CERPEN : Majalah Story 16/Th II/25 November2010
VANDA
Tok, Tok. Kuketuk pintu kamar bercat hijau tua yang tertempel nama VANDA. Papan nama yang terbuat dari styrofoam berwarna kuning. Kamar adikku. Dia sudah beberapa minggu ini mengurung di kamar. Hanya keluar untuk pergi ke sekolah. Kalau di rumah dia keluar sebentar hanya untuk keperluan-keperluan makan, minum, atau ke kamar mandi. Selanjutnya dia kembali lagi ke dalam dan mengunci pintunya.. Begitulah kelakuan adikku. Di antara kami bertiga, dia memang berbeda.
Kami tiga bersaudara, perempuan semua. Namaku Pilea. Aku di tengah kakakku, Valeria dan adikku, Vanda. Kakakku bekerja di sebuah kantor kontraktor bangunan dan kini hendak menikah. Aku kuliah semester empat jurusan akuntansi. Adikku masih sekolah di sebuah SMA favorit di kota ini. Orang tuaku keduanya bekerja.
Papa jarang ada di rumah karena dia ditugaskan di lepas pantai oleh sebuah perusahaan perminyakan tempatnya bekerja. Paling cepat dua bulan pulang hanya untuk beberapa hari di rumah. Tiga tahun lagi masa kerja itu selesai, katanya suatu hari. Saat kami makan malam bersama di sebuah restoran untuk memperingati hari ulang tahun kakakku. Setelahnya dia akan terus bertugas di kantor pusat, di kota ini.
Mama seorang kepala departemen SDM di sebuah pabrik minuman ringan. Berangkat pagi, pulang malam. Jadi, sampai saat ini, praktis sehari-hari hanya aku dan adikku yang paling sering ada di rumah. Dari kecil, entah usia berapa aku lupa, rumah kami tanpa pembantu rumah tangga. Jadi, apapun pekerjaan rumah tangga, kami kerjakan sendiri. Juga memasak. Valeria jagoannya.
Tentu saja ada perbedaan di antara kami bertiga. Tapi Vanda adalah pribadi yang paling tertutup. Dia pendiam dan jarang bercerita tentang apapun yang terjadi pada dirinya. Dan ini memang sudah kelihatan sejak kami masih sama-sama kanak-kanak. Dia lebih senang menyendiri. Dan dalam kesendirian itu ternyata dia mempunyai teman-teman. Kami sekeluarga menyebutnya sebagai teman imajinasi. Tapi beberapa orang yang kami kenal, menyebut bahwa Vanda berteman dengan mahluk gaib.
Kami menyebut begitu berdasar informasi seorang psikolog yang pernah orang tua kami datangi untuk berkonsultasi tentang perilaku Vanda. Psikolog itu mengatakan bahwa Vanda berkelakuan seperti itu boleh jadi karena kekurang perhatian kedua orang tua kami kepadanya. Dan tentu saja ini membuat keduanya, seperti pengakuan Papa, merasa sedih dan bersalah. Tapi mau bagaimana lagi. Mereka harus bekerja menghidupi keluarga.
Di masa kecil, usia sekitar 7 tahun, Vanda pernah sedikit bercerita padaku, juga pada kakakku, teman-temannya adalah sebuah keluarga dengan satu anak laki-laki. Keluarga itu tinggal di langit-langit rumah kami. Dia tak tahu nama kepala keluarga itu. Tapi dia tahu nama anak laki-lakinya. Yakni, Bun. Keluarga itu mempunyai seekor mahluk peliharaan yang mirip dengan seekor tikus raksasa namun berkepala seekor kuda. Seekor peliharaan yang katanya cukup jinak namun dapat juga tiba-tiba berubah menjadi galak.
Aku menertawakannya ketika itu. Sebab, sungguh, aku sulit membayangkannya. Dan ketika bayangan itu muncul, menurutku lucu sekali bentuknya. Kalau kuda bersayap atau tikus raksasa saja, aku masih dapat mengimajinasikannya seperti gambar di buku-buku dongeng. Namun ini seekor tikus raksasa tapi berkepala kuda...Hahaha. Dan ketika kukatakan ini kepadanya, Vanda yang langsung menatapku dengan mata penuh kemarahan. Kulihat wajahnya memerah. Dia berkata bahwa aku telah meremehkannya. Lalu dia mengancam bahwa dia akan meminta Bun menyuruh sang mahluk itu mendatangiku lewat mimpi-mimpiku. Tentu saja aku langsung ketakutan. Valeria menyuruhku langsung meminta maaf kepadanya. Kakakku sendiri juga takut ancaman Vanda juga bakal terwujud terhadap dirinya. Karena saat itu dia ikut tertawa.
Setelah peristiwa itu kami berdua setiap malam dihantui oleh ancaman Vanda. Setiap kali kami pula kami harus meminta Vanda agar hewan peliharaan keluarga itu tak mengganggu kami. Atau sekedar bertanya, bahwa hewan itu tak sedang mendatangi atau di sekitar kami. Tapi, meski Vanda sudah mengiyakan, tetap saja kami ketakutan. Karena perilaku Vanda memang sangat aneh. Dia bertingkah seolah keluarga imajinasinya itu memang benar-benar adanya. Dalam beberapa kesempatan dia tampak ngobrol dengan sesuatu yang tak terlihat. Tiba-tiba saja dan di saat apa saja. Beberapa kali kami, juga Mama, dihalang-halangi untuk tak berbuat sesuatu demi keberadaan keluarga tak nyata itu atau salah satu anggotanya.
Contohnya adalah beberapa kali ketika kami sedang makan malam bersama di rumah. Makan malam di mana sebuah kesempatan ketika Papa pulang, bertemu dan bercengkerama dengan anak-anaknya. Dia meminta satu kursi dikosongkan untuk sahabatnya. Bun. Anak dari keluarga imajinasinya itu turut bergabung dalam acara makan malam kami.
Suatu hari Mama memutuskan mengajaknya ke psikolog kenalannya. Dari sanalah kami memahami bahwa bisa saja Vanda berbuat seperti itu karena kesepian. Mulanya Mama menyanggah karena di rumah memang tak sepi. Ada aku, Valeria dan Mama. Tapi kata psikolog itu, tak berarti dalam keramaian orang tak kesepian. Mungkin ada sesuatu yang hendak dibicarakan namun terhambat entah oleh apa. Ah, aku tak mengerti penjelasan psikolog itu. Namun pada akhirnya kami bersyukur bahwa kata beliau perilaku Vanda dapat berubah seiring waktu ketika dia bertambah besar dan dewasa nanti.
Sejak itu kami menjadi maklum akan tingkah laku adikku. Aku bahkan tertarik untuk bertanya lebih jauh tentang keluarga imajinasinya. Misalnya apa pekerjaan orang tua Bun. Bertani, jawabnya. Ibunya di rumah saja. Merajut. Bun, seusianya tapi tak bersekolah. Makanya seringkali, Bun datang padanya untuk menanyakan ini dan itu. Tapi Vanda tetaplah Vanda. Tak hendak bercerita kalau tak ditanya.
Di usia sebelas tahun Vanda kehilangan keluarga imajinasi itu. Ini disebabkan Papa merombak rumah kami. Papa berpendapat bahwa kami, anak-anaknya, sudah mulai beranjak remaja dan layak untuk mendapatkan kamar masing-masing. Setelah berdiskusi untuk beberapa saat maka kami bersepakat untuk merubah bentuk rumah dengan menambah bangunannya menjadi bertingkat dua. Untuk sementara rumah ditingkat, kami mengontrak rumah yang tak jauh. Hanya berbeda dua gang jalan.
Selama proses pembangunan rumah kami, Vanda sedih. Katanya, keluarga Bun ikut kebingungan hendak pindah kemana. Kakakku bilang, ikut saja ke rumah kontrakkan. Tapi keluarga itu tak mau, katanya.
Hingga suatu malam selepas Isya, Vanda tiba-tiba berlari ke luar rumah sambil berteriak-teriak sambil menangis JANGAN PERGI....JANGAN PERGI....JANGAN PERGI. Dia berlari menuju rumah kami yang sedang dibangun. Kami bertiga mengejarnya. Tak pelak, ini menghebohkan tetangga-tetangga kami. Beberapa Bapak-bapak dan pemuda turut mengejar. Takut Vanda yang berlari di jalanan tertabrak kendaraan atau kejadian yang tak diinginkan lainnya.
Di depan gerbang rumah, dia menangis sejadi-jadinya. Tubuhnya terduduk di jalan aspal. Kepalanya mendongak, tangan kanannya menggapai-gapai ke atas. Seperti hendak menahan sesuatu yang hendak pergi terbang ke langit malam.
Mama mencoba menenangkan Vanda dengan memeluknya dari belakang. Diam-diam air matanya turut meleleh. Mungkin karena sedih dan merasah bersalah, sehingga membuat Vanda harus berteman dengan sesuatu yang tak tampak, tak nyata.
Malam itu menjadi malam yang menggetarkan bagi keluarga kami. Aku sendiri jadi ikut merasa bersalah karena tak dapat menjadi kakak yang baik. Juga kakakku, Valeria. Dan sejak saat itulah, banyak tetangga yang akhirnya tahu bahwa Vanda yang selama ini tertutup itu berteman dengan mahluk tak nyata. Maka beredarlah isu macam-macam tentang mahluk gaib penunggu rumah kami.
Setelah itu maka akupun jadi sering ditanya-tanya tentang Vanda. Juga tentang keluarga gaib yang tentu saja tak kuketahui itu. Kucoba jelaskan apa adanya. Namun sungguh, ini membuatku menjadi tak nyaman. Karena sempat terdengar pula olehku bahwa adikku ini gila. Bahkan terdapat selentingan kabar ada yang mengatakan bahwa keluarga kami memelihara mahluk gaib untuk pesugihan. Keluarga kami mencari kekayaan dengan memelihara mahluk gaib. Sungguh, sebuah fitnah yang keji.
Suatu hari beberapa bulan kemudian, aku sempat bertanya padanya, apa sesungguhnya kejadiannya sehingga dia menangis histeris saat itu. Katanya, Bun sebetulnya sudah berpamitan ketika kami berencana hendak membangun rumah itu. Keluarganya sudah tahu bahwa hal itu bakal terjadi. Dan mereka harus pindah karena tak dapat lagi tinggal di rumah kami. Kutanyakan, kenapa. Vanda juga tidak tahu. Menurutnya, memang mereka harus pindah rumah. Seperti kami, manusia yang juga terus berubah, mereka juga terus berubah.
Rumah yang sedang dibangun selesai sudah. Kini menjadi dua tingkat. Kamipun kembali ke rumah lama kami yang telah dirombak menjadi baru. Aku dan Kakakku mendapat jatah kamar sendiri-sendiri di atas. Sedang Vanda menempati kamar di bawah. Mulanya, dulu, kami di kamar yang cukup besar di mana kami tidur bertiga. Kini kami mempunyai kamar dan tempat tidur sendiri.
Mempunyai kamar sendiri-sendiri seperti ini membuat kami mempunyai privasi masing-masing. Tapi efek buruknya, kami jadi semakin jarang mengobrol. Sejak saat itu, Vanda benar-benar menjadi lebih pendiam dan lebih sering mengurung di kamar. Aku dan Kakakku sering mengetuk pintu kamarnya untuk mengajaknya bicara. Bicara apa saja. Agar tak membuatnya terus menerus kesepian. Agar dia tahu bahwa kami memperhatikan dan menyayanginya.
Namun Vanda tetaplah Vanda. Tak banyak juga yang dapat kami obrolkan dengannya. Ketika dia mulai masuk SMP, kami menggoda dia. Apakah di sekolahnya ada cowok yang diincarnya. Kami berharap dia mulai memperhatikan cowok-cowok. Semoga dengan begitu rasa kesepiannya pun menjadi berkurang. Seperti yang sudah diduga dia tak punya laki-laki incaran. Atau sesungguhnya punya tapi tak mau bicara. Entahlah. Tapi ada yang membuat kami terkejut. Mendadak Vanda selalu mendapat rangking pertama di kelasnya. Tak seperti ketika di SD dulu selalu menjadi yang terbawah. Bahkan dulu beberapa kali Mama dipanggil oleh Gurunya tentang prestasinya yang mengkhawatirkan. Bahkan dua kali hampir tak naik kelas. Karena pertimbangan dan kebijakan sekolah saja, Vanda dinaikkan. Mereka juga tahu apa yang sedang terjadi terhadap Vanda.
Kali itu berubah seratus delapan puluh derajat. Vanda selalu meraih rangking satu atau dua di tiap semester. Harusnya kami tak terkejut dengan perubahan ini. Memang kami lihat dia lebih rajin membaca buku-buku pelajarannya. Mungkin di kamarnya kini lebih leluasa belajar karena tak terganggu lagi oleh aku dan Valeria. Mungkin juga tanpa gangguan sahabat imajinasinya itu. Ini berlangsung terus hingga sekarang dia SMA. Bahkan ketika lulus SMP dulu dia mendapat total nilai ujian tertinggi kedua di sekolahnya. Sungguh sebuah prestasi yang membanggakan. Khusunya untuk Mama yang selalu tampak khawatir terhadap Vanda dan masa depannya namun tak tahu harus berbuat apa.
Tapi minggu-minggu ini dia lebih banyak mengurung di kamar. Tak terlihat lagi dia membaca buku di meja makan, di teras rumah, atau di depan TV. Siklus hariannya hanya kamar, kamar mandi, sekolah, meja makan, dapur dan kembali ke kamar. Kuperhatikan kelakuannya berubah seperti ini sejak Valeria dilamar oleh seorang laki-laki bernama Denny.
Ya. Dua bulan yang lalu, Valeria, kakakku dilamar oleh lak-laki teman kuliahnya dulu. Mereka sudah berpacaran selama tiga tahun. Dan kini Denny melamar untuk mengajaknya menikah sekitar delapan bulan ke depan. Kedua orang tua kami menerimanya. Tapi tampaknya tidak untuk Vanda.
Sejak mula Vanda tampak tak terlalu menyukai Denny. Setiap kali laki-laki itu datang ke rumah, Vanda selalu menghindari bertemu dengannya. Pernah aku memergoki Vanda melihat dengan tatapan tajam dan ketus dari balik kaca teras rumah ke ruang tamu. Di sana Denny sedang duduk sendiri menunggu Valeria. Ini kuceritakan kepada kakakku. Tapi dia tak terlalu menanggapinya.
Valeriapun mulai berubah kini. Sejak dilamar Denny dia tak terlalu lagi banyak ikut mengurus rumah. Juga semakin mengurangi perhatiannya terhadap Vanda. Sepertinya dia sudah mulai bersiap untuk keluar rumah dan membentuk rumah tangga sendiri, pikirku. Mungkin perubahan inilah yang membuat Vanda marah. Sebuah kecemburuan kecil.
Suatu hari sore yang basah oleh hujan sesiangan, di ruang TV tiba-tiba Vanda menghampiriku dan berkata dengan nada pelan, seperti biasa, “Pi, aku mau bicara.” Dia memanggilku begitu. Hanya Pi saja. Tanpa imbuhan Mbak atau Kak.
Aku menghentikan suapan pop corn ke dalam mulutku dan menengok ke arahnya, “Ya...ada apa ?”
“E...jangan sekarang deh. Nanti malam aja ya,” katanya lagi. Lalu dia berlalu masuk ke dalam kamarnya.
Dan saat ini adalah malam yang dijanjikannya itu. Tok, Tok, Tok. Kuketuk kembali pintu kamar bercat hijau bertuliskan VANDA itu. Terdengar di balik pintu suara kursi digeser. Beberapa detik kemudian suara anak kunci diputar di lubangnya. Lalu pintu dibuka. Vanda dengan memakai piyama biru ada di baliknya.
“Katanya mau bicara sama aku ?” Tanyaku.
Dia mengangguk. Rambutnya yang dikuncir dua bergoyang-goyang.
Aku masuk.
Dia menutup pintu kamarnya, menguncinya, seolah ini pembicaraan rahasia.
Aku duduk di ranjangnya. “Ada apa Van ?” tanyaku.
Dia menggeser kursinya yang berhadapan dengan meja belajarnya. Lalu mendudukinya. Menghadapku. “Serius Kak Val mau menikah sama cowok itu ?” Tanyanya kemudian.
“Sepertinya sembilan puluh persen sih iya. Kan sudah dilamar dan sudah ditentukan tanggal dan harinya. Tinggal persiapannya kan...kenapa ?”
“Aku tak mau mendahului kehendak Tuhan. Bisa nggak dibatalkan ?”
Aku terdiam. Entah kenapa tiba-tiba kulihat Vanda seperti berubah menjadi seorang perempuan yang jauh melebihi umurnya sekarang. Suaranya berbeda dan dia menjadi lebih tua. Dihadapanku seperti bukan adikku yang telah kukenal selama ini. Entah memang dia yang benar-benar berubah atau sekedar persepsiku saja. Tapi kini telah ada sesuatu yang seolah menguasai diri dan pandanganku. Yang duduk di hadapanku bukanlah adikku.
Aku mengerjap-ngerjapkan mata, berusaha menguasai diriku. Seolah terjadi pertempuran antara aku dan perasaaan yang lain di luar aku. Bulu kudukku meremang.
“Memang ada apa Van dengan pernikahan Kak Val ?” Tanyaku setelah cukup kuat untuk bangkit dari keterpakuanku. Itupun dengan suara yang terbata-bata.
“Kak Val telah ditutupi oleh sebuah energi gelap cowok itu,” katanya.
“Maksudmu ?”
“Dari awal aku melihat sesuatu yang buruk tentang cowok itu. Dia selalu diikuti oleh seorang mahluk kerdil yang jahat. Suruhan dari orang tuanya.”
“Lalu, apa yang terjadi kalau Kak Val jadi menikah denga Kak Denny ?”
“Aku takut keluarga kita akan cekcok terus dengan keluarga mereka. Energi keluarga kita bertabrakkan dengan energi keluarga mereka.”
Aku kembali terdiam. Pikiranku kembali ke masa-masa lalu di mana Vanda mempunyai sahabat imajinasi. Akankah hal itu kembali atau berkembang menjadi sesuatu yang lain. Ah, Vanda, adikku, kenapa kamu tak jadi gadis yang normal saja sih ?
Kini bukannya ketakutan yang menguasaiku namun rasa iba dan sedih yang ada. Kenapa keluargaku tak jadi keluarga yang normal saja seperti lainnya. Diam-diam aku mulai menyalahkan kedua orang tuaku. Kenapa mereka tak bekerja normal saja seperti orang lain. Bukan seorang Papa yang bekerja ke lepas pantai berlama-lama dan pulang menjenguk anak-anaknya cuma sebentar. Bukan seorang Mama yang keluar rumah ketika ayam jantan pertama berkokok dan pulang saat kami mulai mengantuk. Sehingga mereka bisa memperhatikan kami. Sehingga Vanda tak menjadi seperti ini. Sehingga..........
Tapi apa iya ?
Ah, aku seolah berdiri di atas tali kebimbangan. Tepi jurang di kiri dan di kanan yang entah berdasar apa.******
Bogor, 2010