HUJAN AKHIR TAHUN
Tak sepatah kata kutemukan meski sudah hampir limabelas menit aku menatap layar yang berpendar di depanku. Tadinya kupikir aku akan dapat menemukan puisi di tengah hujan akhir tahun yang mengguyur di depan jendela. Namun deranya yang terlalu deras justru mengganggu gelombang otakku. Aku tak dapat menangkap apa-apa dari guyurnya. Harusnya kuhentikan saja. Meninggalkan laptop dalam keadaan tetap menyala. Melakukan hal-hal lain seperti, menonton televisi atau menonton hujan saja. Tapi kenapa aku tetap duduk terpaku. Bahkan seolah suara hujan di luar sana datang terus dengan hardikan : TULIS PUISI, TULIS CERITA, TULIS APA SAJA
Selain layar yang terus berpendar, di depanku ada sebuah jendela bertirai kuning gading yang sedang terbuka. Tirainya menari-nari ditiup angin. Jendela itu menghadap sebuah taman yang kubikin dengan tanganku sendiri. Taman di depan rumahku yang bergaya tropis. Tapi temanku pernah berkata :
Mindahin hutan nih...ke depan kamarmu.
Di seberang tamanku ada sebuah jalan kompleks perumahan yang sepi. Kini aku sedang memandang ke jalan itu. Mataku terpaku di sana tapi tidak pikiranku. Pada air hujan yang terus menerus menerpa aspal. Bunyinya kian berdentam di kepalaku.
Pikiranku perlahan menyusun derap air membuat sebentuk manusia. Sedikit demi sedikit menjadi sesosok gadis kecil. Rambut diikat ekor kuda. Bergaun abu senada dengan warna aspal. Berkulit seputih kelopak Spatyphylum. Wajahnya, menyungging senyuman dengan tatap yang ramah. Namun ada setitik duka di pupilnya. Sedang bertanya pada diriku :
Boleh aku singgah di kamarmu. Aku kedinginan di luar sini. Sebentar lagi hujan menghanyutkanku ke kali. Boleh ?
Bogor, 1208
SELAYANG BAYANG
SELAMAT DATANG
adalah ruang di mana ada kehidupan yang saling menghidupi. Mungkin ada puisi, mungkin ada cerita, mungkin ada renungan atau oleh-oleh kecil atas sebuah perjalanan, mungkin ada imaji, bahkan mungkin sekedar omelan belaka. Suka maupun tak, apabila berkenan, tinggalkan jejak kata.
Apapun, selamat menikmati. Semoga menjadi inspirasi.
Terima kasih telah berkunjung.
Minggu, 28 Desember 2008
Kamis, 18 Desember 2008
PUISI
BUKAN SEORANG SAWYASACIN
; Si
Dia duduk termenung di rindang pohon hayat. Berlindung dari matahari yang kian meninggi. Nyanyi Sang Purusotama berdengung di kedua telinga. Sesekali dia bersenandung kata yang diingatnya.
Tiba-tiba seekor burung berbulu seputih salju datang dan hinggap di salah satu rantingnya. Seolah membaca jiwanya, burung putih itu pun berlagu :
O, jiwa peragu, jiwa peragu,
Kau senandungkan nyanyi Sang Putra Wisnu
Tapi kenapa jiwamu bimbang, O, peragu
Tak kau lihatkah Sang Dananjaya
Teguh jiwanya dalam dharma
Bukankah kau juga pemilik panah api
Seperti punya Putra Kunti
Dia menjawab lagu sang burung:
O, burung putih, burung putih
Jiwaku memang peragu
Tapi juga pemilik panah api
Bolehkah aku bertanya
Dharmaku ada di mana
Telah kulesatkan berkali-kali
Panah api pada semua arah
Agar semua orang terbakar cinta
Damai milik Sang Hyang nan Suci
Burung putih salju kembali berlagu :
O, jiwa peragu
Sewajarnyalah para satria berpanah api
Merentangkan busurnya pada semua arah
Demi Sang Pemilik Cinta Sejati
Terbakar, terbakarlah Mayapada
Karenanya dirimu juga membara
Api cinta Empunya Hidup
Maka hiduplah jangan meragu
Seperti Arjuna Kuntiputra
Setelah berlagu dengan suara yang merdu, sang burung kembali terbang tinggi. Menghilang pada langit biru tak berawan. Meninggalkan dia yang masih terpekur di bawah pohon hayat. Dalam pikiran bergolak sang peragu, dia berkata dalam hati. Pada dirinya sendiri :
Duh, aku hanya seorang papa, berpanah api namun bukanlah sawyasacin. Tapi selalu kudengarkan nyanyi Sang Janardana. Duh, Gusti aku mohon ampun.
Bogor, 1208
Catatan :
Sawyasacin = Arjuna ( pemanah ulung )
Dananjaya = Arjuna ( penakluk harta kekayaan )
Putra Kunti = Arjuna ( anak Kunti )
Kuntiputra = Arjuna ( anak Kunti )
Purusotama = Kresna ( Jiwa yang Agung )
Putra Wisnu = Kresna ( anak Dewa Wisnu )
Janardana = Kresna ( pendorong pembaharuan )
Semua nama-nama di atas dikutip dari kitab BHAGAVADGITA, Nyoman S.Pendit.
; Si
Dia duduk termenung di rindang pohon hayat. Berlindung dari matahari yang kian meninggi. Nyanyi Sang Purusotama berdengung di kedua telinga. Sesekali dia bersenandung kata yang diingatnya.
Tiba-tiba seekor burung berbulu seputih salju datang dan hinggap di salah satu rantingnya. Seolah membaca jiwanya, burung putih itu pun berlagu :
O, jiwa peragu, jiwa peragu,
Kau senandungkan nyanyi Sang Putra Wisnu
Tapi kenapa jiwamu bimbang, O, peragu
Tak kau lihatkah Sang Dananjaya
Teguh jiwanya dalam dharma
Bukankah kau juga pemilik panah api
Seperti punya Putra Kunti
Dia menjawab lagu sang burung:
O, burung putih, burung putih
Jiwaku memang peragu
Tapi juga pemilik panah api
Bolehkah aku bertanya
Dharmaku ada di mana
Telah kulesatkan berkali-kali
Panah api pada semua arah
Agar semua orang terbakar cinta
Damai milik Sang Hyang nan Suci
Burung putih salju kembali berlagu :
O, jiwa peragu
Sewajarnyalah para satria berpanah api
Merentangkan busurnya pada semua arah
Demi Sang Pemilik Cinta Sejati
Terbakar, terbakarlah Mayapada
Karenanya dirimu juga membara
Api cinta Empunya Hidup
Maka hiduplah jangan meragu
Seperti Arjuna Kuntiputra
Setelah berlagu dengan suara yang merdu, sang burung kembali terbang tinggi. Menghilang pada langit biru tak berawan. Meninggalkan dia yang masih terpekur di bawah pohon hayat. Dalam pikiran bergolak sang peragu, dia berkata dalam hati. Pada dirinya sendiri :
Duh, aku hanya seorang papa, berpanah api namun bukanlah sawyasacin. Tapi selalu kudengarkan nyanyi Sang Janardana. Duh, Gusti aku mohon ampun.
Bogor, 1208
Catatan :
Sawyasacin = Arjuna ( pemanah ulung )
Dananjaya = Arjuna ( penakluk harta kekayaan )
Putra Kunti = Arjuna ( anak Kunti )
Kuntiputra = Arjuna ( anak Kunti )
Purusotama = Kresna ( Jiwa yang Agung )
Putra Wisnu = Kresna ( anak Dewa Wisnu )
Janardana = Kresna ( pendorong pembaharuan )
Semua nama-nama di atas dikutip dari kitab BHAGAVADGITA, Nyoman S.Pendit.
Rabu, 17 Desember 2008
PUISI
SUNGAI KECIL DI DEPAN RUMAHMU
Pada sungai kecil yang ada di depan rumahmu
Ku pernah bertanya
Sampai manakah airnya bermuara
Tapi dia diam saja
Bahkan beberapa kali menenggelamkan
Jembatan yang pernah kususuri
Kupikir aku tak kan lagi bertanya
Pada sungai kecil yang ada di depan rumahmu
Bogor 1208
Pada sungai kecil yang ada di depan rumahmu
Ku pernah bertanya
Sampai manakah airnya bermuara
Tapi dia diam saja
Bahkan beberapa kali menenggelamkan
Jembatan yang pernah kususuri
Kupikir aku tak kan lagi bertanya
Pada sungai kecil yang ada di depan rumahmu
Bogor 1208
PUISI
YANG TERTUNDA
Dulu, kupikir akan menjumpaimu
Saat butiran awan ada di kaki
Arjuno, Welirang, Penanggungan
Ada di satu titik pupil mataku
Tapi ternyata tak
Kujumpa hanya kawanmu
Dengan senyum yang mirip
Dirimu
Bogor 1208
Dulu, kupikir akan menjumpaimu
Saat butiran awan ada di kaki
Arjuno, Welirang, Penanggungan
Ada di satu titik pupil mataku
Tapi ternyata tak
Kujumpa hanya kawanmu
Dengan senyum yang mirip
Dirimu
Bogor 1208
PUISI
JEJAK DETAK
Detak suara keretakah yang membawamu padaku
Ah, Tak. Itu suara degub jantungku bertemu mu
Ingatan, loncatan listrik pada pantograf
Kata-kata menghambur tak keruan
Menyetrum udara yang sedang basah
Bisu
Masih kubayangkan kau memandang keluar
Sore yang berlari dikejar malam
Lalu seorang tukang koran menyapa kita
Ah, dia masih di sana
Dengan pipi tembem dan kumis kecil melintang
(masih ingatkah)
Dia memandangku
Matanya bertanya tentangmu
Harusnya kujawab ; telah pergi
Bersama burung-burung yang selalu migrasi
Tapi tukang koran itu lebih dulu berlalu
Tanpa menunggu jawabanku
Dan kini kereta terus berjalan
Melewati lebih dari stasiun yang pernah kita hitung
Dan entah berapa lagi pemberhentian
Tahukah kau
Tak ada jejak kecuali rel yang memanjang
Dan terus memanjang, tak pernah kembali
Kini aku sibuk mendengar detak jantungku
Sendiri
Bogor, 1208
Detak suara keretakah yang membawamu padaku
Ah, Tak. Itu suara degub jantungku bertemu mu
Ingatan, loncatan listrik pada pantograf
Kata-kata menghambur tak keruan
Menyetrum udara yang sedang basah
Bisu
Masih kubayangkan kau memandang keluar
Sore yang berlari dikejar malam
Lalu seorang tukang koran menyapa kita
Ah, dia masih di sana
Dengan pipi tembem dan kumis kecil melintang
(masih ingatkah)
Dia memandangku
Matanya bertanya tentangmu
Harusnya kujawab ; telah pergi
Bersama burung-burung yang selalu migrasi
Tapi tukang koran itu lebih dulu berlalu
Tanpa menunggu jawabanku
Dan kini kereta terus berjalan
Melewati lebih dari stasiun yang pernah kita hitung
Dan entah berapa lagi pemberhentian
Tahukah kau
Tak ada jejak kecuali rel yang memanjang
Dan terus memanjang, tak pernah kembali
Kini aku sibuk mendengar detak jantungku
Sendiri
Bogor, 1208
Senin, 15 Desember 2008
PUISI
TEROPONG
Apakah sudah menjadi galibnya dunia, diriku tak kan pernah puas. Tak hendak berdiam di satu pemberhentian. Selalu bernafsu membelah diri. Menceracau dengan liur yang terus-menerus meracuni udara. Langit ungu tua. Iblis, malaikat, iblis, malaikat, tuyul, genderuwo, jibril, malik, tanpa pernah mendapat kesempatan menjadi manusia, manusia, manusia, manusia, manusia, manusia, manusia, manusia, manusia.
Bogor 1208
Apakah sudah menjadi galibnya dunia, diriku tak kan pernah puas. Tak hendak berdiam di satu pemberhentian. Selalu bernafsu membelah diri. Menceracau dengan liur yang terus-menerus meracuni udara. Langit ungu tua. Iblis, malaikat, iblis, malaikat, tuyul, genderuwo, jibril, malik, tanpa pernah mendapat kesempatan menjadi manusia, manusia, manusia, manusia, manusia, manusia, manusia, manusia, manusia.
Bogor 1208
PUISI
PELAWAK
Sekali saja kau berkata
Ombak kan menghampiri
Menyampaikan lumba-lumba
Dan kita kehilangan dermaga
Bogor 1208
Sekali saja kau berkata
Ombak kan menghampiri
Menyampaikan lumba-lumba
Dan kita kehilangan dermaga
Bogor 1208
PUISI
DI SEBUAH PESTA
Setiap kali ku datang
Kau selalu ada
Di sana berbaju merah
Kadang ungu
Adakah nama kita
Selalu tertera pada
Undangan yang sama
Padahal temanku
Bukan selalu temanmu
Tapi baiklah
Mungkin kita harus berkenalan
Namaku “kosong”
Dan kau “isi”
Ah, ilusi
Adakah kita berlawanan
Bukan berkawan
Ok, kita berteman sekarang
Yang saling mengisi
Ah tak, kau yang selalu
Mengisi
Dan aku
Kosong adanya
Pesta kali ini
Kau tak datang
Padahal kuharapkan
Supaya aku punya teman
Karena ini bukan pesta temanku
Temanmu, entahlah
Sekedar datang saja
Daripada bengong
Dan kali ini kau
Benar-benar tak datang
Pesta selanjutnya
Kau tak datang
Lagi
Pesta kemudian
Kau tak datang
Kembali
Hingga setiap pesta
Terus kudatangi
Dan kini
Ku menjadi dirimu
Bogor 1208
Setiap kali ku datang
Kau selalu ada
Di sana berbaju merah
Kadang ungu
Adakah nama kita
Selalu tertera pada
Undangan yang sama
Padahal temanku
Bukan selalu temanmu
Tapi baiklah
Mungkin kita harus berkenalan
Namaku “kosong”
Dan kau “isi”
Ah, ilusi
Adakah kita berlawanan
Bukan berkawan
Ok, kita berteman sekarang
Yang saling mengisi
Ah tak, kau yang selalu
Mengisi
Dan aku
Kosong adanya
Pesta kali ini
Kau tak datang
Padahal kuharapkan
Supaya aku punya teman
Karena ini bukan pesta temanku
Temanmu, entahlah
Sekedar datang saja
Daripada bengong
Dan kali ini kau
Benar-benar tak datang
Pesta selanjutnya
Kau tak datang
Lagi
Pesta kemudian
Kau tak datang
Kembali
Hingga setiap pesta
Terus kudatangi
Dan kini
Ku menjadi dirimu
Bogor 1208
PUISI
JARING GELEMBUNG
Jaring membentang
Jalin menjalin simpul
Simpul kuatkan kait
Kait siap menjaring
Jaring gelembung
Gelembung mengembang
Dari kecil jadi kian besar
Kosong di dalam
Kuatkan
Dan, melayang
Gelembung tertangkap jaring
Terperangkap waktu
Jalin menjalin
Bogor 1208
Jaring membentang
Jalin menjalin simpul
Simpul kuatkan kait
Kait siap menjaring
Jaring gelembung
Gelembung mengembang
Dari kecil jadi kian besar
Kosong di dalam
Kuatkan
Dan, melayang
Gelembung tertangkap jaring
Terperangkap waktu
Jalin menjalin
Bogor 1208
Rabu, 10 Desember 2008
CELOTEH
HALO BOGOR
-Setelah membaca Kompas, hal : 27, Rabu, 10 Desember 2008
“Menata Transportasi Bogor “ Kota Sejuta Angkot””-
Pertengahan 1986, hari beranjak siang, tapi gelap menudungi kota, hujan bak ditumpahkan begitu saja, matahari entah di mana. Aku bersama bapak turun dari kereta rel listrik di sebuah stasiun tua. Bogor. Tertatih-tatih kami berjalan sambil membawa barang-barang di atas lantai stasiun yang basah. Sesampai di luar bapak mencarter sebuah bemo. Kami menuju Darmaga. Nama sebuah wilayah yang aku tak tahu seperti apa. Hari itu hari pertamaku menginjak Bogor dengan sambutan yang sangat sesuai dengan julukannya “Kota Hujan”.
Sepanjang perjalanan ke Darmaga, hujan terus mengurung. Bersaingan dengan cahaya dan suara petir menyambar-nyambar. Ke depan, di kota inilah ternyata aku akan menghabiskan banyak waktuku. Dan sudah ku catatkan, kota ini adalah kota keduaku yang kucintai setelah kota masa kecilku, Surabaya.
Bogor di tahun-tahun itu bak kota sepi yang berlindung di ketiak sebuah gunung. Gunung Salak. Di bawah lebat dan rindangnya tajuk-tajuk pohon besar. Kota yang selalu basah oleh desir air setiap hari. Atau hujan yang sangat lebat.
Kuingat jalan Merdeka yang lengang ketika aku hendak mencari buku di Toko Buku Naga Mulya. Harus buru-buru pulang sebelum magrib kalau tak mau kehabisan angkot warna kuning dengan pintunya yang di belakang itu. Ya, kala itu, angkutan penumpang ke arah Darmaga atau Ciampea sangat dibatasi waktu.
Kuingat jalan Sukasari, Bondongan jam 7 malam sepi bak kota mati ketika aku dan seorang taman bersepeda motor menyusurinya menuju sebuah warung Bandrek-Susu. Malam-malam basah yang senyap.
Kuingat Kebun Raya dan Istananya seperti seorang raksasa dengan rambut hijau gimbalnya duduk mengangkang. Sore setelah waktu ashar, ribuan kalong peliharaan mengelilingi tuannya.
Sekitar tahun 1993, aku berdiri di jalan Merdeka. Tak ada angkot yang akan membawaku ke terminal Baranangsiang. Rupanya hari itu angkot lenyap akibat sebuah pertikaian. Pertengkaran yang konon pecah akibat persaingan mencari penumpang. Hanya sehari. Setelah itu esoknya pelan-pelan normal kembali.
Tahun 1997 aku kembali ke kota ini dari tiga tahun kepulanganku ke kota masa kecilku. Dan aku mendapati sebuah julukan baru Bogor : Kota Sejuta Angkot. Ah, tak heran. Kota kecil ini sudah penuh sesak dengan angkot.
Lalu, kota terus berkembang hingga kini. Mal dan pusat perbelanjaan terus dibangun. Tak urung, bak gula yang terus dicari semut, tempat-tempat itu menjadi pusat-pusat kemacetan. Belum lagi perilaku angkot yang berhenti sembarangan. Terminal Baranangsiang tak lagi muat oleh kendaraan umum. Semua tumpah ke jalan. Bogor menjadi sebuah terminal besar. Seluruh kota adalah terminal. Ah !
Mau dibawa kemanakah, Bogor ? Sebelum terlanjur dan sulit mengurainya seperti Jakarta, sebagai warga Bogor, sebaiknya kita harus mulai peduli.
Bogor, 1208
-Setelah membaca Kompas, hal : 27, Rabu, 10 Desember 2008
“Menata Transportasi Bogor “ Kota Sejuta Angkot””-
Pertengahan 1986, hari beranjak siang, tapi gelap menudungi kota, hujan bak ditumpahkan begitu saja, matahari entah di mana. Aku bersama bapak turun dari kereta rel listrik di sebuah stasiun tua. Bogor. Tertatih-tatih kami berjalan sambil membawa barang-barang di atas lantai stasiun yang basah. Sesampai di luar bapak mencarter sebuah bemo. Kami menuju Darmaga. Nama sebuah wilayah yang aku tak tahu seperti apa. Hari itu hari pertamaku menginjak Bogor dengan sambutan yang sangat sesuai dengan julukannya “Kota Hujan”.
Sepanjang perjalanan ke Darmaga, hujan terus mengurung. Bersaingan dengan cahaya dan suara petir menyambar-nyambar. Ke depan, di kota inilah ternyata aku akan menghabiskan banyak waktuku. Dan sudah ku catatkan, kota ini adalah kota keduaku yang kucintai setelah kota masa kecilku, Surabaya.
Bogor di tahun-tahun itu bak kota sepi yang berlindung di ketiak sebuah gunung. Gunung Salak. Di bawah lebat dan rindangnya tajuk-tajuk pohon besar. Kota yang selalu basah oleh desir air setiap hari. Atau hujan yang sangat lebat.
Kuingat jalan Merdeka yang lengang ketika aku hendak mencari buku di Toko Buku Naga Mulya. Harus buru-buru pulang sebelum magrib kalau tak mau kehabisan angkot warna kuning dengan pintunya yang di belakang itu. Ya, kala itu, angkutan penumpang ke arah Darmaga atau Ciampea sangat dibatasi waktu.
Kuingat jalan Sukasari, Bondongan jam 7 malam sepi bak kota mati ketika aku dan seorang taman bersepeda motor menyusurinya menuju sebuah warung Bandrek-Susu. Malam-malam basah yang senyap.
Kuingat Kebun Raya dan Istananya seperti seorang raksasa dengan rambut hijau gimbalnya duduk mengangkang. Sore setelah waktu ashar, ribuan kalong peliharaan mengelilingi tuannya.
Sekitar tahun 1993, aku berdiri di jalan Merdeka. Tak ada angkot yang akan membawaku ke terminal Baranangsiang. Rupanya hari itu angkot lenyap akibat sebuah pertikaian. Pertengkaran yang konon pecah akibat persaingan mencari penumpang. Hanya sehari. Setelah itu esoknya pelan-pelan normal kembali.
Tahun 1997 aku kembali ke kota ini dari tiga tahun kepulanganku ke kota masa kecilku. Dan aku mendapati sebuah julukan baru Bogor : Kota Sejuta Angkot. Ah, tak heran. Kota kecil ini sudah penuh sesak dengan angkot.
Lalu, kota terus berkembang hingga kini. Mal dan pusat perbelanjaan terus dibangun. Tak urung, bak gula yang terus dicari semut, tempat-tempat itu menjadi pusat-pusat kemacetan. Belum lagi perilaku angkot yang berhenti sembarangan. Terminal Baranangsiang tak lagi muat oleh kendaraan umum. Semua tumpah ke jalan. Bogor menjadi sebuah terminal besar. Seluruh kota adalah terminal. Ah !
Mau dibawa kemanakah, Bogor ? Sebelum terlanjur dan sulit mengurainya seperti Jakarta, sebagai warga Bogor, sebaiknya kita harus mulai peduli.
Bogor, 1208
Selasa, 09 Desember 2008
CELOTEH
DERITA DI HARI SUCI
Sekali lagi. Situasi yang berulang. Kemarin, layar televisi memberitakan rusuhnya pembagian daging kurban di beberapa kota. Sebelumnya, Idul Fitri menyisakan berita korban tewas atas rusuhnya pembagian Zakat Fitrah. Timbul tanya, ada apakah ? adakah sesuatu yang salah ?
Dulu saya beberapa kali pernah menjadi amil / panitia pembagian zakat serta pembagian daging kurban. Keadaannya jauh dari yang diberitakan di media akhir-akhir ini. Sejauh yang saya alami, semua ( meminjam istilah pada jaman orde baru ) aman dan terkendali. Karena kami selalu mendata berapa muztahiq yang akan menerima. Yang menyesuaikan dengan jumlah zakat atau hewan qurban yang hendak dibagi. Para muztahiq dibagikan kupon yang telah disesuaikan dengan jumlah zakat atau kurban. Atau lebih tertib lagi kalau amil sudah mendata tempat tinggal dan rumah-rumah para muztahiq. Jadi, zakat atau daging kurban diantar langsung kepada yang berhak. Dulu kami juga menghitung sekitar duapuluh persen untuk kelebihan. Berjaga-jaga kalau-kalau ternyata muztahiq tiba-tiba bertambah. Persoalan yang akan timbul harusnya telah dapat dibaca dan dicarikan solusinya
Tapi yang menjadi berita belakangan menjadi sebuah pertanyaan, ada apakah ? Adakah para amil tak dapat memperhitungkan jumlah muztahiq ? Adakah para amil salah dalam mengkoordinir para muztahiq ? Adakah para muztahiq yang tak mau diatur ? Adakah jumlah zakat kini tak cukup bagi kaum miskin ? Atau ini sebuah taktik kotor para provokator untuk mendiskreditkan pihak-pihak terntentu ? Kaum muslim yang selalu punya hajat besar seperti ini, misalnya. Para amil, agar tak tampak profesional, misalnya. Pemerintah yang bertanggung jawab terhadap kemiskinan, misalnya.
Ah, pertanyaan akan terus mengemuka sebelum ada jawaban jelasnya. Dan jawaban apapun bisa terjadi. Ini telah menjadi pekerjaan rumah bersama yang harus segera diselesaikan. Agar tak semakin runyam nantinya.
Bogor, 0812
Sekali lagi. Situasi yang berulang. Kemarin, layar televisi memberitakan rusuhnya pembagian daging kurban di beberapa kota. Sebelumnya, Idul Fitri menyisakan berita korban tewas atas rusuhnya pembagian Zakat Fitrah. Timbul tanya, ada apakah ? adakah sesuatu yang salah ?
Dulu saya beberapa kali pernah menjadi amil / panitia pembagian zakat serta pembagian daging kurban. Keadaannya jauh dari yang diberitakan di media akhir-akhir ini. Sejauh yang saya alami, semua ( meminjam istilah pada jaman orde baru ) aman dan terkendali. Karena kami selalu mendata berapa muztahiq yang akan menerima. Yang menyesuaikan dengan jumlah zakat atau hewan qurban yang hendak dibagi. Para muztahiq dibagikan kupon yang telah disesuaikan dengan jumlah zakat atau kurban. Atau lebih tertib lagi kalau amil sudah mendata tempat tinggal dan rumah-rumah para muztahiq. Jadi, zakat atau daging kurban diantar langsung kepada yang berhak. Dulu kami juga menghitung sekitar duapuluh persen untuk kelebihan. Berjaga-jaga kalau-kalau ternyata muztahiq tiba-tiba bertambah. Persoalan yang akan timbul harusnya telah dapat dibaca dan dicarikan solusinya
Tapi yang menjadi berita belakangan menjadi sebuah pertanyaan, ada apakah ? Adakah para amil tak dapat memperhitungkan jumlah muztahiq ? Adakah para amil salah dalam mengkoordinir para muztahiq ? Adakah para muztahiq yang tak mau diatur ? Adakah jumlah zakat kini tak cukup bagi kaum miskin ? Atau ini sebuah taktik kotor para provokator untuk mendiskreditkan pihak-pihak terntentu ? Kaum muslim yang selalu punya hajat besar seperti ini, misalnya. Para amil, agar tak tampak profesional, misalnya. Pemerintah yang bertanggung jawab terhadap kemiskinan, misalnya.
Ah, pertanyaan akan terus mengemuka sebelum ada jawaban jelasnya. Dan jawaban apapun bisa terjadi. Ini telah menjadi pekerjaan rumah bersama yang harus segera diselesaikan. Agar tak semakin runyam nantinya.
Bogor, 0812
Kamis, 04 Desember 2008
PUISI
LABA-LABA
Ku
Adalah laba-laba yang bersarang di sudut ruang
Naik, turun, kiri, kanan
Berputar, melingkar
Merajut jala dari benang-benang
Tak peduli gelap dan terang
Memintal nasib menyambung simpul
Menunggu mangsa
Yang ditakdirkan terjebak jaring
Seperti ku
Bogor 1208
Ku
Adalah laba-laba yang bersarang di sudut ruang
Naik, turun, kiri, kanan
Berputar, melingkar
Merajut jala dari benang-benang
Tak peduli gelap dan terang
Memintal nasib menyambung simpul
Menunggu mangsa
Yang ditakdirkan terjebak jaring
Seperti ku
Bogor 1208
PUISI
MEMUSAR
Padamu diam
Langit biru tenang
Laut menyutra gelombang
Bertanyaku setelah ini apa
Hendak ku katakan
Tapi apalah aku
Sebab kau tak kecil
Juga tak besar
Kalau ku katakan
Kau tak di mana
Sebab kau ada
Namun juga tiada
Sudah kuanggap ku dirimu
Dirimu pun ku
Lalu apa
Bogor 1108
Padamu diam
Langit biru tenang
Laut menyutra gelombang
Bertanyaku setelah ini apa
Hendak ku katakan
Tapi apalah aku
Sebab kau tak kecil
Juga tak besar
Kalau ku katakan
Kau tak di mana
Sebab kau ada
Namun juga tiada
Sudah kuanggap ku dirimu
Dirimu pun ku
Lalu apa
Bogor 1108
PUISI
YANG MENDAKU
Huh. Tak sepadan dengan perkelahian nabimu yang telah membesarkan. Berdirimu berkacak pinggang revolver, menyandang kalashnikov. Bak anak kecil yang suka mencari perhatian.
Huh. Bukankah telah diwasiatkan akan iblis yang berdiri di tengkukmu sendiri. Itulah dirimu. Yang harus kau lawan.
Huh. Buang saja kitab sucimu bila darah masih saja kau ledakkan membanjiri bumi yang telah diamanatkan padamu.
Huh. Ketakutankah yang menelingkungmu dari belakang. Hingga kau membabi buta seolah ada yang kau bela. Tak.
Tak. Dia tak memerlukan pembelaanmu.
Huh. Dia telah berdiri di sana. Sendiri. Menatapmu dalam diam. Seperti ketika malaikat bertanya kenapa diciptakanmu. Hanya dialah yang tahu.
Huh. Jadi buang senjatamu. Kau bukan anak kecil yang suka mencari perhatian.
Bogor 1108
Huh. Tak sepadan dengan perkelahian nabimu yang telah membesarkan. Berdirimu berkacak pinggang revolver, menyandang kalashnikov. Bak anak kecil yang suka mencari perhatian.
Huh. Bukankah telah diwasiatkan akan iblis yang berdiri di tengkukmu sendiri. Itulah dirimu. Yang harus kau lawan.
Huh. Buang saja kitab sucimu bila darah masih saja kau ledakkan membanjiri bumi yang telah diamanatkan padamu.
Huh. Ketakutankah yang menelingkungmu dari belakang. Hingga kau membabi buta seolah ada yang kau bela. Tak.
Tak. Dia tak memerlukan pembelaanmu.
Huh. Dia telah berdiri di sana. Sendiri. Menatapmu dalam diam. Seperti ketika malaikat bertanya kenapa diciptakanmu. Hanya dialah yang tahu.
Huh. Jadi buang senjatamu. Kau bukan anak kecil yang suka mencari perhatian.
Bogor 1108
Langganan:
Postingan (Atom)