa tubuh kalian.” Aku mencoba untuk memastikan.
“Kamu tak bertanya, sejauh mana hubungan kami berdua.”
Ternyata benar.
Aku menarik nafas dalam-dalam. Lalu mengehembuskannya dengan cepat. Sesungguhnya aku malas membahas hubungan mereka. Yang memang terlihat sangat akrab dan intim. Kupikir, bodohnya orang-orang sekitarnya kalau tak tahu mereka ada hubungan istimewa. Cara mereka berdua bicara, berdebat, memuji, menyindir, menatap, melirik. Menyiratkan semuanya. Namun aku di sini cuma seseorang yang dikontrak oleh mereka untuk sebuah pekerjaan selama tiga bulan.  Mereka berdua adalah pemilik modal perusahaan kontraktor ini. Jadi urusanku cuma sebatas pekerjaan. Lain, tidak. Lagipula aku tak mau ikut campur urusan pribadi mereka.
“Kalian berdua adalah atasanku, jawabku. Meski usia kita hampir sama, kalian adalah atasanku. Yang menggaji dan memberi perintah kepadaku. Dan aku ke sini ini karena urusan pekerjaan.”
“Ah, ayolah. Santailah barang sedikit. Terus terang aku ingin membahas masalah ini denganmu. Setelah berkenalan dan berhubungan denganmu selama dua bulan lebih ini, aku tahu kamu punya banyak pandangan yang berbeda denganku. Terutama dengan hidup, juga tentang cinta. Untuk itu aku ingin tahu pendapatmu. Cobalah kita hilangkan sekat bahwa aku ini atasanmu. Ayolah.”
“Memangnya kamu mau melanjutkan hubunganmu sampai sejauh mana ?” Dengan perasaan enggan aku mengajukan pertanyaan ini. Aku mulai merasa terseret arusnya.
“Ya, sepanjang.......”
“Sepanjang suamimu tak tahu ?” potongku. Ah, nyinyir.
Dia tertawa. Dia memandangku sebentar lalu kembali berkonsentrasi pada keriuhan lalu lintas sore. Keriuhan anak-anak pulang sekolah, orang-orang pulang bekerja dan orang-orang entah pergi kemana. Mobil berhenti. Memberi kesempatan pada penyeberang jalan di depan sebuah restoran cepat saji.
“Mungkin.”
“Tapi suamimu tahu kan, kerjasamamu dengannya ini ?”
Dia mengangguk. Kulihat matanya menerawang sebentar. Lalu kembali berkonsentrasi pada lalu lintas.
“Kamu pernah jatuh cinta akhir-akhir ini ?”
“Maksudmu setelah aku menikah ?”
Dia mengangguk.
Kugerak-gerakkan leherku yang tak pegal. Kupicingkan mata keluar ruang kabin harum berpendingin udara ini. Matahari masih galak menyalak di sore hari. Sambil mengingat-ingat apakah aku pernah jatuh cinta lagi saat aku telah menikah. Ah, sesungguhnya aku tak lupa apakah aku pernah jatuh cinta. Seorang sekretaris sebuah perusahaan yang juga pernah mengontrakku di Jakarta telah menarik perhatianku.  
“Sejujurnya, aku pernah jatuh cinta lagi.”
“Oya.” Dia cepat memotong. Rupanya dia sangat bersemangat terhadap jawabanku.
“Lalu ?” Tanyanya kemudian.
“Ya.....lalu tak terjadi apa-apa.”
“Bohong. Laki-laki selalu bohong.”
“Betul, tak terjadi apa-apa.”
“Bohong. Lalu, tak ada kelanjutannya setelah itu.”
“Ya enggak. Jatuh cintanya cuma sebentar kok.”
“Kenapa ? Kamu ingat istrimu, keluargamu ?”
“Enggak juga. Ya cuma segitu saja.”
“Bohong. Kamu nggak ingin memiliki perempuan itu.”
“Selintas memang ada. Tapi tak sesemangat ketika aku jatuh cinta dengan istriku. Karena aku tahu tak bakal memilikinya.”
Pembicaraan berhenti sebentar. Kulirik, dia sedang tersenyum. Mungkin dalam pikirannya dia meledekku. Mobil menikung di sebuah putaran dan berlanjut pada jalan yang dibelah oleh naungan pohon palm raja besar-besar.
“Ah, laki-laki,” desisnya.
Aku tak berkomentar. Hanya tersenyum kecil lalu memalingkan wajah ke luar. Pada senja yang mulai meredup. 
“Lalu sempat terjadi apa ? Sempat jalan bareng ?”
“Beberapa kali pernah.”
“Rasanya bagaimana ?”
“Ya.....tak terlalu bersemangat. Karena aku sudah tahu akhir ceritanya.”
Dia tertawa hampir terbahak-bahak.
“Seperti nonton film saja.”
“Ya begitulah....kau tahu itu. Nonton film, kalau sudah tahu akhir ceritanya jadi tak bersemangat kan ?”
“Maksudmu akhir cerita bahwa kamu tak akan seterusnya dengan dia kan.”
“Ya tentu saja.” 
“Tapi istrimu tahu ?”
“Ya enggak. Bisa digantungnya aku.”
Dia kembali tertawa.
Mobil berhenti di sebuah lampu merah yang sepi. Hanya ada dua mobil dan satu sepeda motor di sana.
“Sebentar. Apa begitu itu yang kau sebut dengan jatuh cinta ?” Tanyaku
“Ya iyalah”
“Ah, aku sih tak menyebutnya sebagai jatuh cinta.”
“Lalu apa dong ?”
“Ya.....sekedar keisengan semata.”
“Bukankah di sana juga melibatkan emosimu ?”
“Ya. Sedikit sih.”
“Apakah kamu juga cemburu ketika ada orang lain di dekatnya.”
“Kadang ya, kadang tidak.”
“Lho. Bagaimana sih ?”
“Ya, karena aku sedang berhubungan dengannya. Tidak, karena aku tahu hal itu akan segera berakhir.”
“Tidakkah kau menikmatinya.”
“Tentu saja aku menikmatinya.”
“Ah, gombal kamu. Lalu, apakah sampai saat ini kamu masih berhubungan. Nelpon atau SMS barangkali ?”
“Nggak.”
“Ketika selesai, selesai begitu saja ?”
“Ya.”
 “Pasti kau tak lagi terbayang-bayang wajahnya.”
“Siapa bilang”
“Jadi kau terbayang-bayang wajahnya ?”
“Tentu saja. Mana ada orang yang tak terbayang wajah orang yang pernah dekat satu sama lain. Aku rasa orang yang bermusuhanpun saling membayangkan wajah masing-masing lawannya.”
Dia tersenyum. “Ya tidak dalam hal seperti itu lah. Tapi, itu kamu berarti jatuh cinta.”
Aku mengangguk. Akhirnya.
“Ya. Jatuh cinta kan ?”
Aku tersenyum dan menggeleng.
Pembicaraan terhenti, mobilpun begitu pula di depan sebuah terminal angkutan kota. Aku harus turun dan melanjutkan dengan kendaraan umum yang bersimpangan arah dengannya. Kuucapkan terima kasih, selamat sore dan sedan merah hati itu perlahan pergi dan hilang dari pandangan.
***
Malam mulai luruh. Langit ungu masih bersisa di ujung barat sebuah sungai yang besar. Sepenggal tepiannya baru saja dinyalakan oleh para pedagang jagung bakar, pedagang rokok dan minuman, pedagang durian. Untuk pengunjung, penikmat malam yang datang sebelum benar-benar larut mengantarnya ke peraduan. Tapi hari ini mungkin sepi karena ancaman langit dengan mendung kelabunya. Bayang hitam sebuah kapal pelan membelah perairan yang jauh. Begitu juga dengan pikiranku. Rayuannya untuk melanjutkan pekerjaan tersisa begitu menggodaku untuk tinggal beberapa saat lagi di kota ini. Membelah pikiranku yang sudah sampai ke rumah. Kepada kedua bidadari kecilku, si sulung yang lima tahun dan adiknya yang tiga tahun, yang semakin sering bertelepon dan berceloteh di ujung masa kontrak kerjaku.
“Ayolah. Bantu aku menyelesaikan pekerjaan ini.”
Aku tersenyum. “Siapa suruh mengontrakku hanya tiga bulan.”
Dia tertawa
“Ya. Waktu itu aku tak mengenalmu. Dia yang merekomendasikan untuk mengontrakmu. Memanggilmu dari Jakarta. Dan ternyata aku memang membutuhkan tenaga dan pikiranmu. Ayolah. Tolong. Atau kau mau kunaikkan tawaranku ? Anggaplah selama tiga bulan ini adalah masa percobaan. Dan setelah itu kau kuterima sebagai karyawan tetapku. Lagipula waktu itu kami pikir pekerjaan ini akan selesai dalam waktu tiga bulan. Tak tahunya kami mendapat pekerjaan-pekerjaan tambahan yang tak kalah rumitnya. Kontrak-kontrak kamipun diperpanjang. Setelah ini, seperti yang kamu tahu, sudah menunggu beberapa proyek yang segera dikerjakan. Itu juga berkat kamu kan. Mereka jadi sangat percaya kita.”
“Tapi aku tak dalam status karyawan yang bekerja seperti itu.”
“Ya, aku tahu. Tapi kini aku benar-benar butuh bantuanmu.”
“Bukankah aku telah melatih sejumlah karyawanmu pula untuk menggantikan aku. Mereka kurasa sudah cukup pintar.”
“Tak cukuplah. Kamu lain dengan mereka.”  
Aku terdiam. Dia memang telah menarikan sejumlah rupiah di telingaku, menggodaku. Dan siapa yang tak tertarik dengan uang. Tapi suara lembut bidadari-bidadariku yang setiap menelepon, merengek : kapan bapak pulang, sudah lama bapak tak mengantarku ke sekolah, pun merayuku dengan suara-suara bening, lucu dan tawa mereka.     
“Ayolah. Kalau tak mau lagi kukontrak selama tiga bulan ke depan, begini saja, kau boleh pulang sebentar lalu kembali lagi ke sini. Nanti kita bicarakan lagi statusmu. Atau terserahlah bagaimana kamu mau mengaturnya. Sejujurnya aku masih butuh bantuanmu. Nanti setelah proyek ini selesai, bantu aku bikin perusahaan baru lagi. Kau boleh jadi bosnya, direkturnya. Kamu atur saja semuanya. Kupikir kamu akan segera paham seluk beluk permainan proyek di kota ini, di provinsi ini. Aku pemilik modalnya. Komisaris atau apalah namanya. Lalu kita ikut tender. Mudah itu. Aku masih banyak hubungan dengan orang-orang penting di sini.  Kau tahu sendiri, di sini kalau mau, pekerjaan tak ada habisnya. Sejak ada peraturan otonomi daerah, provinsi kaya raya ini semakin menggeliat sementara sumber daya manusianya masih lemah. Daerah ini sedang rakus membangun.”
Aku masih terdiam. Langit mulai menurunkan titik-titik airnya dengan lembut setelah menyembunyikan matahari seharian. Sebentar-sebentar tersapu angin ke arah sungai. Berdesir desir membentuk tirai bergelombang sambung menyambung di permukaannya. Ada dua buah lampu besar yang saling berjauhan menyorot ke sungai. Memberi panduan pada kapal-kapal yang lewat. Bak lampu panggung yang menyuguhkan sebuah tarian. Rintik air mendesak duduk kami untuk lebih merapat. Menghindar dari basah bangku kayu di bawah payung terpal putih.
Pipa besi tempat bertopang kaki, kopi jahe, jagung bakar, lampu petromaks, kerlip lampu kapal lamban berjalan, rumah-rumah panggung tepian sungai, sekali-kali bau tai berseling dengan bau durian, tak terasa bahu kami saling melengket. Tanganku bergerak memeluk pundaknya. Dia merebahkan kepala di dadaku. Aku mencium harum rambutnya.
***
Telah kukatakan pada istriku, aku akan pulang pagi ini. Kusuruh dia libur dulu hari ini dari kantornya. Kukatakan padanya, aku telah rindu melihat wajahnya juga para bidadari kecil itu. Kuharap dia yang membukakan pintu pagar, bukan si Sayem, pembantuku. Dan begitulah keadaannya, senyum dengan lesung pipi yang pernah memikatku itu telah terpampang. Tapi kemana bidadari-bidadari kecilku ?
“Baru tiga bulan saja wajahmu sudah hitam dan rambutmu gondrong acak-acakan, apa nggak sempat cukur rambut,” sambutnya.
“Ya beginilah kalau bekerja di belantara.”
Setelah kututup pintu pagar, kudekap dia dan kukecup keningnya.
Dia tersenyum.
Di teras berdiri Sayem dan kedua bidadari kecilku. Mereka mendekap erat tubuh perempuan yang telah tiga tahun bekerja di rumahku itu. Tapi kenapa wajah mereka, bidadariku, tampak ketakutan ?
“Ayo anak-anak kasih salam sama bapak,” kata istriku.
“Ayo dong, itu kan bapak,” bujuk Sayem.
Aku berdiri mematung dengan perasaan tak karuan.

                                                                                                      
                                                                                                 Depok 07-08




Cerpen di Femina No 21 /XXXVII. 23-29 Mei 2009

Kamis, 07 April 2011

CERPEN ; Fabel

KISAH CACING TANAH DAN ULAT YANG SOMBONG


Seekor cacing tanah muda ingin sekali melihat pemandangan di permukaan tanah. Suatu hari dia meminta ijin kepada Bapaknya untuk pergi melongok ke atas tanah. Dan Bapaknya mengijinkan dengan pesan agar berhati-hati karena di atas tanah banyak sekali pemangsa seperti yang pernah Bapaknya ceritakan. Ada mahluk bersayap yang benama ayam atau burung, dan ada mahluk yang bernama manusia yang akan menjadikan mereka sebagai umpan memancing ikan. Sang cacing tanah muda mengerti apa yang dipesankan oleh bapaknya.
Maka pada suatu hari merambatlah dia ke atas permukaan tanah. Semakin ke atas, suasana sekeliling semakin terang. Sesekali cacing tanah muda berhenti untuk menyesuaikan diri dengan cahaya yang semakin lama semakin terang dan suhu yang semakin hangat. Tak berapa lama, sampailah dia di atas permukaan tanah. Dia langsung melihat ke sekeliling. Dia mencocokkan benda-benda yang dilihatnya dengan benda-benda dalam cerita Bapaknya. Cacing tanah muda berpikir, mungkin dia sedang berada di dekat sebuah tanaman rendah yang berdaun lebat.
Memang betul, cacing tanah muda sedang berada di bawah rerimbunan tanaman rendah yang berdaun lebar dan lebat. Sesekali angin bertiup menggoyang-goyangkan dedaunan. Cacing tanah muda menikmati semilir angin. Daun-daun yang tersibak membukakan sinar matahari jatuh ke tanah mengenai cacing tanah muda. Membuat cacing tanah muda terkejut karena cahaya yang tiba-tiba menerpa. O, inikah yang disebut matahari.
Sementara sedang asyik menikmati suasana di permukaan tanah, tiba-tiba, BUK ! Sebuah benda jatuh tak jauh darinya. Cacing tanah terkejut. Benda apakah itu ? Benda itu adalah sebuah benda yang bentuknya mirip dengannya tapi dengan warna hijau dan bulu yang pendek-pendek di sekujur tubuhnya.
Benda itu adalah seekor ulat. Cacing tanah tak tahu bahwa benda itu adalah juga seekor mahluk hidup. Namun ketika ulat itu mulai menggeliat-geliat dan mengeluarkan suara-suara mengeluh, barulah cacing tanah tahu bahwa benda itu adalah seekor mahluk hidup.
Ya, ulat itu mengeluh karena dia jatuh dan harus memanjat ke atas.
“Hei, kawan...kamu siapa ?” Tegur cacing tanah.
“Uh...uh...hei....kamu siapa ? Buruk sekali rupamu.....” Ulat belum menjawab pertanyaan cacing tanah malah balik bertanya, bahkan mencela pula.
“Eh....aku cacing tanah....kamu siapa,” jawab cacing tanah tersenyum. Berusaha untuk tak marah meski kawan barunya itu telah mencelanya.
“O....aku ulat. Cacing tanah...aku pernah mendengarnya. Ternyata kamu memang buruk sekali,”
“Ya beginilah aku. Asalmu dari mana dan kenapa kamu tiba-tiba ada di sini ?”
“O....aku tadi di atas sana,” kata ulat sambill menunjuk ke atas. “Aku sedang makan dedaunan. Tapi angin sialan telah meniupku dengan keras sehingga aku terjatuh,” jawan ulat dengan  nada masih kesal. “Ini kejatuhanku yang ke empat. Kini aku harus memanjat ke atas lagi. Angin memang sialan.”
“O...bukankah memang tugas angin untuk bertiup, kawan. Seperti juga matahari yang bersinar, awan menumpahkan hujan, begitu kata Bapakku,” cacing mencoba mengingatkan agar ulat tak terlalu marah karena alam memang begitu adanya.
“Tidak....tidak....angin dengan sengaja bertiup keras-keras agar aku terjatuh. Huh !” Ulat tetap dengan kemarahannya. Lalu suasana hening sejenak. Angin bertiup pelan. Cacing tanah muda berpikir mencari cara meredakan ketegangan pada pembicaraan itu.
Tapi ulat memang terlalu sombong dan masih tetap terbawa emosinya, “hei mahluk buruk..kenapa pula kamu ada di sini. Bukankah seharusnya kamu ada di dalam tanah. Sedang mengintip aku ya ?”
“Tidak. Aku tak sedang mengintipmu, ulat. Ini adalah kali pertama aku melihat permukaan tanah. Baru kali ini aku diijinkan oleh kedua orang tuaku melihat-lihat ke atas.....” jawab cacing tanah dengan tenang.
“Hm....kamu beruntung cacing tanah. Sebentar lagi kamu akan menyaksikan pemandangan yang sangat menakjubkan. Pertama kali kamu melihat ke atas permukaan tanah, pertama kali pula kamu akan menyaksikan sebuah keindahan,”
“O ya...ya.....apakah itu ?”
“Sebentar lagi aku akan naik ke atas. Ke dedaunan kembali. Aku sebentar lagi akan berpuasa. Dalam berpuasa itu aku akan menutup diriku dengan liurku. Aku akan bertapa untuk beberapa hari. Dan setelah itu.....kamu akan menyaksikan sebuah pemandangan yang pasti belum pernah kamu lihat sebelumnya,”
“O...pemandangan apakah itu.....?”
“Aku akan berubah menjadi mahluk tercantik yang pernah kamu lihat. Aku akan berubah menjadi mahluk lain. Aku bukan lagi ulat. Aku seekor kupu-kupu....Aku bersayap. Ya....aku punya sayap yang indah”
Cacing tanah terdiam. Dia tak dapat membayangkan kejadian yang diceritakan oleh ulat. Bagaimana bisa ? Ah, jangan-jangan ulat cuma membual saja. Cacing semakin dapat menangkap sifat ulat yang memang sombong itu. Maka dia pun meragukan cerita ulat.
“Lalu...dalam berapa hari aku akan melihat kamu akan berubah, ulat ?”
“Begini. Setelah ini aku akan memanjat ke atas tanaman ini. Aku akan berhenti di cabang ke tiga sebelah sana,” ulat menunjuk sebuah arah dimana ada tiga buah ranting, “aku akan menutup diriku di sana, agar kamu dapat melihatku dari sini. Sejak hari ini, maka sering-seringlah muncul ke permukaan tanah.”
“Ya....ya”
“Nah...sekarang, selamat tinggal. Aku akan pergi ke atas.”
Maka ulat pun berjalan ke arah tanaman dan tampak mulai memanjat. Dari bawah, cacing tanah mendengar senandung riang ulat yang timbul tenggelam dibawa angin.
Namun tiba-tiba cacing tanah muda merasa ada titik air yang menerpa tubuhnya.
Hujan ? Pikirnya.
Lalu ada titik air lagi.
Ya. Hujan.....
Maka diapun beringsut untuk kembali ke dalam tanah. Tapi dia lalu berhenti. Kenapa hujan ini baunya aneh ? Pikirnya. Tajam menyengat.  Cacing tanah muda membaui udara yang mulai menyesakkan. Lalu tiba-tiba, BUK !
Ulat kembali jatuh dari atas. Kali ini tubuh kawan barunya itu menggeliat-geliat tanpa suara. Mungkin ternggorokannya tercekik.
Cacing tanah muda menghentikan niatnya untuk segera masuk ke dalam tanah. Dia hendak menghampiri kawan barunya itu. Mungkin ulat kali ini butuh pertolongan, pikirnya.
Namun sebelum sampai kepada kawan barunya itu, tiba-tiba ada yang membelit tubuhnya dan menariknya ke dalam tanah.
“Masuk !....masuk !.....manusia sedang membasmi ulat,” suara Bapaknya.
Merekapun masuk jauh, jauh ke dalam tanah.
Pada tempat yang dikiranya cukup aman dari racun yang sedang ditebar manusia, Bapaknyapun mulai bercerita. Bahwa saat itu manusia sedang membasmi ulat. Ulat adalah hewan pengganggu karena mereka memakan dedaunan dari tanaman yang manusia tanam. Dan racun itu sesungguhnya juga berbahaya bagi mereka, kaum cacing. Padahal cacing justru membantu manusia dalam menggemburkan tanah. *****

BOGOR 2010

Selasa, 05 April 2011

PUISI


API, RINDU


Malam membekap
Jeruji turun dari rumah-rumah api
Bersama seringai taring iblis
Tertawai waktu

Gemeretak jantung
Adalah reranting dimakan bara
Jelaga-jelaga beterbangan
Sesal menguap di udara

Di manakah embun
Yang turun bersama pagi
Menunggu terasa lama menyayat
Lecut cambuk tak kunjung henti

Sudah
Sudahilah ini
Rindu
Rindu tiada terperi




Bogor 0411