SELAYANG BAYANG

SELAMAT DATANG

adalah ruang di mana ada kehidupan yang saling menghidupi. Mungkin ada puisi, mungkin ada cerita, mungkin ada renungan atau oleh-oleh kecil atas sebuah perjalanan, mungkin ada imaji, bahkan mungkin sekedar omelan belaka. Suka maupun tak, apabila berkenan, tinggalkan jejak kata.
Apapun, selamat menikmati. Semoga menjadi inspirasi.
Terima kasih telah berkunjung.

Selasa, 10 Februari 2009

CELOTEH

“Inilah kehidupan yang saya jalani. Dulu saya mengikuti para tetua. Berjalan melintas gurun. Berdagang dari desa ke desa. Kini sayalah pemimpin rombongan. Saya menikmatinya. Saya tak berpikir yang lain. Ada nggak sih, kehidupan yang lebih enak selain daripada seperti ini ?”


Itulah yang dikatakan oleh Al-Hasan, seorang pemimpin rombongan pedagang pengembara yang melintas Sahara. Dalam film dokumenter Last Chance Journeys : Sahara di National Geographic Channel. Al-Hasan berbicara seperti itu sambil setengah tertawa. Saya, penonton film dokumenter itu, merasa, Al-Hasan sedang menertawakan saya.

Akhir-akhir ini saya merasa kehidupan berjalan dengan cepat. Saya pernah berpikir ; dulu ketika masa kanak-kanak saya begitu ingin cepat dewasa. Merasakan hal-hal yang dilakukan oleh orang dewasa yang tampak bagi saya, saat itu, begitu bebas dan nikmat. Waktu, saat-saat itu, berjalan dengan lamban. Ingin cepat-cepat menjadi orang dewasa, rasanya. Kini ketika dewasa, saya sedang merasakan kebebasan dan kenikmatan itu. Tapi satu hal lain, saya merasa waktu berjalan lebih cepat.

Entahlah, mungkin saya saat ini sedang berpikir atau tepatnya ketakutan. Akan waktu-waktu yang selanjutnya saya jelang. Usia tua. Di mana, tak dapat dimungkiri, tua adalah identik dengan lamban, tak gagah lagi, kembali terkungkung dalam banyak keterbatasan. Utamanya keterbatasan fisik.

Saya bertanya, kenapa saya tak berpikir saja seperti Al-Hasan. “Ada nggak sih, kehidupan yang lebih enak selain daripada seperti ini.” Tapi saya kini menertawakan diri saya sendiri. Al-Hasan hidup di gurun. Perjalanan demi perjalanan yang beribu kilometer. Diterpa badai dan dinginnnya malam. Berjalan cepat di kala malam agar tak kehilangan bintang penanda yang bergeser. Meninggalkan ternak atau teman yang mati begitu saja di perjalanan. Ah, kehidupan saya tak segarang A-Hasan. Tapi laki-laki begitu tegarnya. Apalah saya ini.

Dalam rombongan Al-Hasan, ada seorang pemuda yang selalu diledek. Karena dia tak becus mengatasi kesulitan-kesulitan selama di perjalanan. Pemuda itu bercita-cita, kelak dia tak mau meneruskan cara hidup seperti itu. Dia akan menyetir mobil. Tapi pemuda itu ditertawakan, bagaimana hendak menyetir mobil kalau tak bisa menyetir dan tak ada mobil di gurun.

Dalam pandangan saya, betapa hidup itu begitu sederhana menurut Al-Hasan. Meski sepanjang perjalan hidupnya bertembung dengan keganasan alam dan kesulitan hidup. Namun begitu rumit bagi sang pemuda, kala dia bercita-cita setinggi langit.

Menjelang bagian akhir film dokumenter, Al-Hasan kembali ke desanya. Desa kecil di tengah-tengah luasnya gurun. Katanya, “kini saya pulang, saya berharap desa saya sedamai dulu ketika saya tinggalkan.”


Bogor, 0209

Tidak ada komentar:

Posting Komentar