SELAYANG BAYANG

SELAMAT DATANG

adalah ruang di mana ada kehidupan yang saling menghidupi. Mungkin ada puisi, mungkin ada cerita, mungkin ada renungan atau oleh-oleh kecil atas sebuah perjalanan, mungkin ada imaji, bahkan mungkin sekedar omelan belaka. Suka maupun tak, apabila berkenan, tinggalkan jejak kata.
Apapun, selamat menikmati. Semoga menjadi inspirasi.
Terima kasih telah berkunjung.

Rabu, 29 Desember 2010

PUISI









MALAM TAHUN BARU
( Yan Dalam kenangan )


Malam tahun baru ini pasti riuh
oleh kembang api yang tak menjangkau
angkasa kosong tanpa bintang
karena kau telah berhenti
menghitung usia yang
telah ditambahkan Tuhan
empat tahun lalu sebagai
bonus atas upayamu melawan
sakit yang dititipkan padamu
demi mengingatkan kami
bahwa hidup tak sampai
sejengkal jarak namun
sejauh bintang gemintang
yang kau kagumi dan kau
teliti satu persatu lalu
kau kabarkan bahwa Tuhan
telah menaklukkan alam
semesta raya hanya untuk
manusia



BOGOR 1210

CELOTEH

SEPAK BOLA INDONESIA, KAPAN KELUAR DARI TEMPURUNGNYA ?

* Lagi. Catatan pengamat sepak bola amatiran *

Bagai katak dalam tempurung, begitulah saya mengibaratkan sepak bola Indonesia. Betapa tidak, selama kita merdeka Timnas Indonesia tiada gaungnya di kancah dunia. Kita hanya berkutat di ( tempurung ) Asia Tenggara. Sebuah pertanyaan klasik, kalau ditilik dari jumlah penduduk yang lebih dari dua ratus juta jiwa, apakah kita tak mampu menyaring pemain sehingga membentuk tim yang tangguh sehingga mampu bermain di tingkat dunia ?

Di tengah ingar bingar Piala AFF 2010 sesungguhnya kita telah disadarkan bahwa jawaban atas pertanyaan klasik itu telah ada. Sungguh tak dinyana, Timnas kita kali ini bermain lebih rapi dan bersemangat. Meski ( tak dapat dimungkiri ) terdapat pemain naturalisasi di sana, namun permainan pemain lokal lebih menawan dari yang sudah-sudah. Di sini peran pemain naturalisasi dengan semangat profesionalismenya adalah salah satu pendongkrak semangat pemain lokal.

Berbicara tentang sepak bola ( tempurung ) Asia Tenggara, saya yakin semua penggila dan pengamat sepak bola kita sepakat, sesungguhnya di lingkaran ini sepak bola tidaklah berkembang. Coba simak, tim Negara mana yang mampu berbicara di kancah yang lebih tinggi ? Mungkin kita pernah melihat kiprah Thailand di tingkat Asia. Tapi ya begitu-begitu saja.

Saya mengamati sepak bola Asia Tenggara penuh intrik dan ketidak sportifan. Secara nyata di lapangan sering kali terjadi hal-hal yang menciderai sportifitas. Seperti bermain kasar, mengulur-ulur waktu dengan berbagai cara yang menyebalkan. Belum lagi tingkah pendukung yang meneror pemain dengan berbagai cara agar timnya menang. Seperti insiden terakhir di mana pendukung Malaysia memainkan sinar laser untuk mengganggu pemain Indonesia. Yang paling mencolok terjadi adalah di tahun 1998 ketika Piala AFF masih bernama Piala Tiger. Saat itu dua tim menghindari bertemu Vietnam, sang tuan rumah, yang notabene sedang kuat-kuatnya. Maka Thailand bermain super negatif dengan membiarkan Indonesia menyerang untuk menang sehingga bertemu Vietnam. Untuk mengakali indikasi kecurangan itu, pemain Indonesia justru bertindak lebih ekstrim dengan melakukan gol bunuh diri yang konyol. Sepak bola Asia Tenggara ibaratnya sepak bola antar kampung ( tarkam ) di Indonesia. Yang cenderung bermain kasar, curang dan tak jarang berujung tawuran antar kampung pendukung.

Di Piala AFF 2010 ini terpetik sepercik asa akan kualitas permainan kita di tangan Alfred Riedl. Bohong apabila ada yang mengatakan bahwa pemain kita tak akan pernah dapat berkiprah di tingkat dunia. Kini seseungguhnya tinggal bagaimana mengelola dan merubah cara berpikir kita. Pelatih Austria ini sudah memberi beberapa contoh seperti mendepak Boaz karena indisipliner, melarang media terlalu sering mengusik pemain dan yang terakhir melarang seremonial-seremonial ( akhirnya ) yang dapat merusak konsentrasi pemain.

Ayo Sepak Bola Indonesia ! Keluar dari tempurungmu !


Bogor 1210

Selasa, 28 Desember 2010

CELOTEH

MANUSIA DAN PERUBAHAN ALAM

( sebuah renungan akhir tahun 2010 )

Dalam beberapa hari ke depan, menurut hitungan masehi, bumi akan mengulangi masa perputarannya mengelilingi matahari pada titik yang sama. Pada titik yang sama ? Tentu saja ini sebuah pernyataan yang perlu diperdebatkan. Karena bila mungkin bisa kita buat sebuah koordinat di alam semesta, besar kemungkinan pada masa yang kita anggap sebagai titik hitungan awal tahun itu, bumi tidaklah berdiri di koordinat yang tepat sama. Namun, untuk kemudahan, kesederhanaan perhitungan maka anggaplah hal itu adalah sama. Padahal di luar sana berjuta hal dapat dimungkinkan. Manusia dengan daya upayanya mencoba menyederhanakan segala sesuatu yang sesungguhnya teramat rumit.

Begitu juga akhir dan awal sebuah ( hitungan ) tahun. Setiap saat pula kita memperbaharuinya. Angka 1 menjadi 2, angka 2 menjadi 3 dan seterusnya dan seterusnya. Segalanya mesti berubah. Perubahan-perubahan itu adalah demi pemahaman-pemahanan baru akan kenyataan sehari-hari yang otomatis juga terus berubah.

Manusia pada awalnya memaknai perubahan menurut perubahan alam itu sendiri. Pergantian siang dan malam, pergantian musim, pergantian bentang alam dan sebagainya. Manusia menemukan bahasa, menemukan api, menciptakan alat-alat, menciptakan sistem dalam rangka menyiasati perubahan yang datangnya dari luar dirinya. Sambil terus mempelajari alam dan mengembangkan pengetahuannya.

Hingga pada akhirnya manusia menjadi agen perubahan itu sendiri. Ambil contoh ketika revolusi industri dimulai dengan ditemukannya mesin uap. Saat di mana udara yang tadinya masih asli dan murni menjadi teracuni oleh temuan-temuan manusia. Maka struktur alampun berubah.

Ketika manusia telah menjadi agen perubahan maka mau tak mau perubahanpun berjalan amat pesat. Karena dalam diri manusia terdapat sebuah ambisi, maka ambisilah yang menjadi lokomotif yang amat kuat dayanya untuk menarik gerbong-gerbong daya pikir, daya kreasi dan daya hidup. Ambisi yang pada awalnya adalah hanyalah daya untuk mempertahankan hidup dalam mengatasi alam yang tak banyak diketahui menjadi daya untuk menaklukkan alam di bawah kaki.

Dalam dua dasa warsa terakhir ini sering sudah kita mendengar kekhawatiran-kekhawatiran manusia akan perubahan alam yang berbeda dari tahun ke tahun. Perubahan-perubahan yang disebabkan oleh percepatan-percepatan yang dilakukan oleh manusia itu sendiri. Mencairnya es di kutub. Bertambah luasnya gurun-gurun di Afrika. Musim dingin yang lebih dingin, demikian juga dengan musim panas yang lebih panas di Eropa dan Amerika. Hujan yang dengan intensitas yang tinggi di tropis dan subtropis. Kenaikan muka air laut. Manusia telah lupa bahwa alam adalah hidup. Alam juga mempunyai daya yang amat dahsyat untuk menyeimbangkan dirinya. Manusia sudah lupa bahwa dirinya adalah bagian dari alam itu sendiri.

Telah menjadi sebuah kekhawatiran yang meluas bilamana manusia sedang memasuki sebuah episode peradaban yang gelap. Peradaban di mana manusia harus berjuang lebih berat dari sebelumnya dalam menghadapi tantangan alam yang sedang menggeliat kuat.

Merefleksikan pada sebuah perjalanan bumi mengelilingi matahari, matahari mengelilingi galaksi, betapa kecilnya manusia, namun betapa besarnya ambisinya menaklukkan alam. Hitungan-hitungan, perkiraan-perkiraan yang diciptakan manusia sesungguhnya adalah untuk menyederhanakan sesuatu yang sesungguhnya rumit dan masih meraba-raba. Sementara yang diraba itupun terus berubah. Dengan atau tanpa campur tangan manusia. Masihkah manusia akan meneruskan ambisi-ambisi penaklukannya ?

Selamat Tahun Baru 2011.

Bogor 1210

Rabu, 22 Desember 2010

PUISI














MENJADI IBU

Sudah hamil, sudah pula melahirkan
maka menyusuilah ia anak yang kelak
tumbuh berkembang lalu pergi

sebagian ada yang berbalas
sebagian ada yang begitu saja lepas

Sudah bekerja, sudah pula memasak
untuk seluruh keluarga
dan anak-anak

sebagian ada yang berterima kasih
sebagian ada yang memaki

Eh, ada yang bilang
sebagian besar penghuni neraka adalah wanita
Tapi kenapa juga surga ada di telapak kaki ibu



BOGOR 1210

Selasa, 21 Desember 2010

CELOTEH

GELIAT TIMNAS INDONESIA DI PIALA AFF 2010

* catatan pengamat sepakbola amatiran *

Sebagai penggemar sepak bola, di Piala AFF 2010 ini saya disuguhi permainan yang menarik dan menjanjikan Timnas Indonesia. Betapa tidak, selama ini saya hampir selalu menyaksikan Liga Inggris dengan permainan sistematika yang menawan kini permainan yang hampir sama tersebut dilakukan oleh Timnas kita. Jujur saja, sejauh ini pengamatan saya terhadap permainan Timnas kita yang sudah-sudah adalah kacau balau. Seperti tim yang tidak pernah latihan. Di mana koordinasi antar lini sering kali berantakan. Pengertian antar pemain jarang terjadi. Memang tampak keahlian individu beberapa pemain. Tapi apalah artinya bila ketika sampai pada saatnya dia mengumpan tak ada kawan yang mengerti pergerakannya. Ada kerjasama di belakang hingga ke tengah, di bagian depannya kurang menyambut. Peluang terbuang sia-sia. Tampak sekali antar pemain saling mengandalkan satu sama lain. Seperti sudah tahu sitematikanya tapi kurang paham menjalankannya. Ditambah lagi oleh stamina yang kedodoran. Ini tampak di sekitar sepuluh menit terakhir babak pertama dan dua puluh lima menit terakhir babak kedua.

Di Timnas Piala AFF 2010 kali ini hampir semua kekurangan itu diperbaiki. Tampak sekali sistematika sepak bola sudah dimainkan. Bahkan tampak bergerak secara reflek. Ketika menyerang, ada gelandang yang turut membantu. Bahkan beberapa kali gol dihasilkan dari baris kedua ini. Ketika bertahan, tak hanya pemain belakang yang berjibaku, tapi pemain tengah bahkan depanpun turun keluar dari areanya. Setiap kali umpan selalu ada pemain yang menyambut. Bahkan seringkali umpan daerah terkejar. Terutama oleh pemain sayap yang memang tampak ditugaskan demikian. Setiap pemain disiplin menjaga daerahnya. Beberapa kali tampak bertukar posisi untuk mengecoh lawan. Seperti sebuah system yang berjalan dengan otomatis. Tanpa menunggu atau mengandalkan kawan yang lain. Karena yakin bahwa aka nada teman yang segera menerima umpan.

Saya percaya ini dihasilkan oleh seorang pelatih utama bertangan dingin yang telah memilih pemain sesuai dengan idealismenya dan sistematikanya. Kalau tidak, tentu permainan yang diinginkannya tak akan berjalan. Di sinilah kelihaian pelatih dibuktikan.

Adalah Alferd Reidl yang menukangi Timnas Indonesia kali ini. Dari awal pelatih asal Austria ini sudah mengatakan bahwa dia akan memilih pemainnya sendiri dan tak mau dicampuri. Nah, dari pernyataan ini terbukti sudah bahwa selama ini pelatih tak mendapatkan hak otonominya seratus persen. Pantas saja pemain tampak tak kompak satu sama lain. Permainan selalu tampak timpang. Karena saya yakin bahwa pelatih yang baik pasti tahu benar kebutuhan untuk tim-nya. Maka dia akan memilih siapa-siapa yang akan menempati posisinya. Salut juga perlu diacungkan kepada Reidl, bahwa dia telah menetapkan sebuah disiplin yang tinggi terhadap pemainnya. Terbukti, pemain sekaliber Boaz Salossa dia coret karena mangkir hingga hari terakhir pemanggilannya. Padahal pemain ini tergolong bertalenta tinggi. Buat apa sebuah talenta yang tinggi bila tak disiplin. Bakat hanya 10 persen penentu keberhasilan seseorang. Selebihnya adalah disiplin dan kerja keras. Begitu kata sang bijak.

Inilah Timnas yang didambakan oleh penggila bola di Indonesia. Sebuah tim dengan sistem permainan yang rancak dan memikat. Kali ini saya tak lagi sering kecewa bila seorang pemain mengumpan pada ruang kosong entah siapa yang dituju. Saya tak lagi sering kecewa melihat seorang penyerang yang hanya menunggu bola matang. Kini semua barisan tampak bekerja keras dan berbuat demi kemenangan tim dan kebanggaan bangsa. Namun meski begitu masih ada kekurangannya. Yakni stamina yang masih kedodoran di dua puluh menit terakhir babak kedua. Beruntung kita masih melawan tim se Asia Tenggara yang secara fisik dan stamina hampir sama. Kalau melawan kesebelasan Korea Selatan atau Jepang mungkin sudah lain ceritanya.

Ke depan semua masih perlu ditingkatkan untuk pencapaian prestasi yang lebih tinggi, di tingkat Asia misalnya. Dan perlu diingat bahwa tim ini adalah tim yang digunduli oleh Uruguay 7-1 dalam ujicobanya. Maka ke sanalah tim ini harus berkaca.

Bogor 1210

PUISI

SELAMAT PAGI NEGERI PUISI

Selamat pagi negeri puisi
Tanah kekacauan yang indah
Bentang alam jungkir balik suka-suka
Lengkung langit tanpa batas
Benda-benda baru selalu tercipta
Peri bernyanyi mendayu-dayu


Bogor 1210

Jumat, 29 Oktober 2010

CELOTEH


MEMAHAMI MBAH MARIDJAN, MEMAHAMI JAWA

Saya belum pernah ke Gunung Merapi, saya belum pernah bertemu dengan Mbah Maridjan. Namun saya turut bersedih atas gugurnya beliau di medan tugas. Dan saya meghormati keyakinan beliau untuk tidak meninggalkan posnya ketika “wedhus gembel” berduyun-duyun turun menyapu Kinahrejo dan menjemput kematiannya.

Banyak dari kita yang tak memahami cara berpikir Mbah Maridjan, kenapa ketika dalam kondisi super gawat seperti itu memilih untuk tinggal di rumahnya. Bahkan ada yang menyalahkan bahwa karena ulah beliau, korban banyak berjatuhan. Di antaranya adalah seorang wartawan dan belasan sukarelawan.

Saya seorang suku Jawa ( Timur ), yang dibesarkan dengan budaya wayang kulit yang mencoba mencari refleksi kehidupan sehari-hari dengan cerita-cerita wayang tersebut. Saya juga dibesarkan oleh budaya menghormati alam yang dicerminkan dengan penghormatan kepada Ingkang Mbahurekso ( sosok penguasa gaib ) sehingga mereka bisa diajak berkomunikasi

Dalam perspektif wayang ( versi jawa ) kulit, yang saya pahami, tak ada manusia yang sempurna. Setiap tokoh mempunyai kelemahan. Namun setiap tokoh mempunyai alasan untuk perbuatannya. Ambil contoh Karna. Karna sesungguhnya adalah keluarga Pandawa. Namun karena sejak kecil dia dirawat dan dibesarkan oleh keluarga Kurawa, maka ketika Bharatayudha berlangsung dia melawan Arjuna di medan laga. Saya mengibaratkan Mbah Maridjan seperti Karna.

Mbah Maridjan diangkat sebagi juru kunci oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX dengan gelar Mas Panewu Soeraksohargo. Sebagai abdi dalem Keraton Yogyakarta yang mengurus segala upacara terkait dengan Gunung Merapi. Tentu dalam hal ini Keraton tak sembarangan mengangkat orang. Dalam budaya Jawa, di mana seseorang tertentu dapat berkomunikasi dengan dunia gaib, Mbah Maridjan diangkat juga dalam kapasitas ini. Contoh dari pemahamannya adalah kalimatnya yang dikutip berkali-kali oleh media : “Merapi itu jangan dikatakan sebagai meletus ( njebluk ), Merapi itu sedang membangun ( mbangun ).”

Sosok Mbah Maridjan yang akhirnya saya pahami adalah seorang abdi dalem yang setia dan bahkan cenderung keras kepala. Betapa dia tak menggubris perintah Sri Sultan Hamenkubuwono X untuk turun ketika Merapi memasuki fase Awas. Saya sendiri tak tahu, kekeras kepalaannya itu karena beliau hanya setia kepada yang mengangkatnya, yakni Sri Sultan Hamengkubuwono ke IX yang adalah bapak dari Sri Sultan Hamengkubuwono X, seperti keras kepala Karna untuk berpihak kepada Kurawa atau kesetiannya untuk selalu menjaga Merapi, berkomunikasi dengan Ingkang Mbahurekso Merapi agar tak “mengamuk” lebih hebat. Meski nyawanya sebagai taruhannya.

Begitulah sosok Mbah Maridjan yang saya pahami atas dasar budaya yang sama. Sulit kiranya bagi orang lain di jaman modern ini untuk bisa memahami jalan pikir beliau. Begitu pula saya yang masih meraba-raba. Namun di setiap peristiwa saya yakin ada hikmah dan pelajarannya. Kecuali kita menutup diri untuk tak mau mempelajari dan memahami dari banyak sisi, apa dan bagaimana bisa terjadi.

Terakhir, “sugeng tindak” Mbah. Semoga kami semua mendapat pelajaran berharga dari pengalaman dan kisah-kisahmu.



Bogor 1010.

Senin, 25 Oktober 2010

PUISI


JADI, APA YANG KAU BACA, JAKARTA

Jadi, apa yang kau baca, Jakarta

Seribu bayangan kaca
Sudah kau pantulkan
Bahkan air matapun kau pinta
Datang tuk membuka luka
Yang tlah membusuk sekian lama

Jadi, apa yang kau baca, Jakarta



BOGOR 1010

Selasa, 19 Oktober 2010

PUISI

KEPADA SEBUAH PINTU


Akhirnya kini kau menutup kembali
Seperti belasan tahun yang lalu
Ketika kau mulai mengunci dirimu
Tapi terimakasih
Kau sempatkan aku menengok ke dalam
Ketika dirimu terbuka beberapa saat
Hingga ku dapat melihat
Apa saja yang ada di seberang sana
Juga sebuah bibit pohon yang pernah kutanam
Tetap menghijau meski tak terlalu subur

Ah, dia yang di seberang sana
Berdiri di balik kabut
Mungkin juga telah melihatku
Dan bunga-bunganya masih kurawat
Meski kadang musim menghempaskannya
Namun dia adalah benih yang kuat

Entah kelak
Kau akan membuka kembali
Atau menutup selamanya
Aku akan tetap menandai
Bahwa kau hanyalah sebuah pintu
Di mana aku tak dapat menyeberang
Ke sisi sebaliknya



Bogor, 1010

Jumat, 01 Oktober 2010

CELOTEH


PANCASILA ADALAH HARGA MATI !

Hari-hari terakhir ini kita dibuat tercenung oleh berbagai peristiwa kekerasan. Betapa anak bangsa ini begitu mudahnya terbawa anarkhi. Ruang-ruang sosial kita tercabik-cabik oleh letusan senjata api, tebasan parang, ledakan bom Molotov dan sebagainya. Adalah menjadi sebuah pertanyaan besar, ke mana keramah tamahan bangsa Indonesia yang sudah terkenal ke seluruh penjuru dunia selama ini ? Atau label tersebut hanya isapan jempol atau bahkan nina bobo belaka ?

Lepas dari berbagai peristiwa yang secara mencolok mata disebarkan oleh media masa tersebut. Mari coba kita amati peristiwa sehari-hari dalam tingkah laku manusia Indonesia dalam berlalu lintas. Seorang supir angkot dengan santainya memotong sebuah kendaraan yang disalipnya dan kemudian tiba-tiba berhenti. Ketika ditegur dia menjawab “lho, ini kan angkot pak”. Lalu ada sebuah kisah iring-iringan sepeda motor yang dengan sengaja mengambil jalur kanan yang ujung-ujungnya menyumbat lalu-lintas yang berlawanan. Dan ketika ditegur, jawabnya “memang kenapa ? gak boleh ?” Lalu ada sebuah mobil pribadi di sebuah lampu merah sibuk mengklakson kendaraan di depannya demi melihat lintasan di depannya sudah sepi. Padahal lampu masih menyala merah.

Contoh peristiwa sehari-hari di atas boleh jadi adalah salah satu embrio dari peristiwa-peristiwa besar yang kemudian terjadi. Kenapa ? Karena sikap itu adalah salah satu cerminan sikap manusia Indonesia saat ini, jangankan taat pada hukum tapi sudah tak lagi peduli akan sesamanya. Semuanya seperti hendak berjalan sendiri-sendiri menuruti egonya masing-masing. Tentu saja disinilah kemudian akan terjadi pergesekan-pergesekan antar anak bangsa.

Belum lagi setiap hari kita dipertontonkan kepada tingkah laku para politisi, pejabat publik yang harusnya menjadi panutan malah menginjak-injak rasa keadilan kita

Bangsa ini, seperti sejak awal diproklamirkan, sudah bersepakat mempunyai sebuah ideologi yang khas. Khas karena digali dari keberagaman suku budaya dan agama yang ada di Nusantara. Bukan ideology salah satu diantaranya atau bahkan ideology mayoritas sekalipun. Semuanya ditampung untuk rasa kebersamaan sebuah bangsa yang utuh. Bangsa Indonesia. Dan Ideologi itu adalah PANCASILA. Dengan BHINNEKA TUNGGAL IKA sebagai semboyannya.

Yang kini menjadi pertanyaan, masih setiakah kita dengan ideology yang kita cintai ini ? Atau kita hendak memaksakan ego dan kehendak kelompok, atau bahkan sekedar individu kepada yang lain ?


Bogor, 1010

Rabu, 29 September 2010

PUISI

HENING PEPOHONAN

Bilakah waktu kan berhenti dan kaupun merasa cukup akan nikmat dunia saat pagimu kedatangan butir-butir cahaya keemasan yang jatuh di dedaunan. Tubuhmu pepohonan yang berakar-akar, bercabang-cabang, beranting-ranting, berdaun-daun yang setiap saat merambah tanah, dibelai angin, diterpa hujan, dihajar petir. Dudukmu hening di tengah ribuan pepohonan yang mendaki puncak merogoh langit. Maka penyesalan yang terdalamlah ketika kau merasa cukup akan butir-butir keemasan itu. Yang memang kan datang setiap saat untuk menggodamu.

Bogor 0910

Selasa, 21 September 2010

CERPEN

Cerpen KOMPAS Minggu, 6 Juni 2010 :
PILIHAN IBU - Ersta Andantino -

Sudah dua minggu ini Farida panik mencari seorang pembantu rumah tangga. Sebab seminggu lagi dia harus masuk kantor. Sebuah perusahaan periklanan telah menerima lamaran kerjanya tiga minggu yang lalu dengan gaji seperti yang dia minta. Sebuah harapan yang terwujud ketika rumah tangganya harus segera mendapat tambahan pemasukan keuangan. Ekonomi rumah tangganya harus segera disokong. Mengingat Alya, anaknya, empat bulan lagi sudah harus masuk Sekolah Dasar. Sedang mengandalkan gaji Gunadi, suaminya, menurut perhitungan mereka berdua tak cukup.


Sesungguhnya memang sudah menjadi perjanjian sebelum menikah, rumah tangga mereka akan ditopang oleh dua tiang pemasukan keuangan. Jadi Gunadi tak keberatan bila Farida bekerja. Mereka sadar, bekerja tak sekedar sebagai aktualisasi hidup. Tapi yang lebih penting adalah pemenuhan kebutuhan dan ekonomi rumah tangga. Mereka tahu, jaman terus berkembang dan kebutuhan ke depan semakin beraneka macam.


Sudah sejak tahun lalu Farida rajin mengirim lamaran-lamaran ke perusahaan-perusahaan. Beberapa kali juga sudah mendapat panggilan test dan wawancara. Namun gagal. Kini, sebuah perusahaan periklanan menerimanya sebagai karyawan. Bergembiralah ia.


Persoalan yang muncul kemudian, seperti yang sudah diduga sebelumnya, mereka membutuhkan seorang pembantu rumah tangga untuk menemani Alya di rumah. Seseorang yang dapat dipercaya untuk menangani kebutuhan Alya, sementara Farida tak di rumah. Seorang pembantu dengan kriteria ; telaten dengan seorang anak kecil dan mengerjakan pekerjaan standar, seperti mengepel dan menyeterika. Tak usah mencuci karena sudah diwakili oleh sebuah mesin. Tak bisa masak, tak apa. Toh, sekarangpun mereka telah berlangganan makanan katering. Dan rencananya akan tetap begitu.


Telah mereka cari berbagai informasi tentang bagaimana mendapatkan seorang pembantu rumah tangga. Berbagai kemungkinan telah dijajaki. Dari mendapatkan pembantu lewat agen-agen penyalur hingga menelepon teman dan kerabat apabila mempunyai pembantu lebih atau teman dari pembantu yang telah bekerja.


Gunadi dan Farida sendiri sesungguhnya lebih suka memilih lewat jalur kekerabatan dan pertemanan. Lebih nyaman saja menurut mereka. Karena dipastikan sudah mengenal hubungan satu sama lain. Untuk hal ini karena kesibukan di kantornya, Gunadi menyerahkan sepenuhnya urusan ini pada Farida. Maka kini Faridalah yang pusing tujuh keliling.


Namun hingga tinggal dua minggu lagi Farida bekerja, pembantu rumah tangga yang mereka inginkan belum juga didapat. Beberapa hari yang lalu Gunadi sudah mengajak Farida berdiskusi bilamana mereka mengambil pembantu lewat agen penyalur saja. Namun Farida masih belum setuju. Farida masih menunggu kabar dari ibunya di Solo yang katanya akan mencarikan dari sana. Gunadi tak dapat menolak pertimbangan Farida. Karena menurutnya, kalau mertuanya yang mendapatkan pembantu, tentu itu lebih baik. Pasti jaminan mutu. Paling tidak, pengalaman mertuanya lebih dapat diandalkan dalam menilai seseorang. Masih terngiang di telinga ketika ibu mertuanya bertelepon dengannya :


“sudah, ibu saja yang cari dari sini. Nanti ibu seleksi. Kasian Alya kalau dapet

pembantu yang ra karuan. Biar ibu saja yang cari di sini.”


Tapi sudah seminggu lebih belum juga ada kabar dari ibu mertuanya.


TULULULULULUT...telepon rumah berbunyi ketika Farida dan Gunadi baru saja menyelesaikan makan malamnya. Farida yang sedang membereskan meja makan segera menghentikan pekerjaannya dan berjalan beberapa langkah ke belakang. Telepon itu menempel di dinding tak jauh dari tempatnya tadi berdiri.


“Assalamualaikum,” sapanya.


“Waalaikum salam,” jawab suara lembut di seberang sana. Ibunya. “Da, ibu sudah dapat orangnya,” katanya kemudian.


Pasti ini tentang pembantu, pikir Farida. Inilah kabar yang dia tunggu dari ibunya. “Iya Bu, bagaimana ?”


“Kamu pasti ndak nyangka, siapa yang mau ibu tawarkan sama kamu,”


“Siapa ?”


“Wong ibu aja kaget kok...tiba-tiba saja dia datang ke sini. Ya mungkin ini jodohmu, Da,”


“Iya, siapa Bu ?”


“Masih ingat ndak, siapa yang menolongmu waktu kamu kecemplung kali dulu ?”


“Emmmm.....” Farida memeras otaknya untuk melayangkan ingatan kembali ke masa kecilnya. Ya. Waktu kecil dulu, mungkin lebih besar sedikit dari Alya, dia pernah tercebur di sebuah kali kecil. Kali untuk pengairan persawahan yang kebetulan sedang berarus deras sehabis hujan. “Mbak Supriatun ?” Tanyanya kemudian ketika ingatan itu telah tergambar.


Terdengar tawa ibunya di seberang sana. “Bener,” katanya setelah tawanya mereda. “Kok ya tiba-tiba dia mbejedul, nongol di rumah. Mau cari kerja katanya.”


“Lalu, ibu tawarin ?”


“Ya iya. Dan dia langsung mau. Kamu sendiri gimana ?”


Farida terdiam. Dia mencoba mengingat sosok Mbak Supriatun. Setua apakah dia sekarang. Tak ada yang diingatnya dari perempuan yang pernah bekerja ikut ibunya itu. Karena cukup banyak perempuan yang pernah bekerja di sana. Ah, tak ada yang diingatnya.


“Aku lupa Bu, setua apa dia sekarang ?”


“Ya lumayan lah. Dulu mungkin beda umurnya sama kamu sekitar lima belas tahunan atau lebih. Lha, itung aja sekarang kira-kira berapa.”


Farida menaksir, mungkin usia Mbak Supriatun sudah empat puluhan. Masih kuatkah ia bekerja sebagai pembantu rumah tangga ? Tanyanya dalam hati.


“Ya sudah. Terima saja dulu. Kamu kan sebentar lagi masuk bekerja. Kasihan Alya. Ibu pikir Supriatun ini bisa kok. Dia itu sudah punya cucu satu lho. Dia dulu kan kawin muda. Beberapa tahun setelah pulang ke desanya dia menikah. Jadi sudah pasti terbiasa dengan anak-anak. Lagipula bekerja di rumahmu kan nggak terlalu berat.”


“Nanti aku bicara sama Mas Gunadi, Bu. Biar dia juga tahu dan ikut memutuskan.”


“Ya...ya...saran ibu sih sebaiknya terima saja ya. Kasihan Supriatunnya juga. Dia butuh uang dan sudah mau bekerja di Jakarta.”


Setelah bertelepon dengan ibunya, Farida mendiskusikan kabar itu dengan Gunadi. Juga cerita-cerita tentang jasa Supriatun yang telah menyelamatkan nyawanya ketika tercebur kali irigasi persawahan. Dan beberapa cerita tentang siapa Supriatun yang dia sendiri tak yakin benar mengingatnya. Gunadipun langsung setuju.


Empat hari setelah memberi kabar persetujuan, Supriatun langsung ke Jakarta dengan kereta api sendirian. Farida, Gunadi dan Alya menjemputnya di stasiun Gambir. Sudah tergambar jelas di benak mereka berdua akan kesungguhan niat bekerja, Supriatun. Melihat betapa berani perempuan itu pergi sendiri ke Jakarta. Hal yang belum pernah dilakukannya.


Jarak berpuluh tahun tentu telah mengubur sebagian ingatan. Apalagi setiap saat dunia berubah. Juga manusia, penghuninya. Setali tiga uang dengan Farida. Dia betul-betul tak tahu, bagaimana sosok Supriatun sekarang. Namun ibunya sudah mengingatkan akan sebuah tahi lalat besar di kening kiri perempuan itu. Farida sedikit mengingatnya. Namun, itulah petunjuk sosok Supriatun. Petunjuk lain dari ibunya adalah di mana Supriatun duduk di gerbong kereta juga menjadi andalan.


Dan pertemuan pun berlangsung. Supriatun mengenal sosok Farida lebih dulu. Perempuan itu melambai-lambaikan tangan ketika turun dari gerbong kereta. Dengan bersamaan pula ingatan-ingatan Farida keluar berhamburan. Supriatun datang seperti membawa serta kenangan masa kecilnya. Farida memeluk tubuh mungil Supriatun.


“Njenengan tidak berubah Mbak. Masih suka memelihara rambut panjang,” kata Supriatun lalu tersenyum.


“Walah....kok saya malah lupa wajah Mbak Atun. Lagipula Mbak Atun kok masih ingat saja sih...” balas Farida.


“Ah..di desa itu orangnya sedikit jadi gampang mengingatnya. Sementara di kota banyak ketemu orang. Pasti gampang lupa,”


Mereka tertawa berbarengan.


Selanjutnya Farida memperkenalkan Gunadi dan Alya.


“Ih...cantik seperti ibunya. Mirip Mbak juga di waktu kecil, ” kata Supriatun demi melihat Alya.


Supriatun, perempuan berusia 48 tahun itupun bekerja dan tinggal di keluarga Gunadi. Keluarga dari anak perempuan majikannya yang pernah diasuhnya dulu. Bagi dirinya, ini seperti mengulang masa lalu. Bedanya, hanya pada jamannya.


Ya, jamannya. Dulu dia mengasuh Farida di halaman depan. Bawah pohon asam. Atau jalan-jalan ke sawah. Sampai terjadi kecelakaan Farida terpeleset, tercebur kali irigasi. Beruntung Supriatun pemberani dan pandai berenang. Farida yang sudah terseret arus ditariknya ke tepian. Lalu dibantu naik oleh seorang penggembala kerbau. Jamannya kini dia mengasuh anak dari anak majikannya dulu, Alya, di dalam rumah. Di bawah hembusan mesin penyejuk udara. Dengan beraneka mainan warna-warni dan buku-buku cerita. Sayang, Supriatun tak dapat membaca. Bila Alya memintanya mendongeng dari buku-buku itu, Supriatun hanya menebak-nebak dari gambarnya. Atau dia dongengkan saja dari cerita-cerita yang pernah dikenalnya, Utek-utek ugel, Kancil dan Sabuk Nabi Sulaiman, Kisah Kambing dan Harimau.


Tentu saja ada perasaan asing menyelimutinya. Supriatun merasa tercebur ke dunia yang lain dari dunianya di desa. Meski Ndoro Putri, Ibu Farida, sudah membekalinya dengan berbagai pengetahuan kehidupan di kota, tak urung dia tetap merasa aneh. Tapi sudah menjadi tekadnya. Karena ini adalah kemauannya setelah suaminya diPHK dari pabrik tebu yang tak jauh dari desa. Tak ada lagi sumber keuangan keluarga. Dua anaknya masih SMA dan butuh biaya. Meski satu anak tertua sudah berkeluarga dan memberikan satu cucu, mereka tentu masih terlalu repot mengurusi rumah tangganya sendiri. Apalagi diharapkan mengurusinya. Kini, sambil menunggu sang suami mendapatkan pekerjaan kembali, dia memutuskan untuk pergi bekerja.


Di rumah keluarga Gunadi, dia tak boleh memasak. Karena keluarga itu sudah berlangganan makanan katering. Makanan yang diantar oleh seorang pemuda seumuran anaknya yang terkecil dengan sepeda motor yang dirancang untuk membawa banyak rantang makanan. Supriatun ingat sepeda anaknya laki-lakinya yang boncengannya dipasangi dua buah keranjang untuk mengangkut rumput makanan ternak.


Makanan katering tak disukai oleh Supriatun. Menurutnya, makanan itu kurang bumbu. Terlalu banyak vetsin yang seringkali membuatnya mual. Diam-diam, hampir setiap hari, Supriatun hanya makan berlauk sambal demi menghindari lauk, sayur atau makanan lain yang bagi lidahnya sangat terasa terlalu gurih. Atau hanya ditambah sekerat tempe, tahu. Meski makanan itu juga berasa vetsin juga.


Telah sebulan lebih Supriatun tinggal di keluarga Gunadi. Telah sekian lama pula dia dapat menilai kehidupan rumah tangga Gunadi dan Farida. Terbersit dalam pikirannya ; ternyata kehidupan berkeluarga di desa dan di kota sangat jauh berbeda. Dia teringat sinetron-sinetron dan berita-berita artis yang ditonton di layar tv-nya. Ternyata dunia seperti itu hampir benar adanya. Beberapa hari terkahir ini dia melihat Gunadi dan Farida bertengkar. Sumpah serapah dan kata “cerai, cerai, cerai” berhamburan ke udara. Kalau sudah begitu, dia, tanpa disuruh, segera menyelamatkan Alya. Agar tak melihat pertengkaran ke dua orang tuanya. Menurutnya, orang tua tak baik bertengkar di depan anak. Supriatun mengajaknya bermain sepeda di jalan aspal depan rumah. Namun bila suara pertengkaran itu merembes keluar, membuat beberapa orang yang lewat di depan rumah mereka menengok lalu melempar wajah tanya kepada Supriatun, perempuan itu tak dapat menahan senyum kecutnya.


Meski baru dua bulan, dari pertengkaran-pertengkaran itu Supriatun dapat membaca masalah-masalah yang sering kali dipersoalkan. Di antaranya adalah teguran Gunadi kepada Farida akan berkurangnya perhatian terhadap Alya, lalu keberatan Farida akan kesibukan Gunadi yang kian menjadi setelah Supriatun datang. Laki-laki itu semakin kerap beberapa hari tak pulang dengan alasan bisnis ke luar kota. Dan berdua mereka akhirnya saling menyalahkan.


Supriatun sepenuhnya sadar, kehadirannya di keluarga ini sangat menjadi tumpuan. Sendirian dia menangani Alya, mengantar jemput ke sekolah TK yang hanya tak sampai seratus meter dari rumah, mengurus akuarium dan taman depan, menangani pekerjaan rumah tangga diluar mencuci dan memasak.


Namun, sekuat-kuat hati Supriatun, jebol pula pertahanan perasaannya. Suatu malam dia menangis sedih. Meratapi hidup keluarga Farida dan Gunadi. Terbayang dalam pikirannya sebuah perceraian yang seperti dia tonton di berita-berita artis. Perceraian yang kata-katanya selalu mencuat di setiap pertengkaran Farida dan Gunadi. Perceraian, yang dalam pikirannya, tentu membuat semua sengsara. Alya, anak kecil itu tentu menjadi korban. Lalu bagaimana dengan Ndoro Putri di Solo ? Pasti akan timbul pertanyaan pada dirinya. Tak urung dia pun akan terlibat. Dia takut pula dipersalahkan.

Apa daya Supriatun. Perempuan desa yang pikirannya tentang pernikahan adalah sederhana. Bahwa pernikahan bagaimanapun sengsaranya harus dipertahankan. Seperti dirinya kini yang terbelit persoalan keuangan. Bahu-membahu, Supriatun dan suaminya mencari uang. Bahkan sampai dia meninggalkan suami dan anaknya di desa. Suaminya merelakannya.


Perempuan desa itu kini mulai tak tahan dengan keadaan keluarga Gunadi dan Farida. Terbersit di hati Supriatun untuk berhenti bekerja saja dari keluarga itu. Kembali ke desa menjalani kehidupan apa adanya. Mencari pekerjaan di desa seadanya.


Suatu hari tangis Supriatun didengar oleh Farida yang pulang menjelang tengah malam. Farida terkejut dan agak takut mendengar tangisan lirih di kala malam hendak mencapai puncaknya itu. Mengendap endap dia di dekat kamar perempuan desa itu. Mencari asal suara tangisan itu. Ternyata benar seperti dugaannya. Itu suara tangis Supriatun. Farida mendekati pintu dan mengetuknya.

“Mbak.....mbak...mbak Atun kenapa ?” Tanya Farida.


“Eh...anu....sebentar.....” jawab Supriatun dengan suara lirih dan tergopoh-gopoh. Masih terdengar isakan di sana.


Tak lama pintu dibuka. Dan tampaklah muka sembab perempuan desa itu. Air matanya masih menggenang di pelupuknya. Supriatun memaksakan tersenyum. Lalu dia menghambur ke tubuh Farida. Memeluknya.


Farida sejenak terkejut dan kemudian mendekap tubuh Supriatun.


“Mbak Atun kenapa menangis ?” Tanya Farida.


“Saya sedih, saya ndak kuat kerja di sini,”


“Lho...sedihnya kenapa ? Nggak kuatnya kenapa ?” Tanya Farida yang mulai diserang kebingungan kalau-kalau Supriatun benar-benar tak tahan karena kangen anak dan suaminya.


“Saya sedih....karena Mbak Farida dan Mas Gunadi bertengkar terus. Saya ndak kuat Mbak...Saya mau pulang saja,” kata Supriatun sambil menangis kembali. Tersedu-sedu.


Farida melepaskan pelukannya. Begitu pula Supriatun. Dalam jarak yang amat dekat mereka bersitatap. Mata Farida juga mulai berkaca-kaca. Beberapa menit mereka terdiam. Seperti ada bahasa yang susah disampaikan.


Namun akhirnya, Farida, memecah keheningan sejenak itu, “Mbak Atun...maafkan saya. Saya memahami kesedihan Mbak. Maafkan kami. Kami sendiri sedang meyesuaikan diri dengan kondisi kami sekarang ini, Tapi tolong Mbak....Mbak Atun jangan pulang. Saya sepertinya akan membutuhkan Mbak Atun dalam jangka waktu yang agak lama. Dua hari yang lalu saya mendapat kabar dari dokter kandungan. Sayang sudah isi lagi. Sudah hampir satu bulan. Saya janji deh, nggak akan bertengkar lagi....”


Wajah mereka saling berhadapan. Mata mereka saling menyelami perasaan dalam hati lawan bicaranya. Raut muka Supriatun tampak mulai berubah berbinar, mensyukuri apa yang telah didapat oleh Farida. Kemudian tersenyum dan pelan-pelan mengangguk. Faridapun tersenyum. Dalam keheningan mereka kembali berpeluk. ****

Minggu, 19 September 2010

PUISI

DENDANG KELANA

Titik awal mungkin ada
Tapi bisa juga tiada

Berpencar arah memancar
Berlarik-larik garis
Memutar berubah arah
Menjadi jalan
Menjadi gunung
Menjadi lautan
Menjadi hutan
Menjadi kota
Menjadi desa
Silang sengkarut
Kelak bertemu
Lalu berpisah
Berbagi cerita
Berbagi gembira
Berbagi duka
Berbagi tangis
Berbagi tawa
Kala sendiri merenung
Mematut diri
Di langit malam
Di alun laut
Di arus sungai
Di riak danau
Di hamparan rerumputan
Di gejolak magma pegunungan
Di kelam kabut
Di desir angin
Lalu kembali berkelana

Titik awal mungkin ada
Tapi bisa juga tiada



Bogor 0910

Kamis, 09 September 2010

PUISI

KELEKATU

Mejam mata kilau cahaya
Silau tak terkira
Terbang kelekatu mencari suar
Rapuh sayap renta tubuh
Tertatih di rekah musim

Tanpa tanya tanpa peta
hanya naluri temukan inti
berpasrah diri hingga mati

kelekatu, kelekatu
itukah dirimu



Bogor 0910


SELAMAT IDHUL FITRI 1431 H
MAAF LAHIR & BATIN

Senin, 30 Agustus 2010

PUISI

PERBINCANGAN TERPUTUS
; WP dalam kenangan

Kukenang tubuh permaimu. Oleh karena aku seorang laki-laki. Dan kau pergi. Mungkin kini kau di sana menertawaiku. Di balik kabut yang kelak kujelang jua. Karena dunia memang bukan apa-apa. Tapi terima kasih saat kau ada telah membuatku tertawa. Sebuah perbincangan yang terputus yang akan kukenang. Karena kegagapanku.

Kita, dari bukan sesiapa kembali ke bukan sesiapa


BOGOR 0810

Sabtu, 28 Agustus 2010

CELOTEH


PUISI SAYA PADA MULANYA


Sungguh tak menyangka bahwa akhirnya saya terlibat dalam puisi. Sebuah rangkaian kata yang indah, diindah-indahkan atau diniatkan untuk indah. Jadi, rangkaian kata yang tidak indah, bukanlah puisi.

Sampai SMP saya tidak suka dengan puisi. Kerena menurut saya waktu itu, puisi adalah rangkaian kata-kata yang sia-sia. Hanya ungkapan perasaan yang dilebih-lebihkan. Atau hanya ungkapan kata-kata yang ditujukan untuk merayu perempuan.

Namun hal itu berubah semua ketika saya ketika SMA kelas II mendapat tugas membuat puisi oleh Guru Bahasa Indonesia. Waktu itu sampai dipanggil ke ruang guru untuk mempertanggungjawabkan bahwa puisi yang saya bikin bukanlah plagiat. Menjiplak karya orang lain.

Saya pun kemudian berpikir, saya tak suka puisi, bahkan malas membaca puisi, tapi pernah dituduh menjiplak puisi. Bisa jadi juga memang saya menjiplak. Tapi saya memang tak melakukan itu. Hingga akhirnyapun sadar, puisi sesungguhnya sudah hadir di pikiran saya sejak lama. Saya memang suka menulis perasaan, pendapat saya akan sesuatu di buku harian. Tak sadar sudah merangkai kata-kata indah di sana.

Ketika mulai kuliah Seni Rupa di Institut Kesenian Jakarta, saya mulai berakrab-akrab dengan puisi. Karena lingkungan kuliah yang mendukung untuk mengenal lebih jauh ke dunia seni. Seni Rupa dan Sastra khususnya. Saat itulah saya mendapat ruh dari bermacam-macam puisi dsengan segala bentuknya yang dibacakan di setiap perhelatan di Taman Ismail Marzuki.

Dari sanalah saya berpendapat bahwa ternyata puisi sudah ada pada diri saya ketika saya bernyanyi. Saya waktu SD kelas 2 adalah juara nyanyi tingkat Kodya Surabaya. Akhir 70 awal 80an beberapa kali mengisi acara Ayo Menyanyi di TVRI Surabaya. Puisi ternyata juga sudah hadir ketika saya bermain dengan nyanyian anak kampung :

“ Tri ala gotri nogosari, Tiwul owal awul jenang gatul, Titenono mbesok gedhe dadi opo, Podang mbako enak mbako sedap, Dangkok engkak engkok dadi kodok “

Maka Puisi dalam pandangan saya sekarang adalah sebuah rangkaian kata-kata indah yang dibentuk dari pemilihan kata yang membentuk sebuah harmoni bunyi. Jadi puisi harus bisa dibunyikan, disuarakan. Yang mungkin sebagai ungkapan perasaan, mungkin sebuah kisah, mungkin juga bukan apa-apa.

Jadi ternyata puisi adalah Pantun, Dendang, Uro-uro, Rengeng-rengeng, Mocopatan, Parikan, Kidungan, Nyanyi dolanan anak yang sudah saya kenal sejak masa kanak-kanak. Maka berasyik masyuklah saya sekarang dengan puisi.


Bogor, 0810

Jumat, 27 Agustus 2010

PUISI

DI ANTARA DUA WAKTU

Di antara dua waktu
Lembayung timur dan barat
Kau pinta ku menepati janji
Dua kekasih hendak bertemu

Di antara dua waktu
Garba merah dan hitam tanah
Bertarungku dalam dirimu
Pecinta yang terluka

Di antara dua waktu
Isi dan kosong
Diamku raihmu
Puncak-puncak nirwana

Di antara dua waktu
Yang terukur dan tak
Tertatihku terlunta lunta
Tiadakan diri nuju cahyamu


Bogor 0810

OLEH-OLEH




















MASJID AGUNG SUNAN AMPEL, SURABAYA

Di masa kecil dulu sewaktu masih tinggal di Surabaya, di awal Ramadhan, Bapak ( alm ) selalu mengajak saya ke Masjid Agung Sunan Ampel, Surabaya. Di sana kami melaksanakan sholat Ashar, berkunjung ke kompleks makam, berjalan-jalan di teduh koridor yang di kiri kanannya terdapat penjual bermacam-macam benda kelengkapan ibadah, dan hal-hal yang berbau budaya Arab atau Timur Tengah. Sambil berjalan itu, dia bercerita tentang siapa Sunan Ampel dan penyebaran agama Islam pertama di tanah Jawa.

Setelah tidak tinggal lagi di Surabaya beberapa kali saya sempatkan, masih di awal Ramadhan, untuk mendatanginya kembali. Menapak tilasi kenangan bersama Bapak ( alm ) dan tanpa terasa terngiang kembali kisah Sunan Ampel dan ajaran-ajarannya.

Awal Ramadhan 2010 ini saya berkunjung kembali. Setelah beberapa kali, karena kesibukkan, tak sempat mengunjungi.


Bogor 0810

Sabtu, 09 Januari 2010

PUISI

UNTUK KEKASIH SETIAKU ( V )

Sebutir bintang yang hendak
kupetik dan kupersembahkan untukmu
ternyata mempunyai masa depan
meledak atau susut kisut
menghilang tanpa jasad.


Bogor 0110

PUISI

DI PUNCAK BUKIT ITU

Tepat di puncak tertinggi bukit itu
satu per satu kususun bebatu
segi empat dengan batu pipih besar
di sudut-sudutnya sebagai alas
tiang-tiang kayu yang akan menopang
sebuah kayu melintang tempat
mengikat reranting tumpukan
daun-daun alang-alang
yang ku tau kelak
mengering

Kubiarkan dia tak berdinding
agar kau dapat melihat dan
menghampiriku, menjabat tanganku
yang sedang duduk di titik tengah
diagonal sudut-sudutnya

Di selimut hangat perapian
segera kita akan berpeluk
bertangisan melepas kerinduan

Di puncak bukit itu
di mana tragedi membanjir darah
manusia pertama membasahi
bumi



Bogor 0110

PUISI

KOTA BERDINDING BIRU

Salak, Gede, Pangrango
Rimba belantara
Raksasa hijau
Matahari dan hujan
Sepanjang tahun

Benih Raja-Raja
Harimau pegunungan
Titah Sang Prabu
Menapak bebatu
Moksa

Terpaku bisu
Sang Gubernur Jendral
Pada kota
Berdinding biru
Diam Bersandar

Gemericik sungai
Mojang bukit
Kuning gading
Tersenyum malu
Tepi pancuran

Gemuruh angin
Jajaka lembah
Kujang digenggam
Menatap tajam
Hamparan tanah



Bogor 1001