AKU BICARA POLITIK
Ada seorang kawan yang datang ke rumah. Dia adalah kawan di masa SMA. Kawanku itu dulu adalah seorang Ketua OSIS sebelum aku. Jadi dulu dia menyerahterimakan jabatannya kepadaku. Di rumah kami bercengkerama saling bercerita tentang masa lalu.
Tiba pada sebuah cerita seorang teman di Makasar yang menjadi caleg sebuah partai, kawanku menanyakan apakah aku tak juga tertarik pada politik. Mengingat aku dulu senang berorganisasi. Kujawab ; aku tak tertarik pada politik. Yang ternyata, menurutku, hanya sebuah permainan kepentingan yang teramat sempit.
Aku mempunyai pengalaman berorganisasi sejak usia belasan. Di usia 14 tahun aku sudah duduk sebagai sekretaris Karang Taruna di kampungku di Surabaya. Dari sana aku mulai belajar mengelola sebuah organisasi. Di sana aku mulai belajar mengetahui karakter setiap individu. Bagiku ini adalah hal yang menarik. Bagaimana sebuah organisasi dibentuk untuk memberikan manfaat kepada setiap orang / anggota. Mencapai sebuah cita-cita bersama, tapi tak setiap kepala mempunyai pandangan dan cara berpikir yang sama.
Selanjutnya ketika SMA akupun pernah menjadi Ketua OSIS. Kemudian ikut berbagai organisasi bahkan pernah diundang untuk turut dalam dua organisasi kepemudaan besar yang berbeda. Akupun turut hadir dalam beberapakali undangan pertemuannya. Tapi semakin dalam menyelam, semakin aku tak mengerti akan perjalanan sebuah organisasi. Bagiku sangat jelas, berorganisasi adalah menyatukan berbagai kepentingan dan pemikiran ke sebuah wadah untuk mencapai cita-cita bersama. Tapi ternyata, yang kulihat di sana adalah cita-cita dan kepentingan-kepentingan individu lebih menonjol daripada kepentigan dan cita-cita bersama. Aku melihat, bahwa seseorang turut menjadi anggota organisasi atau menjadi pengurusnya demi untuk memperluas pergaulan, mendapatkan kolega yang ujung-ujungnya melancarkan bidang usaha yang ditekuninya. Memperkaya diri sendiri secara materi.
Pun melihat keluar pada sebuah organisasi besar yang bernama Negara Kesatuan Republik Indonesia. Aku jadi bertanya-tanya ; dimanakah cita-cita dan kepentingan bersama ? Yang tampak kini justru cita-cita dan kepentingan individu. Cita-cita dan kepentingan sempit yang ditumpangkan pada cita-cita dan kepentingan bersama, sebuah bangsa. Partai politik, sebuah organisasi yang menopang negara, tak ubahnya sebagai pohon besar di hutan yang mempunyai banyak tanaman parasit yang sibuk menjulurkan dirinya sendiri demi mencapai sinar matahari sambil terus menghisap tanaman indungnya. Sang pohon besar masihlah berakar pada tanah rakyat. Dia terus menerus mencari makan pada tanah yang kian lama kian habis kesuburannya.
Yang menjadi pertanyaaku sekarang ; Apakah kita masih mempunyai cita-cita bersama ? Kalau jawabannya, Ya. Kenapa kita hampir selalu mencari jalan sendiri-sendiri ? Sebuah kapal besar yang menuju arah tertentu sebelum berlayar pasti sudah mempunyai persiapan dan navigasi yang matang. Tapi kenapa setiap penumpangnya mempunyai perahu sekoci sendiri-sendiri. Hingga kapal hampir tak dapat bergerak karena sudah dipenuhi oleh sekoci-sekoci masing-masing penumpang.
Kembali pada seorang kawan yang datang berkunjung. Sebaiknya aku berterimakasih padanya atas pertanyaan yang telah menggelitik pikiranku. Terus terang aku masih tertarik dengan organisasi tapi tidak dengan organisasi politik atau partai politik. Setidaknya untuk saat ini. Entah nanti. Dunia selalu berubah bukan. Begitu juga dengan manusianya.
Bogor 1108
SELAYANG BAYANG
SELAMAT DATANG
adalah ruang di mana ada kehidupan yang saling menghidupi. Mungkin ada puisi, mungkin ada cerita, mungkin ada renungan atau oleh-oleh kecil atas sebuah perjalanan, mungkin ada imaji, bahkan mungkin sekedar omelan belaka. Suka maupun tak, apabila berkenan, tinggalkan jejak kata.
Apapun, selamat menikmati. Semoga menjadi inspirasi.
Terima kasih telah berkunjung.
Sabtu, 29 November 2008
Kamis, 20 November 2008
CELOTEH
SEBUAH CATATAN KECIL TENTANG CINTA
Sekitar duapuluh tahun yang lalu saya mempunyai sebuah buku catatan kecil. Boleh dikatakan itu sebuah diary. Di sana saya membikin puisi, menumpahkan perasaan, penilaian atas kejadian sehari-hari yang saya alami. Di setiap halaman bagian bawah buku catatan kecil itu tercetak kata-kata bijak dari para tokoh-tokoh dunia, filsuf, penyair. Ada satu kalimat yang saya ingat dari tokoh yang saya lupa namanya, yang kira-kira berbunyi : Cinta itu seperti angin. Hanya dirasakan ketika ranting-ranting merundukkan dedaunan. Saat itu saya langsung berpikir usil : Nah, cinta juga seperti kentut dong...., hanya diketahui keberadaannya ketika baunya telah menyebar ruangan.
Di usia-usia remaja seperti itu, dari teman sebaya, sangat sering saya mendengar pertanyaan tentang cinta. Apakah cinta itu ? Dari kata-kata bijak itu sayapun berangkat untuk mencari arti cinta. Awalnya saya cuma berpikir tentang hubungan seorang laki-laki dan perempuan. Di sana cinta mewujudkan dirinya. Namun kemudian saya menangkap juga cinta orang tua kepada anaknya. Teringat ungkapan : Kasih ibu sepanjang jalan.
Pada awal masa kuliah, saya menemukan cinta yang lain. Cinta seorang Muhammad Iqbal, penyair dan filsuf dari Pakistan. Dari sana saya menemukan jalan kepada Jallaludin Rumi. Huh ! Cinta sejati mereka adalah Sang Maha Hidup. Sang Akbar adalah cinta sesungguhnya. Meski baik dan buruk menimpa ciptaanNya. Justru itulah wujud dari cintaNya. Mengajak mahlukNya berpikir tentang sebab akibat. Cinta.
Saya sendiri pada akhirnya tak mencari arti cinta itu tapi menjadi tahu ketika cinta itu datang. Benar seperti tulisan yang saya ingat di buku catatan kecil saya dulu : Cinta itu seperti angin. Hanya dirasa ketika merundukkan ranting dan dedaunan. Di sana baru sadar adanya dedaunan yang terpacak pada ranting. Ranting yang melekat pada batang. Batang menghunjam pada tanah. Tanah adalah bumi. Bumi adalah bagian kecil dari sebuah tata surya. Dari Tata surya-tata surya yang bermilyar-milyar jumlahnya.
Bagi saya arti cinta kini tak penting tapi penting adalah akibatnya.
Bogor 1108
Sekitar duapuluh tahun yang lalu saya mempunyai sebuah buku catatan kecil. Boleh dikatakan itu sebuah diary. Di sana saya membikin puisi, menumpahkan perasaan, penilaian atas kejadian sehari-hari yang saya alami. Di setiap halaman bagian bawah buku catatan kecil itu tercetak kata-kata bijak dari para tokoh-tokoh dunia, filsuf, penyair. Ada satu kalimat yang saya ingat dari tokoh yang saya lupa namanya, yang kira-kira berbunyi : Cinta itu seperti angin. Hanya dirasakan ketika ranting-ranting merundukkan dedaunan. Saat itu saya langsung berpikir usil : Nah, cinta juga seperti kentut dong...., hanya diketahui keberadaannya ketika baunya telah menyebar ruangan.
Di usia-usia remaja seperti itu, dari teman sebaya, sangat sering saya mendengar pertanyaan tentang cinta. Apakah cinta itu ? Dari kata-kata bijak itu sayapun berangkat untuk mencari arti cinta. Awalnya saya cuma berpikir tentang hubungan seorang laki-laki dan perempuan. Di sana cinta mewujudkan dirinya. Namun kemudian saya menangkap juga cinta orang tua kepada anaknya. Teringat ungkapan : Kasih ibu sepanjang jalan.
Pada awal masa kuliah, saya menemukan cinta yang lain. Cinta seorang Muhammad Iqbal, penyair dan filsuf dari Pakistan. Dari sana saya menemukan jalan kepada Jallaludin Rumi. Huh ! Cinta sejati mereka adalah Sang Maha Hidup. Sang Akbar adalah cinta sesungguhnya. Meski baik dan buruk menimpa ciptaanNya. Justru itulah wujud dari cintaNya. Mengajak mahlukNya berpikir tentang sebab akibat. Cinta.
Saya sendiri pada akhirnya tak mencari arti cinta itu tapi menjadi tahu ketika cinta itu datang. Benar seperti tulisan yang saya ingat di buku catatan kecil saya dulu : Cinta itu seperti angin. Hanya dirasa ketika merundukkan ranting dan dedaunan. Di sana baru sadar adanya dedaunan yang terpacak pada ranting. Ranting yang melekat pada batang. Batang menghunjam pada tanah. Tanah adalah bumi. Bumi adalah bagian kecil dari sebuah tata surya. Dari Tata surya-tata surya yang bermilyar-milyar jumlahnya.
Bagi saya arti cinta kini tak penting tapi penting adalah akibatnya.
Bogor 1108
Minggu, 16 November 2008
PUISI
TREMBESI
; ds
Fotomu di sampul majalah itu
Tiba-tiba membuatku
Ingin bercocok tanam
Di punggungmu dengan
Warna-warni bunga-bunga
Ah, tidak
Mungkin trembesi saja
Yang besar pokoknya
Besar tajuknya
Ah, tidak
Mungkin sedang saja
Sebesar lenganmu
Kuning gading
Supaya kau mau merawatnya
Seperti kau mencoba
Merawat hidup yang
Kau peroleh dari kitab-kitab
Para filsuf
Supaya membesar nanti
Batang dan tajuknya
Hidup untuk merindangi
Bogor, 1108
; ds
Fotomu di sampul majalah itu
Tiba-tiba membuatku
Ingin bercocok tanam
Di punggungmu dengan
Warna-warni bunga-bunga
Ah, tidak
Mungkin trembesi saja
Yang besar pokoknya
Besar tajuknya
Ah, tidak
Mungkin sedang saja
Sebesar lenganmu
Kuning gading
Supaya kau mau merawatnya
Seperti kau mencoba
Merawat hidup yang
Kau peroleh dari kitab-kitab
Para filsuf
Supaya membesar nanti
Batang dan tajuknya
Hidup untuk merindangi
Bogor, 1108
PUISI
MENTENG BERBUAH
Setelah kau tunggu berlama-lama
Akhirnya pohon menteng itu berbuah juga
Padahal tadinya kau gelisah
Kebunmu terganggu gulma, jejamuran
Dan parasit yang hidup pada batangnya
Kau tentu tak berharap durian, rambutan
Karena kau hanya menanam menteng
Siapa mengenalnya
Bahkan cucumu hanya tahu rasa
Apel washington, kiwi australia
Ah, mereka kan tak menanam kenangan
Mencari bajing bertemu menteng
Disantap di bawah pohonnya
Asam manis mengerenyitkan mukamu
Ah, mereka tak punya
Dan kini kau kumpulkan dia
Kau tawarkan pada tetanggamu
Tak ada yang tahu, tak ada yang mau
Ya sudah, sendiri saja
Kini kau duduk di bawah pohonnya
Menyantap menteng asam manis
Buah kenangan
Bogor, 1108
Setelah kau tunggu berlama-lama
Akhirnya pohon menteng itu berbuah juga
Padahal tadinya kau gelisah
Kebunmu terganggu gulma, jejamuran
Dan parasit yang hidup pada batangnya
Kau tentu tak berharap durian, rambutan
Karena kau hanya menanam menteng
Siapa mengenalnya
Bahkan cucumu hanya tahu rasa
Apel washington, kiwi australia
Ah, mereka kan tak menanam kenangan
Mencari bajing bertemu menteng
Disantap di bawah pohonnya
Asam manis mengerenyitkan mukamu
Ah, mereka tak punya
Dan kini kau kumpulkan dia
Kau tawarkan pada tetanggamu
Tak ada yang tahu, tak ada yang mau
Ya sudah, sendiri saja
Kini kau duduk di bawah pohonnya
Menyantap menteng asam manis
Buah kenangan
Bogor, 1108
Selasa, 11 November 2008
PUISI
UNDANGAN
Sulur-suluran telah menyampaikan undanganmu padaku. Tapi sayang, almanak di dinding kamar mendahuluimu mengulurkan angka-angka yang sama saat ku kan menjenguk ibu sakit.
Ah, kau tahu itu. Aku tentu mendahulukan dia daripada mu. Bukankah engkau pula yang menyebabkan dia diam tak bergerak. Kudengar dia juga selalu memuja-mujimu.
Atau jangan-jangan setelah mendengar jawabanku ini kau malah turut menjenguk ibu.
Bogor 1108
Sulur-suluran telah menyampaikan undanganmu padaku. Tapi sayang, almanak di dinding kamar mendahuluimu mengulurkan angka-angka yang sama saat ku kan menjenguk ibu sakit.
Ah, kau tahu itu. Aku tentu mendahulukan dia daripada mu. Bukankah engkau pula yang menyebabkan dia diam tak bergerak. Kudengar dia juga selalu memuja-mujimu.
Atau jangan-jangan setelah mendengar jawabanku ini kau malah turut menjenguk ibu.
Bogor 1108
PUISI
SELANGKAH LAGI
Selangkah lagi ku kan sampai pintumu
Akan kuketukkah lalu kau persilakan aku masuk ke dalam
Atau kuberdiri saja di sana
Memunggungimu
Memperhatikan jejak-jejak kakiku
Yang telah melewati seribu taman
Penuh pepohonan, warna-warni dan aroma bunga
Sebab bila
Selangkah ku masuk ke dalam
Ku kan berubah menjadi dirimu dan
Takkan lagi ku temui seribu taman
Penuh pepohonan, warna-warni dan aroma bunga
Dan ku tak pernah tahu apa yang ada di dalam sana
Bogor 1108
Selangkah lagi ku kan sampai pintumu
Akan kuketukkah lalu kau persilakan aku masuk ke dalam
Atau kuberdiri saja di sana
Memunggungimu
Memperhatikan jejak-jejak kakiku
Yang telah melewati seribu taman
Penuh pepohonan, warna-warni dan aroma bunga
Sebab bila
Selangkah ku masuk ke dalam
Ku kan berubah menjadi dirimu dan
Takkan lagi ku temui seribu taman
Penuh pepohonan, warna-warni dan aroma bunga
Dan ku tak pernah tahu apa yang ada di dalam sana
Bogor 1108
Senin, 03 November 2008
PUISI
BUALAN
Kenapa tak matikan saja televisimu lalu duduk di sini menemaniku merajut sepi menjadi tikar yang mungkin akan kau khayalkan terbang ke negeri seribu satu malam. Seperti yang ada di layar televisimu itu.
Tapi kuyakin kau tak kan pernah percaya bualan ini.
Bogor 1108
Kenapa tak matikan saja televisimu lalu duduk di sini menemaniku merajut sepi menjadi tikar yang mungkin akan kau khayalkan terbang ke negeri seribu satu malam. Seperti yang ada di layar televisimu itu.
Tapi kuyakin kau tak kan pernah percaya bualan ini.
Bogor 1108
CERPEN
KERETA JAM TIGA PAGI
Kutunggu kau di peron ketika stasiun Jember dibalut embun Januari. Di antara sengatan dingin kursi-kursi besi. Di peluk ransel isi udara-udara kosong. Yang siap kuserahkan padamu bila kau tiba.
Kau datang dengan senyummu yang khas. Da Vinci meminjamkannya padamu, kataku dulu, dan sweater merah gelap itu. Kau lambai-lambaikan buat menyenangkanku
Kemana, tanyamu.
Banyuwangi, jawabku.
Terus ke Bali, seperti dulu, tanyamu.
Tak. Hanya sampai Banyuwangi.
Aku ingin ke Bali, pintamu
Aku pasrah
Geram lokomotif yang siap berpacu. Peluit kondektur menyalak
Kereta berangkat jam tiga pagi. Menggiring kabut, menggiring sepi, menggiring kita yang lelah memikul hidup. Diterangi lilin-lilin, kaupun berbaring di sela berkarung-karung cabe, singkong, bawang merah, dan ubi. Dan ibu-ibu yang menertawaimu..
Api lilin terombang-ambing disembunyikan dari angin yang membawa mimpimu bertemu ku.
Sudah. Bawa saja ku pergi, semaumu. Kataku
Depok, 0406
Kutunggu kau di peron ketika stasiun Jember dibalut embun Januari. Di antara sengatan dingin kursi-kursi besi. Di peluk ransel isi udara-udara kosong. Yang siap kuserahkan padamu bila kau tiba.
Kau datang dengan senyummu yang khas. Da Vinci meminjamkannya padamu, kataku dulu, dan sweater merah gelap itu. Kau lambai-lambaikan buat menyenangkanku
Kemana, tanyamu.
Banyuwangi, jawabku.
Terus ke Bali, seperti dulu, tanyamu.
Tak. Hanya sampai Banyuwangi.
Aku ingin ke Bali, pintamu
Aku pasrah
Geram lokomotif yang siap berpacu. Peluit kondektur menyalak
Kereta berangkat jam tiga pagi. Menggiring kabut, menggiring sepi, menggiring kita yang lelah memikul hidup. Diterangi lilin-lilin, kaupun berbaring di sela berkarung-karung cabe, singkong, bawang merah, dan ubi. Dan ibu-ibu yang menertawaimu..
Api lilin terombang-ambing disembunyikan dari angin yang membawa mimpimu bertemu ku.
Sudah. Bawa saja ku pergi, semaumu. Kataku
Depok, 0406
PUISI
FOTO
Foto yang kau kirimkan padaku
Tak seperti bulan bulat telanjang
Yang menantang
Tapi laut yang membentang
Yang selalu membuatku ingin
Bermain pasir ditepian
Depok 0607
Foto yang kau kirimkan padaku
Tak seperti bulan bulat telanjang
Yang menantang
Tapi laut yang membentang
Yang selalu membuatku ingin
Bermain pasir ditepian
Depok 0607
Sabtu, 01 November 2008
GEGURITAN
SIRKUS ALUN-ALUN
Nong, Nong, Nong, Nong
Kenong ditabuh, ngundang wong
Wong nggal siji teko nggawe kalangan
Plak, Plung, Plak, Plung
Kendang dikeplak kempul dikemung
Nonton hiburan sirkus alun-alun
Blang. Kenthung. Blang. Kenthung
Ngisor trembesi tengah alun-alun
Srengenge mlethek ora dirasa
Surak mboto rubuh keplok sing nonton
Maju wong nguntal geni ider kalangan
Sembar-sembur geni disembur ngobong akasa
Kagete wong njur surak, Hiyo
Jumpalitan jalma awujud kethek
Ngegirisi menek wit trembesi
Anamung tingkahe lucu
Sing nonton podho ngguyu
Wayahe bocah cilik maju tengah kalangan
Gela gelo jejogedan tangan kethawean
Ngempit jaran sesek koco moto ireng
Nyirig-nyirig lemah awu kabur kanginan
Heya, Heya, Heya.
Cethar-Cheter swara pecut
Bocah cilik mangan beling
Beling piring, beling lampu
Banyu sak ember dikokop
Heya, Heya, Heya
Wong lanangan brewok maju moco jopo montro
Matrane wong tulak jin, setan, pri prayangan.
Siluman geni, siluman kethek, siluman jaran
Sigra sumingkir gantio jalma manungsa
Sing Nonton surak, Hiyo
Wayahe bocah cilik ider kalangan
Ngathungno kupluk wadah recehan.
1008
Nong, Nong, Nong, Nong
Kenong ditabuh, ngundang wong
Wong nggal siji teko nggawe kalangan
Plak, Plung, Plak, Plung
Kendang dikeplak kempul dikemung
Nonton hiburan sirkus alun-alun
Blang. Kenthung. Blang. Kenthung
Ngisor trembesi tengah alun-alun
Srengenge mlethek ora dirasa
Surak mboto rubuh keplok sing nonton
Maju wong nguntal geni ider kalangan
Sembar-sembur geni disembur ngobong akasa
Kagete wong njur surak, Hiyo
Jumpalitan jalma awujud kethek
Ngegirisi menek wit trembesi
Anamung tingkahe lucu
Sing nonton podho ngguyu
Wayahe bocah cilik maju tengah kalangan
Gela gelo jejogedan tangan kethawean
Ngempit jaran sesek koco moto ireng
Nyirig-nyirig lemah awu kabur kanginan
Heya, Heya, Heya.
Cethar-Cheter swara pecut
Bocah cilik mangan beling
Beling piring, beling lampu
Banyu sak ember dikokop
Heya, Heya, Heya
Wong lanangan brewok maju moco jopo montro
Matrane wong tulak jin, setan, pri prayangan.
Siluman geni, siluman kethek, siluman jaran
Sigra sumingkir gantio jalma manungsa
Sing Nonton surak, Hiyo
Wayahe bocah cilik ider kalangan
Ngathungno kupluk wadah recehan.
1008
Langganan:
Postingan (Atom)