SELAYANG BAYANG

SELAMAT DATANG

adalah ruang di mana ada kehidupan yang saling menghidupi. Mungkin ada puisi, mungkin ada cerita, mungkin ada renungan atau oleh-oleh kecil atas sebuah perjalanan, mungkin ada imaji, bahkan mungkin sekedar omelan belaka. Suka maupun tak, apabila berkenan, tinggalkan jejak kata.
Apapun, selamat menikmati. Semoga menjadi inspirasi.
Terima kasih telah berkunjung.

Rabu, 30 Maret 2011

CELOTEH

KSATRIA BERDARAH CAMPURAN II :

G A T O T K A C A


Kawah Candradimuka yang ada di puncak Gunung Jamurdipa panas menggelegak, saat seorang bayi bernama Tetuka sedang digodok untuk mendapatkan ilmu kanuragan dan kesaktian. Para Dewa sedang merekayasa sang bayi dengan melemparkan segala jenis senjata dan ilmu agar bayi tumbuh segera dan perkasa. Karena mereka sedang membutuhkan seseorang ksatria pilih tanding yang dapat membunuh Raksasa Sekipu yang sedang membuat onar Jongring Saloka, Istana Para Dewa.

Sesungguhnya bayi itu adalah anak Bimasena dan Arimbi. Kelak dia akan bernama Gatotkaca. Dikisahkan, Arimbi adalah seorang raksesi ( raksasa perempuan ) penghuni Pringgodani, kerajaan raksasa yang dipimpin oleh kakaknya Arimba. Jadi Gatotkaca adalah berdarah campuran antara manusia dan raksasa. Dan kelak Gatotkaca akan mewarisi kerajaan tersebut.

Ketika lahir bayi Gatotkaca mempunyai reputasi yang mengejutkan. Yakni tali pusarnya tidak mempan diiris oleh benda tajam apapun. Sehingga sang paman, Arjuna turun tangan untuk mengiris tali pusar itu dengan warangka ( sarung ) senjata Kunta. Sementara senjata Kunta sendiri ada di tangan Karna. Warangka Kunta sendiri akhirnya masuk dan melebur pada diri Gatotkaca. Pada saatnya nanti, Gatotkaca pun mati oleh senjata Kunta milik Karna. Kunta menemukan sarungnya ( warangka ).

Bayi Tetuka yang digodok di kawah Candradimuka secara ajaib langsung menjadi seorang pemuda yang gagah perkasa. Maka tugas dari para Dewa pun ditunaikan. Tetuka atau yang sekarang sudah berganti nama menjadi Gatotkaca bertarung dengan raksasa Sekipu. Segala kesaktian dikeluarkan untuk mengalahkan raksasa itu. Namun karena Gatotkaca juga mempunyai darah raksasa dengan secara sengaja dia mengeluarkan taringnya. Dan raksasa Sekipu pun roboh dan mati oleh gigitan Gatotkaca.

Melihat kejadian itu para Pandawa menjadi panik. Dalam keadaan terdesak ternyata Gatotkaca dapat merubah dirinya menjadi raksasa sebagai wujud aslinya. Kresna sebagai penasehat Pandawa akhirnya memutuskan untuk mengikis taring milik Gatotkaca sebagai tanda bahwa sifat-sifat raksasa pada diri ksatria itu harus dihilangkan. Dan Gatotkaca menjadi manusia namun masih terlihat sedikit taring yang keluar di mulutnya.

Dalam Mahabarata versi aslinya, pada hari kematiannya, ketika Kunta milik Karna menancap di perutnya, Gatotkaca meminta ijin kepada para Dewa untuk memperbesar dirinya. Agar tubuhnya yang sedang terbang di angkasa itu menjatuhi banyak tentara Kurawa. Dan Dewapun mengijinkannya.

Gatotkaca adalah sebuah cermin bahwa seorang dengan darah raksasapun bila mendapatkan sebuah pengasuhan yang benar akan memberikan baktinya kepada Negara. Gatotkaca di Indonesia merupakan simbol keperkasaan seorang pemuda yang berbakti kepada Negara.



Sumber bacaan :
2. Ensiklopedia Tokoh-tokoh Wayang dan Silsilahnya – Mahendra Sucipto.


Bogor 0311



CELOTEH

KSATRIA BERDARAH CAMPURAN  I :

B U R I S R A W A


Dikisahkan dalam Mahabarata, selain permusuhan keluarga Pandawa dan Korawa juga terdapat permusuhan dua keluarga yang lain yakni Somadatta dari bangsa Kuru dan Sini dari bangsa Wesni. Permusuhan itu dikarenakan mereka memperebutkan seorang perempuan bernama Dewaki.

Dalam Mahabarata versi Jawa, Somadatta adalah nama lain dari Prabu Salya. Prabu Salya beranak seorang raksasa yang bernama Burisrawa. Sementara Sini menurunkan Setyaki. Kedua ksatria ini bertemu dalam pertempuran besar di Kurusetra.

Perjalanan hidup Burisrawa sebelum mati di tangan Setyaki adalah tidak mudah. Nasib satria raksasa ini seburuk wajahnya. Dia “dibuang” oleh Bapaknya, Prabu Salya karena malu punya anak buruk rupa. Burisrawa mendapatkan wajah raksasa dari keturunan ibunya, Setyawati. Buriswara pun dipelihara oleh Kurawa yang dipimpin oleh Prabu Duryudana. Karena dipelihara oleh Kurawa maka sifat dan sikapnyapun tak jauh-jauh dari induk semangnya. Tapi pada dasarnya keluarga besarnyapun ketika terjadi perang besar memang memihak Kurawa.

Masih dalam Mahabarata versi Jawa, Burisrawa pernah dipermalukan oleh Sang Penengah Pandawa, Arjuna. Dia dikalahkan oleh Satria Flamboyan itu dalam sayembara memperebutkan Dewi Subadra. Meski Bapak Dewi Subadra, Prabu Baladewa, telah dipengaruhi oleh Duryudana, pengasuh Burisrawa, untuk mempersulit Arjuna dalam mendapatkan putrinya. Prabu Baladewa memberikan syarat-syarat yang rumit kepada Arjuna. Namun satria itu dapat melampaui syarat-syarat tersebut. Dan Arjuna berhasil mempersunting Dewi Subadra.

Kelicikan Burisrawa tercermin dalam sikapnya dalam sebuah pertempuran. Dia dan kawan-kawannya yang dipimpin oleh Jayadrata mengeroyok Abimanyu. Abimanyu adalah Putra Arjuna dan Dewi Subadra. Tercium aroma dendam yang kuat di sana.

Pada hari kematiannya, Burisrawa bertemu dengan musuh bebuyutannya, Setyaki. Permusuhan keluarga pun mencapai puncaknya. Tapi sesungguhnya Setyaki hampir saja terbunuh oleh Burisrawa kalau anak panah Arjuna tak berbicara. Kala itu Arjuna sedang melintas dalam pencariannya terhadap Jayadrata yang mengeroyok Abimanyu. Saat Burisrawa hendak mengayunkan pedangnya ke leher Setyaki yang sedang pingsan, sebuah anak panah Arjuna melesat, menebas putus tangan Burisrawa. Pada saat yang sama Setyaki tersadar dan segera menyusulkan gadanya ke kepala Burisrawa.

Burisrawa adalah cermin seorang anak buangan yang salah asuh. Di tengah percaturan politik dan kekuasaan, sang empunya wajah raksasa itu pun menemukan tabiat aslinya atas asuhan induk semangnya.



Sumber bacaan :
2. Ensiklopedi Tokoh-tokoh Wayang dan Silsilahnya – Mahendra Sutjipto


Bogor 0311




Selasa, 22 Maret 2011

CERPEN

MENIKAHLAH DENGANKU


Dari sejak pertama bertemu, aku sudah mengajaknya menikah. Karena aku memang sedang mencari istri bukan sekedar pacar. Telah kusampaikan padanya, rencanaku untuk punya anak tiga saja. Ini realistis saja. Dua terlalu sedikit. Kasihan kalau mereka bertengkar tak ada yang  menjadi penengah. Empat. Terlalu banyak mulut yang harus diurus. Tiga cukuplah.

Cita-citaku punya rumah tipe 45 juga kusampaikan padanya. Ini juga realistis saja, sebagai pekerja kelas menengah. Lagipula, tipe 45 kurasa cukup untuk menampung tiga anak yang kelak kami hasilkan. Aku juga ingin di depan rumah ada taman dan sebuah kolam kecil. Tempat anak-anak bermain nantinya.

Sementara tak usah punya mobil dulu. Toh di jalan sudah terlalu banyak angkutan umum. Kalaupun ada kesempatan membeli mobil sebaiknya uangnya ditabung atau didepositokan dulu, buat pendidikan anak-anak kelak. Beli mobil nanti saja kalau anak-anak sudah cukup besar.

Tapi apa jawabnya. Dia tak ingin menikah cepat-cepat. Katanya, dia ingin menyelesaikan kuliahnya, lalu bekerja. Tiga, empat tahun cukup, katanya. Sekedar membuktikan kalau kuliahpun ada hasilnya, yakni bekerja. Baginya, buat apa capek-capek kuliah kalau cuma berujung di pernikahan. Lalu kembali ke rumah.

Baik. Tak masalah.

Lalu kutawarkan padanya sebuah peluang untuk bekerja terus. Tidak tiga atau empat tahun, tapi selama dia mampu. Artinya, seperti kata orang, menjadi wanita karir. Juga kukatakan padanya, dia boleh melebihiku. Entah itu jabatan, juga tentunya penghasilan. Juga kupikir, sebuah rumah tangga dengan dua pilar penghasilan adalah lebih baik daripada hanya satu pilar. Yakni, kalau hanya aku yang bekerja.

Tidak, katanya. Dia tetap ingin kembali ke rumah. Mengurus anak, memasak untuk keluarga, melayani suami. Baginya, tak ada yang lebih mulia dari pekerjaan-pekerjaan seperti itu

Baik, lalu bagaimana dengan tawaranku. Menikah denganku, tanyaku kemudian.

Kenapa kau memilih aku. Kenapa kau mengajakku menikah.

Apakah aku salah ? Apakah ini berarti kau menolakku ?

Tidak. Kamu terlalu baik untukku. Kamu adalah laki-laki pertama yang berniat hendak menikahiku.

Baik. Menikahlah dengan aku. Kapanpun kamu mau.

Lama dia tak menjawab. Memainkan ujung tali kain yang melilit pinggangnya. Memandang ke dalam mataku lalu menunduk. Memainkan lagi ujung tali kainnya. Menghela nafas dan tersenyum.

Setujukah kamu dengan rencana-rencanaku tadi ?

Bagaimana kalau aku punya rencana lain ?

Boleh. Apa itu ?

Setelah selesai kuliah aku mau bekerja. Tiga atau empat tahun. Lalu aku menikah dan tinggal di pinggiran kota. Bukan di sebuah kompleks perumahan, tapi di desa.  Aku ingin punya rumah mungil dengan tanah pekarangan yang cukup untuk menanam satu pohon jambu, satu pohon cerme, satu pohon mengkudu dan sedikit lahan untuk aku tanam tanaman obat-obatan.

Aku ingin punya anak lima. Aku rasa pekarangan sebesar itu cukup menampung mereka bermain. Betapa meriahnya rumahku. Setiap kali yang kutemui adalah anak-anakku, dan juga suamiku. Aku akan selalu menyayangi mereka.

Aku tak ingin punya mobil. Bagiku, mobil adalah mainan laki-laki. Seseorang yang senang bermain akan lupa segalanya. Cukup sepeda saja. Setiap sore akan kuajak anak-anak satu persatu bersama suamiku keliling desa. Menikmati angin dan menyapa para tetangga.

Itu jauh bertentangan dengan rencana-rencanaku, kataku.

Apa boleh buat. Aku punya rencana. Aku juga punya cita-cita. Masihkah kau mau menikahiku ?

                                                                  *  

Kedua kalinya ketika kutawarkan dia menikah denganku, aku punya rencana lain. Kuturuti keinginannya menyelesaikan kuliah lalu bekerja. Tiga, empat tahun lalu kembali ke rumah  Lalu aku juga berhenti bekerja. Karena aku telah menabung dan mungkin juga tabungannya telah cukup untuk sebuah rumah kecil dan membuka sebuah usaha. Aku akan punya lahan yang cukup untuk mengembangan pembibitan tanaman hias di rumah. Betapa menyenangkan, hobiku menjadi sebuah usaha yang menghasilkan.

Rumahku akan juga jauh dipinggiran kota, supaya jauh dari polusi dan hiruk pikuk Aku juga akan punya pekarangan yang cukup besar untuk menampung satu pohon jambu, satu pohon cerme, satu pohon mengkudu dan lahan untuk tanaman obat-obatan. Karena aku punya usaha pembibitan tanaman hias maka aku harus punya mobil yang tak cukup satu. Mungkin dua atau tiga. Mobil kedua, ketiga pastilah mobil niaga. Akan kupekerjakan beberapa orang sekitar rumahku. Supaya memudahkan dari segi keamanan.

Dengan usahaku yang ada di rumah, aku bisa selalu ada di rumah. Selalu dekat dengan istri, anak-anakku. Aku selalu bisa memperhatikan dan bercanda dengan mereka.

Tapi aku terkejut dengan tanggapannya.

Masihkah kau berniat menikahiku sementara akupun sudah berubah rencana.

Baik, apa rencanamu ? Tanyaku.

Setelah kuliah S1ku selesai aku ingin meneruskan kuliahku ke S2. Lalu aku bekerja. Baru setelahnya aku menikah tapi terus bekerja. Aku ingin punya anak dua saja. Karenanya aku ingin tinggal di apartemen di tengah kota dengan fasilitas yang lengkap. Biar anak-anak menikmati kesenangannya.

Aku juga tak ingin punya mobil. Aku masih berprinsip, mobil adalah mainan laki-laki. Seseorang yang senang bermain akan lupa segalanya. Tinggal di tengah kota tentunya mudah menjangkau ke arah mana saja. Kendaraan umum pun jauh lebih banyak. Dengan fasilitas yang lengkap aku tak akan ingin bepergian jauh-jauh. Aku ingin selalu dekat dengan anak-anakku, dengan suamiku. 

Akankah kamu menjadi wanita pekerja ? Tanyaku.

Tergantung suamiku. Apakah dengan penghasilan suamiku cukup memenuhi segalanya. Kalau ya, aku cukup mencari pekerjaan paruh waktu. Jadi aku tak lama-lama meninggalkan rumah. Kalau masih kurang, ya bolehlah aku bekerja seperti wanita-wanita kota lainnya.

Menikahlah denganku, kataku.

Tunggu dulu, bukankah kita punya rencana dan cita-cita yang berbeda ?

                                                                      *

Ketiga kalinya aku ajak dia menikah, aku punya rencana baru. Kerena aku tiba-tiba mendapatkan promosi di kantorku. Naik jabatan dengan tunjangan membeli mobil pribadi. Aku berencana membeli sebuah flat di kompleks apartemen tengah kota. Lingkungannya cukup asri, ada kolam renangnya dan di sebelah kirinya ada sebuah pasar swalayan yang cukup besar. Di atasnya ada empat studio film dan tempat bermain anak-anak.

Aku setuju dengan anak dua saja. Betul katanya, tinggal di apartemen adalah tak mungkin punya banyak anak. Yang pasti dengan begitu, pendidikan dan lingkungan mereka akan sangat terjamin. Aku juga pasti bisa menyekolahkan mereka di sekolah swasta terbaik di kota.

Tapi aku tetap ingin punya mobil. Sebagai seorang yang punya kedudukan, sebuah mobil adalah seperti sebuah keharusan. Bagaimana menghadapi klienku bila aku tetap naik turun angkot dan bus-bus yang kumuh.

Aku sungguh terkejut dengan jawabannya. Dia tak ingin lagi menikah.

Kenapa ? tanyaku.

Haruskah aku menikah, tanyanya.

Tidak dengan orang lain, tapi denganku, aku memotong.

Tidak juga denganmu. Aku ingin sendiri.

Sampai kapan ?

Aku tak tahu. Kenapa aku harus menikah. Kenapa menikah denganmu. Kenapa pula aku harus mengikutimu. Tidakkah aku bisa hidup dengan rencana dan cita-citaku sendiri. Kenapa pula kamu mengikutiku. Bisakah kau hidup dengan rencana-rencanamu sendiri tanpa melibatkanku.

Jadi, kamu tak hendak menikah. Denganku ?



* ini versi yang sudah disunting
  versi awalnya ada di majalah Femina edisi Mei 2005



                                                                                                    

                                                                                                     Depok, 2005

* terima kasih untuk Mbak Arie Rachmawati yang sudah mengkliping Cerpen saya ini dan membaginya kepada saya. Sungguh, saya memang orang yang buruk dalam mendokumentasikan karya saya sendiri.

Minggu, 13 Maret 2011

PUISI

SENJA SUATU KAMPUNG

Maka mendesaklah masa-masa  lalu itu
Langkahi senja lalui lorong berdebu
Burung layang-layang menyambar-nyambar
Kelelawar mengumbar sonar
Serangga terbirit-birit mencari cahaya

Dan ketika panggilanmu menyerbu gendang telinga
Saat diri bertanya ada di mana
Tersadarku kan dinding sandaran nan beku
Berangkatkan hati bawa kerak menghitam
Patahkan jeruji penjara-penjara jiwa

Tawa-tawa bocah, kecipak suara air jatuh
Senyum para tetua, hilangkanku entah siapa
Terbang kan terbang bersama angin
Yang bertiup pelan menjemput malam
Puja puji semesta langlang waktu tak terhingga



Tangerang Selatan 0311

Jumat, 11 Maret 2011

PUISI


TAK KAN LAGI

Tak kan lagi bertanya ku
Kenapa Adam diturunkan ke dunia
Karena tahu ku kini
Hawa segera menyusulnya

Tak kan lagi bertanya ku
Kenapa Matahari memulai hari
Karena tahu ku kini
Purnama Candra segera tiba

Tak kan lagi bertanya ku
Kenapa dirimu ada
Karena tahu ku kini
Sang pemuja kan menjelma



Bogor 0311

Jumat, 04 Maret 2011

PUISI


SEMUT

Di kehidupan nanti
jadi semut pun aku mau
Asal tetap bisa bekerja merayapi
tubuh permai mu


Bogor 0311