DI TEPI SUNGAI BESAR
“Apa yang kau ketahui tentang cinta ?” Tanyanya di sebuah keramaian lalu lintas. Tangannya dengan cekatan mengendalikan kemudi sebuah sedan warna merah hati. Kami baru saja meninggalkan lokasi proyek yang sedang kami kerjakan.
“Cinta, terus terang aku sesungguhnya tak sepenuhnya memahaminya. Tapi tentu saja aku pernah mengalaminya,” jawabku.
Dia diam. Sepertinya sedang memahami jawabanku. Atau sedang mencari celah pertanyaan atas jawabanku ?
“Bolehkah aku mengalaminya lagi ketika aku telah berkeluarga seperti sekarang ini.”
Sepertiku, dia juga telah berkeluarga. Bersuami seorang importir barang-barang dari Korea, Malaysia dan China. Beranak tiga, perempuan, yang cantik-cantik semua. Yang sulung, kelas enam sekolah dasar. Yang tengah, kelas tiga sekolah dasar. Yang bungsu, kelas pra taman kanak-kanak. “Hmm....menurutku boleh-boleh saja. Urusan hati dan pikiran tak ada yang melarang, bukan.”
“Ya. Saat ini aku jatuh cinta lagi.”
Huh, akhirnya. Seperti yang telah kuduga, binar wajah itu tak dapat menyembunyikan syair cinta yang sedang berlagu di hatinya.
“Aku tahu dengan siapa kamu jatuh cinta saat ini.” Sesungguhnya aku sedang menebak
“Dia melirikku. Dia tersenyum.”
“Kamu sudah tahu ?”
“Ya. Aku tahu. Pada akhirnya.” Masih menebak.
“Kok bisa memastikan begitu.”
“Tentu saja bisa. Aku tahu kamu sedang jatuh cinta dengan siapa saat ini. Ketika aku berkenalan dengan kalian berdua aku sudah membaca. Aku membaca bahasa tubuh kalian.” Aku mencoba untuk memastikan.
“Kamu tak bertanya, sejauh mana hubungan kami berdua.”
Ternyata benar.
Aku menarik nafas dalam-dalam. Lalu mengehembuskannya dengan cepat. Sesungguhnya aku malas membahas hubungan mereka. Yang memang terlihat sangat akrab dan intim. Kupikir, bodohnya orang-orang sekitarnya kalau tak tahu mereka ada hubungan istimewa. Cara mereka berdua bicara, berdebat, memuji, menyindir, menatap, melirik. Menyiratkan semuanya. Namun aku di sini cuma seseorang yang dikontrak oleh mereka untuk sebuah pekerjaan selama tiga bulan. Mereka berdua adalah pemilik modal perusahaan kontraktor ini. Jadi urusanku cuma sebatas pekerjaan. Lain, tidak. Lagipula aku tak mau ikut campur urusan pribadi mereka.
“Kalian berdua adalah atasanku, jawabku. Meski usia kita hampir sama, kalian adalah atasanku. Yang menggaji dan memberi perintah kepadaku. Dan aku ke sini ini karena urusan pekerjaan.”
“Ah, ayolah. Santailah barang sedikit. Terus terang aku ingin membahas masalah ini denganmu. Setelah berkenalan dan berhubungan denganmu selama dua bulan lebih ini, aku tahu kamu punya banyak pandangan yang berbeda denganku. Terutama dengan hidup, juga tentang cinta. Untuk itu aku ingin tahu pendapatmu. Cobalah kita hilangkan sekat bahwa aku ini atasanmu. Ayolah.”
“Memangnya kamu mau melanjutkan hubunganmu sampai sejauh mana ?” Dengan perasaan enggan aku mengajukan pertanyaan ini. Aku mulai merasa terseret arusnya.
“Ya, sepanjang.......”
“Sepanjang suamimu tak tahu ?” potongku. Ah, nyinyir.
Dia tertawa. Dia memandangku sebentar lalu kembali berkonsentrasi pada keriuhan lalu lintas sore. Keriuhan anak-anak pulang sekolah, orang-orang pulang bekerja dan orang-orang entah pergi kemana. Mobil berhenti. Memberi kesempatan pada penyeberang jalan di depan sebuah restoran cepat saji.
“Mungkin.”
“Tapi suamimu tahu kan, kerjasamamu dengannya ini ?”
Dia mengangguk. Kulihat matanya menerawang sebentar. Lalu kembali berkonsentrasi pada lalu lintas.
“Kamu pernah jatuh cinta akhir-akhir ini ?”
“Maksudmu setelah aku menikah ?”
Dia mengangguk.
Kugerak-gerakkan leherku yang tak pegal. Kupicingkan mata keluar ruang kabin harum berpendingin udara ini. Matahari masih galak menyalak di sore hari. Sambil mengingat-ingat apakah aku pernah jatuh cinta lagi saat aku telah menikah. Ah, sesungguhnya aku tak lupa apakah aku pernah jatuh cinta. Seorang sekretaris sebuah perusahaan yang juga pernah mengontrakku di Jakarta telah menarik perhatianku.
“Sejujurnya, aku pernah jatuh cinta lagi.”
“Oya.” Dia cepat memotong. Rupanya dia sangat bersemangat terhadap jawabanku.
“Lalu ?” Tanyanya kemudian.
“Ya.....lalu tak terjadi apa-apa.”
“Bohong. Laki-laki selalu bohong.”
“Betul, tak terjadi apa-apa.”
“Bohong. Lalu, tak ada kelanjutannya setelah itu.”
“Ya enggak. Jatuh cintanya cuma sebentar kok.”
“Kenapa ? Kamu ingat istrimu, keluargamu ?”
“Enggak juga. Ya cuma segitu saja.”
“Bohong. Kamu nggak ingin memiliki perempuan itu.”
“Selintas memang ada. Tapi tak sesemangat ketika aku jatuh cinta dengan istriku. Karena aku tahu tak bakal memilikinya.”
Pembicaraan berhenti sebentar. Kulirik, dia sedang tersenyum. Mungkin dalam pikirannya dia meledekku. Mobil menikung di sebuah putaran dan berlanjut pada jalan yang dibelah oleh naungan pohon palm raja besar-besar.
“Ah, laki-laki,” desisnya.
Aku tak berkomentar. Hanya tersenyum kecil lalu memalingkan wajah ke luar. Pada senja yang mulai meredup.
“Lalu sempat terjadi apa ? Sempat jalan bareng ?”
“Beberapa kali pernah.”
“Rasanya bagaimana ?”
“Ya.....tak terlalu bersemangat. Karena aku sudah tahu akhir ceritanya.”
Dia tertawa hampir terbahak-bahak.
“Seperti nonton film saja.”
“Ya begitulah....kau tahu itu. Nonton film, kalau sudah tahu akhir ceritanya jadi tak bersemangat kan ?”
“Maksudmu akhir cerita bahwa kamu tak akan seterusnya dengan dia kan.”
“Ya tentu saja.”
“Tapi istrimu tahu ?”
“Ya enggak. Bisa digantungnya aku.”
Dia kembali tertawa.
Mobil berhenti di sebuah lampu merah yang sepi. Hanya ada dua mobil dan satu sepeda motor di sana.
“Sebentar. Apa begitu itu yang kau sebut dengan jatuh cinta ?” Tanyaku
“Ya iyalah”
“Ah, aku sih tak menyebutnya sebagai jatuh cinta.”
“Lalu apa dong ?”
“Ya.....sekedar keisengan semata.”
“Bukankah di sana juga melibatkan emosimu ?”
“Ya. Sedikit sih.”
“Apakah kamu juga cemburu ketika ada orang lain di dekatnya.”
“Kadang ya, kadang tidak.”
“Lho. Bagaimana sih ?”
“Ya, karena aku sedang berhubungan dengannya. Tidak, karena aku tahu hal itu akan segera berakhir.”
“Tidakkah kau menikmatinya.”
“Tentu saja aku menikmatinya.”
“Ah, gombal kamu. Lalu, apakah sampai saat ini kamu masih berhubungan. Nelpon atau SMS barangkali ?”
“Nggak.”
“Ketika selesai, selesai begitu saja ?”
“Ya.”
“Pasti kau tak lagi terbayang-bayang wajahnya.”
“Siapa bilang”
“Jadi kau terbayang-bayang wajahnya ?”
“Tentu saja. Mana ada orang yang tak terbayang wajah orang yang pernah dekat satu sama lain. Aku rasa orang yang bermusuhanpun saling membayangkan wajah masing-masing lawannya.”
Dia tersenyum. “Ya tidak dalam hal seperti itu lah. Tapi, itu kamu berarti jatuh cinta.”
Aku mengangguk. Akhirnya.
“Ya. Jatuh cinta kan ?”
Aku tersenyum dan menggeleng.
Pembicaraan terhenti, mobilpun begitu pula di depan sebuah terminal angkutan kota. Aku harus turun dan melanjutkan dengan kendaraan umum yang bersimpangan arah dengannya. Kuucapkan terima kasih, selamat sore dan sedan merah hati itu perlahan pergi dan hilang dari pandangan.
***
Malam mulai luruh. Langit ungu masih bersisa di ujung barat sebuah sungai yang besar. Sepenggal tepiannya baru saja dinyalakan oleh para pedagang jagung bakar, pedagang rokok dan minuman, pedagang durian. Untuk pengunjung, penikmat malam yang datang sebelum benar-benar larut mengantarnya ke peraduan. Tapi hari ini mungkin sepi karena ancaman langit dengan mendung kelabunya. Bayang hitam sebuah kapal pelan membelah perairan yang jauh. Begitu juga dengan pikiranku. Rayuannya untuk melanjutkan pekerjaan tersisa begitu menggodaku untuk tinggal beberapa saat lagi di kota ini. Membelah pikiranku yang sudah sampai ke rumah. Kepada kedua bidadari kecilku, si sulung yang lima tahun dan adiknya yang tiga tahun, yang semakin sering bertelepon dan berceloteh di ujung masa kontrak kerjaku.
“Ayolah. Bantu aku menyelesaikan pekerjaan ini.”
Aku tersenyum. “Siapa suruh mengontrakku hanya tiga bulan.”
Dia tertawa
“Ya. Waktu itu aku tak mengenalmu. Dia yang merekomendasikan untuk mengontrakmu. Memanggilmu dari Jakarta. Dan ternyata aku memang membutuhkan tenaga dan pikiranmu. Ayolah. Tolong. Atau kau mau kunaikkan tawaranku ? Anggaplah selama tiga bulan ini adalah masa percobaan. Dan setelah itu kau kuterima sebagai karyawan tetapku. Lagipula waktu itu kami pikir pekerjaan ini akan selesai dalam waktu tiga bulan. Tak tahunya kami mendapat pekerjaan-pekerjaan tambahan yang tak kalah rumitnya. Kontrak-kontrak kamipun diperpanjang. Setelah ini, seperti yang kamu tahu, sudah menunggu beberapa proyek yang segera dikerjakan. Itu juga berkat kamu kan. Mereka jadi sangat percaya kita.”
“Tapi aku tak dalam status karyawan yang bekerja seperti itu.”
“Ya, aku tahu. Tapi kini aku benar-benar butuh bantuanmu.”
“Bukankah aku telah melatih sejumlah karyawanmu pula untuk menggantikan aku. Mereka kurasa sudah cukup pintar.”
“Tak cukuplah. Kamu lain dengan mereka.”
Aku terdiam. Dia memang telah menarikan sejumlah rupiah di telingaku, menggodaku. Dan siapa yang tak tertarik dengan uang. Tapi suara lembut bidadari-bidadariku yang setiap menelepon, merengek : kapan bapak pulang, sudah lama bapak tak mengantarku ke sekolah, pun merayuku dengan suara-suara bening, lucu dan tawa mereka.
“Ayolah. Kalau tak mau lagi kukontrak selama tiga bulan ke depan, begini saja, kau boleh pulang sebentar lalu kembali lagi ke sini. Nanti kita bicarakan lagi statusmu. Atau terserahlah bagaimana kamu mau mengaturnya. Sejujurnya aku masih butuh bantuanmu. Nanti setelah proyek ini selesai, bantu aku bikin perusahaan baru lagi. Kau boleh jadi bosnya, direkturnya. Kamu atur saja semuanya. Kupikir kamu akan segera paham seluk beluk permainan proyek di kota ini, di provinsi ini. Aku pemilik modalnya. Komisaris atau apalah namanya. Lalu kita ikut tender. Mudah itu. Aku masih banyak hubungan dengan orang-orang penting di sini. Kau tahu sendiri, di sini kalau mau, pekerjaan tak ada habisnya. Sejak ada peraturan otonomi daerah, provinsi kaya raya ini semakin menggeliat sementara sumber daya manusianya masih lemah. Daerah ini sedang rakus membangun.”
Aku masih terdiam. Langit mulai menurunkan titik-titik airnya dengan lembut setelah menyembunyikan matahari seharian. Sebentar-sebentar tersapu angin ke arah sungai. Berdesir desir membentuk tirai bergelombang sambung menyambung di permukaannya. Ada dua buah lampu besar yang saling berjauhan menyorot ke sungai. Memberi panduan pada kapal-kapal yang lewat. Bak lampu panggung yang menyuguhkan sebuah tarian. Rintik air mendesak duduk kami untuk lebih merapat. Menghindar dari basah bangku kayu di bawah payung terpal putih.
Pipa besi tempat bertopang kaki, kopi jahe, jagung bakar, lampu petromaks, kerlip lampu kapal lamban berjalan, rumah-rumah panggung tepian sungai, sekali-kali bau tai berseling dengan bau durian, tak terasa bahu kami saling melengket. Tanganku bergerak memeluk pundaknya. Dia merebahkan kepala di dadaku. Aku mencium harum rambutnya.
***
Telah kukatakan pada istriku, aku akan pulang pagi ini. Kusuruh dia libur dulu hari ini dari kantornya. Kukatakan padanya, aku telah rindu melihat wajahnya juga para bidadari kecil itu. Kuharap dia yang membukakan pintu pagar, bukan si Sayem, pembantuku. Dan begitulah keadaannya, senyum dengan lesung pipi yang pernah memikatku itu telah terpampang. Tapi kemana bidadari-bidadari kecilku ?
“Baru tiga bulan saja wajahmu sudah hitam dan rambutmu gondrong acak-acakan, apa nggak sempat cukur rambut,” sambutnya.
“Ya beginilah kalau bekerja di belantara.”
Setelah kututup pintu pagar, kudekap dia dan kukecup keningnya.
Dia tersenyum.
Di teras berdiri Sayem dan kedua bidadari kecilku. Mereka mendekap erat tubuh perempuan yang telah tiga tahun bekerja di rumahku itu. Tapi kenapa wajah mereka, bidadariku, tampak ketakutan ?
“Ayo anak-anak kasih salam sama bapak,” kata istriku.
“Ayo dong, itu kan bapak,” bujuk Sayem.
Aku berdiri mematung dengan perasaan tak karuan.
Depok 07-08
Cerpen di Femina No 21 /XXXVII. 23-29 Mei 2009