HALO BOGOR
-Setelah membaca Kompas, hal : 27, Rabu, 10 Desember 2008
“Menata Transportasi Bogor “ Kota Sejuta Angkot””-
Pertengahan 1986, hari beranjak siang, tapi gelap menudungi kota, hujan bak ditumpahkan begitu saja, matahari entah di mana. Aku bersama bapak turun dari kereta rel listrik di sebuah stasiun tua. Bogor. Tertatih-tatih kami berjalan sambil membawa barang-barang di atas lantai stasiun yang basah. Sesampai di luar bapak mencarter sebuah bemo. Kami menuju Darmaga. Nama sebuah wilayah yang aku tak tahu seperti apa. Hari itu hari pertamaku menginjak Bogor dengan sambutan yang sangat sesuai dengan julukannya “Kota Hujan”.
Sepanjang perjalanan ke Darmaga, hujan terus mengurung. Bersaingan dengan cahaya dan suara petir menyambar-nyambar. Ke depan, di kota inilah ternyata aku akan menghabiskan banyak waktuku. Dan sudah ku catatkan, kota ini adalah kota keduaku yang kucintai setelah kota masa kecilku, Surabaya.
Bogor di tahun-tahun itu bak kota sepi yang berlindung di ketiak sebuah gunung. Gunung Salak. Di bawah lebat dan rindangnya tajuk-tajuk pohon besar. Kota yang selalu basah oleh desir air setiap hari. Atau hujan yang sangat lebat.
Kuingat jalan Merdeka yang lengang ketika aku hendak mencari buku di Toko Buku Naga Mulya. Harus buru-buru pulang sebelum magrib kalau tak mau kehabisan angkot warna kuning dengan pintunya yang di belakang itu. Ya, kala itu, angkutan penumpang ke arah Darmaga atau Ciampea sangat dibatasi waktu.
Kuingat jalan Sukasari, Bondongan jam 7 malam sepi bak kota mati ketika aku dan seorang taman bersepeda motor menyusurinya menuju sebuah warung Bandrek-Susu. Malam-malam basah yang senyap.
Kuingat Kebun Raya dan Istananya seperti seorang raksasa dengan rambut hijau gimbalnya duduk mengangkang. Sore setelah waktu ashar, ribuan kalong peliharaan mengelilingi tuannya.
Sekitar tahun 1993, aku berdiri di jalan Merdeka. Tak ada angkot yang akan membawaku ke terminal Baranangsiang. Rupanya hari itu angkot lenyap akibat sebuah pertikaian. Pertengkaran yang konon pecah akibat persaingan mencari penumpang. Hanya sehari. Setelah itu esoknya pelan-pelan normal kembali.
Tahun 1997 aku kembali ke kota ini dari tiga tahun kepulanganku ke kota masa kecilku. Dan aku mendapati sebuah julukan baru Bogor : Kota Sejuta Angkot. Ah, tak heran. Kota kecil ini sudah penuh sesak dengan angkot.
Lalu, kota terus berkembang hingga kini. Mal dan pusat perbelanjaan terus dibangun. Tak urung, bak gula yang terus dicari semut, tempat-tempat itu menjadi pusat-pusat kemacetan. Belum lagi perilaku angkot yang berhenti sembarangan. Terminal Baranangsiang tak lagi muat oleh kendaraan umum. Semua tumpah ke jalan. Bogor menjadi sebuah terminal besar. Seluruh kota adalah terminal. Ah !
Mau dibawa kemanakah, Bogor ? Sebelum terlanjur dan sulit mengurainya seperti Jakarta, sebagai warga Bogor, sebaiknya kita harus mulai peduli.
Bogor, 1208
Tidak ada komentar:
Posting Komentar