SAKIT GIGI
Mungkin karena ambang rasa sakit yang menurun atau karena ini memang serangan terhebat dalam sejarah sakit gigiku, dua malam berturut-turut kantukku tak lagi dapat membujuk mata untuk segera larut di alam mimpi karena terganjal gigi yang senut-senut. Setiap butir Ponstan 500 miligram yang kuminumpun tak juga mampu menghilangkannya. Hanya reda sebentar lalu perlahan muncul kembali. Dan setiap kemunculannya kembali, seolah selalu membawa dendam yang tertunda hingga terasa lebih sakit dari sebelumnya.
Karena semakin tak tahan rasa sakitnya maka kuputuskan pergi ke dokter gigi. Terbayang sudah satu gigiku akan tanggal dan tak lagi mendapat ganti dari alam karena jatah telah habis. Atau entahlah, mungkin ada kebijaksanaan lain dari sang dokter agar tak mencabut gigi gerahamku, aku pasrah saja. Lalu kujatuhkan pilihanku pada dokter gigi di sebuah poliklinik RS kelas menengah. Berharap mendapatkan harga yang lebih murah bila aku nanti harus bolak-balik mengunjunginnya.
Pada kunjungan pertama, ternyata sang dokter berkeputusan untuk tak mencabut gigi depanku. Alhamdulillah, aku tak jadi bogang. Dokter memutuskan untuk mengebor, membersihkan karang gigi, mengobati infeksi dan mematikan syaraf yang sakit.
Kunjungan kedua, sakitpun berkurang dan dokter memutuskan untuk menambal lubangnya. Tapi tidak untuk kali ini. Kunjungan kedua ini adalah mempersiapkan lubang untuk ditambal tetap di kunjungan ketiga nantinya.
Kunjungan ketigapun kujalani.Sebuah sore yang basah aku menunggu giliran di ruang tunggu poli gigi yang menyatu dengan ruang tunggu apotik. Akupun tak segelisah pada kunjungan pertama dan kedua karena sakit gigi tak lagi terasa. Di tengah ketenangan ruang tunggu yang hanya didominasi oleh suara pelan dari pesawat televisi di seberangku, tiba-tiba pecah oleh canda tawa sebuah keluarga yang datang ke ruang tunggu. Sebuah keluarga yang tampak sederhana, terdiri dari seorang bapak, ibu, nenek dan cucu perempuan usia sekitar 3 tahun. Merekapun berbaur. Sang nenek duduk di sebelahku sementara sang bapak dan cucu duduk di depanku. Sang ibu langsung menuju apotik. Rupanya mereka selesai dari ruang dokter lain dan siap menebus obat. Seperti aku, merekapun menunggu. Dan ruang tunggupun jadi lebih ramai karena sang cucu perempuan yang lucu mondar-mandir antara ibunya dan neneknya.
Tak lama sang ibupun dipanggil oleh petugas apotik. Kemudian terjadi perbincangan di antara mereka. Tampak ada yang lucu dari perbincangan mereka karena kulihat sang ibu tertawa-tawa. Lalu sang ibu beranjak dari depan apotik dan berjalan ke nenek yang ada di sebelahku sambil membawa selembar kertas resep. Wajahnya tampak sumringah. Sesampai di depan sang nenek sang ibu berkata, “Mak ! Kite pulang aje ye. Obatnya kagak bisa ditebus.....”
“Emang ngapah ?” Tanya sang nenek.
“Tau nggak.....berape harge obat emak ?”
“Berape ?”
“Satu jute tujuh ratus lima puluh ribu rupiah !” kata sang ibu sambil tertawa. Dan kemudian memandangku. Akupun tersenyum bingung. Tiba-tiba aku merasa sakit gigiku hendak kambuh lagi.
Depok 0406
Tidak ada komentar:
Posting Komentar