SAYA DAN PERGANTIAN TAHUN
Sesaat menjelang pergantian tahun
seperti ini, pertanyaan yang datang pada saya, dari teman, saudara, biasanya
adalah : Tahun Baruan ke mana ? Saya yakin ini adalah sebuah pertanyaan yang
umum ketika pergantian tahun Masehi ini telah menjadi momentum perayaan selain
pergantian angka, juga diharapkan sebagai pergantian keberuntungan, menutup
“buku lama” dan mengganti dengan “buku baru”, juga harapan-harapan baru ke
depannya. Tahun ini ketika muncul pertanyaan itu, membuat saya bertanya pada
diri sendiri : Iya ya, Tahun Baruan ini saya ke mana ya ?
Saya mungkin adalah salah satu
orang yang ( mungkin juga minoritas ) jarang mengadakan atau ikut perayaan
Tahun Baru. Tapi memang pada dasarnya saya adalah orang yang tak menyukai acara
pesta. Sementara pergantian Tahun baru itu selalu identik dengan pesta pora.
Seingat saya ada dua kali saya
dengan sengaja memperingati pergantian Tahun Baru dengan sebuah acara yang
istimewa. Satu kali sebuah kegiatan perenungan yang istimewa. Satu lagi adalah
kegiatan hura-hura.
Satu kegiatan perenungan itu
adalah saya dengan sengaja bertahun baru ( lupa tahun berapa ) di Gunung
Welirang, JawaTimur. Saat itu saya berangkat dengan dua kawan, Budi dan Tanto.
Meski tak sampai puncak ( kami hanya sampai gubuk para pencari belerang ) saya
merasa puas. Bukan karena penaklukan alam tapi penaklukan diri sendiri. Saya
merasa puas bahwa pergantian tahun baru saya rayakan dengan “bersembunyi” dari
keramaian. Hanya diri saya, teman perjalanan dan teman yang bertemu di jalur
pendakian saja yang merasa ada sebuah momentum pergantian antar waktu. Tapi
apakah alam yang saja pijak, yang saya telusuri, yang saya sedang terlibat di
dalamnya juga turut merayakan pergantian itu ? Saya pikir tidak.
Saya saat itu merasa sebagai
individu yang naïf dan kecil dibanding dengan gunung, hutan belantara dan alam semesta
yang besar. Yang selalu berevolusi dengan diam-diam tanpa perayaan. Saya merasa
terlalu “kegeden rumangsan” apabila saya berpesta pora merayakannya. Ada satu
peristiwa kecil di gubuk penambang belerang yakni tarik ulur antara menyalakan
kembang api ( suar ) atau tidak saat detik-detik pergantian tahun itu. Kami,
para pendaki berbeda pendapat tentang tindakan itu. Satu sisi ada yang takut
menyebabkan kebakaran karena kami ada di sekitar belerang. Satu sisi menyatakan
tidak apa-apa. Tapi akhirnya kami memutuskan tidak menyalakannya. Kami hanya
duduk-duduk dan ngopi di sekitar api unggun di dalam gubuk dan saling
mengucapkan Selamat Tahun Baru
Perayaan Tahun Baru yang kedua
adalah ketika saya hendak mendirikan majalah Visit Bogor bersama teman-teman.
Saat itu kami hendak menabung tulisan untuk edisi pertama. Kami menulis tentang perayaan Tahun Baru di
Puncak, Bogor, Jawa Barat yang sudah menjadi tradisi dari tahun ke tahun. Saat
itu saya pergi bersama Hari, Yudha dan Imam.
Kami sengaja berangkat dari siang
tanggal 31 Desember. Kami bermaksud merekam dari detik ke detik perubahan
suasana keramaian di Puncak. Ya memang pada akhirnya sampai juga kami ke puncak
acaranya yakni pesta kembang api di sekitar Masjid At-Taawun. Dari lokasi ini
kami dapat melihat kembang api yang bak jamur bermunculan di seantero kota
Bogor. Kami mengamati pemandangan itu dari kebun teh. Sementara di jalanan
sendiri, ketika detik-detik tahun berganti dimeriahkan oleh hamburan petasan ke
langit malam. Bak perang layaknya. Dalam situasi itu saya hanya mencatat dan
memotret yang kelak akan saya tampilkan dalam tulisan.
Setelahnya, sekitar jam 02.00
pagi kami beranjak turun kembali ke Bogor. Namun yang kami dapati adalah
kemacetan panjang iring-iringan kendaraan bermotor dan manusia.
Itulah dua peristiwa yang pernah
saya alami dalam detik-detik pergantian tahun. Selebihnya saya di rumah saja.
Nonton televisi atau lebih sering tidur dan terbangun sebentar ketika suara
rinduh rendah petasan mengepung di udara. Mungkin setelah ini saya akan
mendapatkan pengalaman yang lain. Entahlah
SELAMAT TAHUN BARU 2012
BOGOR 1112