TERPAKU
O tidak
Tak satupun keluar
Dari sebutir kepalaku
Untuk menjemputmu
O sajak
O tidak
Tak hendak bergerak
Dari sebatang tubuhku
Untuk meraihmu
O gejolak
O tidak
Tak sebaitpun berbunyi
Dari sebongkah lidah
Untuk memagutmu
O kekasih
Bogor 0909
SELAYANG BAYANG
SELAMAT DATANG
adalah ruang di mana ada kehidupan yang saling menghidupi. Mungkin ada puisi, mungkin ada cerita, mungkin ada renungan atau oleh-oleh kecil atas sebuah perjalanan, mungkin ada imaji, bahkan mungkin sekedar omelan belaka. Suka maupun tak, apabila berkenan, tinggalkan jejak kata.
Apapun, selamat menikmati. Semoga menjadi inspirasi.
Terima kasih telah berkunjung.
Jumat, 11 September 2009
Selasa, 08 September 2009
PUISI
SUDUT
Mencari celah menemuimu
di lautan dzikir ku tersudut
antara pusara-pusara penanda
bahwa esok segera
bergabung dalam samudra
putih pekat
Bogor 0909
Mencari celah menemuimu
di lautan dzikir ku tersudut
antara pusara-pusara penanda
bahwa esok segera
bergabung dalam samudra
putih pekat
Bogor 0909
PUISI
DIAM
Dalam setangkup tangan ruang mengembang dengan batas tak terhingga
Dan kau, pemiliknya, hanya duduk berdiam di tepi mengamati
Setiap sarang gemintang hidup dan mati
Bogor 0909
Dalam setangkup tangan ruang mengembang dengan batas tak terhingga
Dan kau, pemiliknya, hanya duduk berdiam di tepi mengamati
Setiap sarang gemintang hidup dan mati
Bogor 0909
Sabtu, 05 September 2009
CERPEN
GADIS PENJAGA KIOS TELEPON SELULER
Setiap kali lewat kios telepon seluler itu kepalaku selalu menengok ke kiri. Ada yang menyita perhatian di sana. Seorang gadis manis penjaga kios itu. Bermata bulat, rambut diekor kuda dan berbibir mungil. Nah ! betapa aku telah memperhatikannya. Bahkan hampir setiap detailnya.
Selewat dari kios itu selalu timbul perasaan, rasanya aku mengenal gadis itu. Tapi siapa dan di mana ? Dalam perjalanan selepas dari kios itu pernah aku bertarung dengan diriku sendiri. Ada sisi lain dari diriku yang berkata ; Ah, kau mulai cari-cari alasan saja. Sama saja kau dengan pemuda-pemuda yang lagi dimabuk cinta. Klise lah. Sok merasa pernah kenal di mana. Lalu suatu hari kau datangi kios itu. Kau tersenyum. Kau salami dia. Dan lalu berkata : Hai, rasanya pernah kenal. Tapi di mana ya ? Lalu gadis itu tersipu-sipu atas pertanyaanmu. Dan dengan sigap kau berondong dia dengan pertanyaan selanjutnya : Namanya siapa ? Boleh tahu nomor hpnya ? Kalau kau mendapat jawaban atas pertanyaan itu maka kau segera kembali bertanya : Jam berapa off ? Boleh aku antar pulang atau sebelumnya minum barang sebentar. Ah, kau.
Tidak, aku sungguh pernah mengenal wajah itu ; kata sisi diriku yang lain. Seseorang dari masa lalu. Tahukah kau bahwa dalam hidupku, sebelum aku menikah ini, aku pernah beberapa kali kehilangan perempuan yang dekat dengan hidupku. Bibiku, pacarku, dan satu perempuan yang diam-diam kucintai tapi kemudian dilamar orang.
Tapi lalu bagaimana ? Apakah kau akan segera mendekatinya, dan bertanya ; apakah kau dari masa laluku ? Hah ! Tak mungkin lah ! Kurasa kau cuma sedang jatuh cinta saja lalu mencari-cari alasan untuk mendekati dia.
Lalu kedua dirikupun menyatu menjadi diriku sendiri. Menyisakan pertanyaan besar, akankah suatu hari aku akan menghampiri lalu menyapanya ?
Suatu hari aku lewat lagi kios telepon seluler itu. Kepalaku menengok ke kiri. Gadis itu ada di sana dan tersenyum padaku. Dia memang mirip seseorang dari masa laluku, entah siapa.
Bogor 0909
Setiap kali lewat kios telepon seluler itu kepalaku selalu menengok ke kiri. Ada yang menyita perhatian di sana. Seorang gadis manis penjaga kios itu. Bermata bulat, rambut diekor kuda dan berbibir mungil. Nah ! betapa aku telah memperhatikannya. Bahkan hampir setiap detailnya.
Selewat dari kios itu selalu timbul perasaan, rasanya aku mengenal gadis itu. Tapi siapa dan di mana ? Dalam perjalanan selepas dari kios itu pernah aku bertarung dengan diriku sendiri. Ada sisi lain dari diriku yang berkata ; Ah, kau mulai cari-cari alasan saja. Sama saja kau dengan pemuda-pemuda yang lagi dimabuk cinta. Klise lah. Sok merasa pernah kenal di mana. Lalu suatu hari kau datangi kios itu. Kau tersenyum. Kau salami dia. Dan lalu berkata : Hai, rasanya pernah kenal. Tapi di mana ya ? Lalu gadis itu tersipu-sipu atas pertanyaanmu. Dan dengan sigap kau berondong dia dengan pertanyaan selanjutnya : Namanya siapa ? Boleh tahu nomor hpnya ? Kalau kau mendapat jawaban atas pertanyaan itu maka kau segera kembali bertanya : Jam berapa off ? Boleh aku antar pulang atau sebelumnya minum barang sebentar. Ah, kau.
Tidak, aku sungguh pernah mengenal wajah itu ; kata sisi diriku yang lain. Seseorang dari masa lalu. Tahukah kau bahwa dalam hidupku, sebelum aku menikah ini, aku pernah beberapa kali kehilangan perempuan yang dekat dengan hidupku. Bibiku, pacarku, dan satu perempuan yang diam-diam kucintai tapi kemudian dilamar orang.
Tapi lalu bagaimana ? Apakah kau akan segera mendekatinya, dan bertanya ; apakah kau dari masa laluku ? Hah ! Tak mungkin lah ! Kurasa kau cuma sedang jatuh cinta saja lalu mencari-cari alasan untuk mendekati dia.
Lalu kedua dirikupun menyatu menjadi diriku sendiri. Menyisakan pertanyaan besar, akankah suatu hari aku akan menghampiri lalu menyapanya ?
Suatu hari aku lewat lagi kios telepon seluler itu. Kepalaku menengok ke kiri. Gadis itu ada di sana dan tersenyum padaku. Dia memang mirip seseorang dari masa laluku, entah siapa.
Bogor 0909
Jumat, 04 September 2009
CELOTEH
TETANGGA OH TETANGGA
Hidup bertetangga itu susah susah mudah. Pengalaman saya hidup bertetangga selama ini membuktikannya. Pernah tinggal di sebuah pemukiman yang padat di kota besar. Di mana setiap pintu rumah berjarak sepelangkahan kaki membuat apapun yang dibicarakan bahkan dibisikan terdengar pula oleh tetangga sebelah. Sesuatu hal negatif yang sesungguhnya bukan kita sasarannya, telinga ikut panas dibuatnya. Jangan tanya kalau tetangga atau kita sendiri sedang memasak makanan. Seluruh kampung bisa kenyang atau lapar bersama dibuatnya. Namun hal positif yang didapat dari lingkungan seperti itu adalah kebersamaan yang dalam. Setiap warga dituntut untuk membuka hati lebar-lebar agar dapat menerima apapun dari tetangga. Saling menegur dan mengingatkan satu sama lain menjadi hal yang lumrah karena setiap kali dapat bertatap muka dan saling sapa.
Pernah pula tinggal di pemukiman teratur rapi, tepi jalan umum, di pinggiran kota. Di mana terdapat pagar-pagar tinggi membatasi satu sama lain. Hanya mengenal tetangga kiri kanan dan depan ( seberang jalan ) saja. Itupun karena keperluan yang sangat mendesak, yakni meminta ijin memasang sesuatu di rumah kita sehingga mengganggu atau menggunakan properti rumah depan atau sebelah. Selebihnya, mungkin hanya saling melempar senyum ketika membuka pintu pagar hendak mengeluarkan mobil. Enaknya dalam lingkungan seperti ini, kita mendapatkan privasi yang lebih besar daripada di pemukiman padat. Tak perlu panas kuping mendengar omongan tetangga karena memang sangat jarang yang didengar. Karena terhalang pandang, tak perlu panas hati bila tetangga membeli alat elektonik atau mebel baru. Namun rasa kebersamaan di pemukiman ini sangatlah kurang. Di sini berlaku prinsip, asal bayar iuran ( yang boleh jadi bernilai besar ), selesai semua urusan. Terima jadi aja deh.
Dinamika bertetangga juga unik. Cerita anak tetangga yang mencuri jambu atau mangga di halaman kita. Cerita parkir mobil yang menghalangi pintu. Hingga ke urusan-urusan yang lebih domestik ( rumah tangga ) dan sensitif. Hutang piutang, misalnya. Tak urung terjadi pergesekan antar tetangga. Juga cerita-cerita baik tentang kerjasama demi keamanan bersama. Saling membantu bila sedang tertimpa kesusahan. Bahkan saling menjaga – meski cuma melihat-lihat sepintas saja – rumah yang ditinggal penghuninya untuk waktu yang agak lama.
Dalam bertetangga memang sangat dibutuhkan sebuah kedewasaan berpikir. Bahwa bertetangga –terutama yang bakal menetap selamanya – akan terus menerus saling bersinggungan satu sama lain. Bahwa bertetangga akan selalu tampak muka dan tampak punggung. Betapa konyolnya apabila bahwa tetangga yang saling berhimpitan dinding selalu terdapat perasaan saling curiga satu sama lain. Hidup menjadi sangat tak nyaman, bukan.
Juga dalam bertetangga negara. Sangat tak nyaman bila keduanya saling mengganggu. Sangat tak nyaman memang bila anak-anak ( bangsanya ) nya berbuat kriminal di rumah orang lain. Mencuri dan mendaku properti tetangganya. Entah disengaja atau tidak. Bukankah setiap anak-anak bangsa juga mempunyai kecerdasan berpikir dan ketinggian budaya ? Lain soal lagi bila memang berniat menduduki rumah ( negara ) tetangganya. Ah, norak, kampungan dan mempermalukan diri sendiri, bukan ?
Dalam tabiat bertetangga, tak dapat dimungkiri, ada sedikit iri hati bila melihat tetangga membeli kulkas baru, meubel baru atau memperbesar rumahnya. Tetapi sekali lagi, mengganggu tetangga adalah sebuah perbuatan yang tercela. Apalagi sebagai tetangga sesama negara yang mayoritas muslim. Nabi Muhammad SAW telah memberikan contoh bagaimana memuliakan tetangga, bukan.
Bogor 0909
Hidup bertetangga itu susah susah mudah. Pengalaman saya hidup bertetangga selama ini membuktikannya. Pernah tinggal di sebuah pemukiman yang padat di kota besar. Di mana setiap pintu rumah berjarak sepelangkahan kaki membuat apapun yang dibicarakan bahkan dibisikan terdengar pula oleh tetangga sebelah. Sesuatu hal negatif yang sesungguhnya bukan kita sasarannya, telinga ikut panas dibuatnya. Jangan tanya kalau tetangga atau kita sendiri sedang memasak makanan. Seluruh kampung bisa kenyang atau lapar bersama dibuatnya. Namun hal positif yang didapat dari lingkungan seperti itu adalah kebersamaan yang dalam. Setiap warga dituntut untuk membuka hati lebar-lebar agar dapat menerima apapun dari tetangga. Saling menegur dan mengingatkan satu sama lain menjadi hal yang lumrah karena setiap kali dapat bertatap muka dan saling sapa.
Pernah pula tinggal di pemukiman teratur rapi, tepi jalan umum, di pinggiran kota. Di mana terdapat pagar-pagar tinggi membatasi satu sama lain. Hanya mengenal tetangga kiri kanan dan depan ( seberang jalan ) saja. Itupun karena keperluan yang sangat mendesak, yakni meminta ijin memasang sesuatu di rumah kita sehingga mengganggu atau menggunakan properti rumah depan atau sebelah. Selebihnya, mungkin hanya saling melempar senyum ketika membuka pintu pagar hendak mengeluarkan mobil. Enaknya dalam lingkungan seperti ini, kita mendapatkan privasi yang lebih besar daripada di pemukiman padat. Tak perlu panas kuping mendengar omongan tetangga karena memang sangat jarang yang didengar. Karena terhalang pandang, tak perlu panas hati bila tetangga membeli alat elektonik atau mebel baru. Namun rasa kebersamaan di pemukiman ini sangatlah kurang. Di sini berlaku prinsip, asal bayar iuran ( yang boleh jadi bernilai besar ), selesai semua urusan. Terima jadi aja deh.
Dinamika bertetangga juga unik. Cerita anak tetangga yang mencuri jambu atau mangga di halaman kita. Cerita parkir mobil yang menghalangi pintu. Hingga ke urusan-urusan yang lebih domestik ( rumah tangga ) dan sensitif. Hutang piutang, misalnya. Tak urung terjadi pergesekan antar tetangga. Juga cerita-cerita baik tentang kerjasama demi keamanan bersama. Saling membantu bila sedang tertimpa kesusahan. Bahkan saling menjaga – meski cuma melihat-lihat sepintas saja – rumah yang ditinggal penghuninya untuk waktu yang agak lama.
Dalam bertetangga memang sangat dibutuhkan sebuah kedewasaan berpikir. Bahwa bertetangga –terutama yang bakal menetap selamanya – akan terus menerus saling bersinggungan satu sama lain. Bahwa bertetangga akan selalu tampak muka dan tampak punggung. Betapa konyolnya apabila bahwa tetangga yang saling berhimpitan dinding selalu terdapat perasaan saling curiga satu sama lain. Hidup menjadi sangat tak nyaman, bukan.
Juga dalam bertetangga negara. Sangat tak nyaman bila keduanya saling mengganggu. Sangat tak nyaman memang bila anak-anak ( bangsanya ) nya berbuat kriminal di rumah orang lain. Mencuri dan mendaku properti tetangganya. Entah disengaja atau tidak. Bukankah setiap anak-anak bangsa juga mempunyai kecerdasan berpikir dan ketinggian budaya ? Lain soal lagi bila memang berniat menduduki rumah ( negara ) tetangganya. Ah, norak, kampungan dan mempermalukan diri sendiri, bukan ?
Dalam tabiat bertetangga, tak dapat dimungkiri, ada sedikit iri hati bila melihat tetangga membeli kulkas baru, meubel baru atau memperbesar rumahnya. Tetapi sekali lagi, mengganggu tetangga adalah sebuah perbuatan yang tercela. Apalagi sebagai tetangga sesama negara yang mayoritas muslim. Nabi Muhammad SAW telah memberikan contoh bagaimana memuliakan tetangga, bukan.
Bogor 0909
Kamis, 03 September 2009
PUISI
TANAH RAWAN
Berlantai srasah
Berdinding samudra
Bertiang gunung-gunung api
Beratap tajuk pepohonan
Negeri tanah rawan
Kita adalah
sebutir debu
yang telah dicatat
dan ditentukan
Bogor, 0909
Berlantai srasah
Berdinding samudra
Bertiang gunung-gunung api
Beratap tajuk pepohonan
Negeri tanah rawan
Kita adalah
sebutir debu
yang telah dicatat
dan ditentukan
Bogor, 0909
Langganan:
Postingan (Atom)