LAKI-LAKI MUDA DI RUANG TUNGGU
Tak seorangpun sadar bila langit luar ruang tunggu itu sedang mengancam kota kecil dengan badainya. Malam telah membungkusnya dengan rapi berpita lampu berpendar-pendar dari pusat-pusat pertokoan.
Orang-orang di ruang tunggu sedang menonton tv layar plasma. Sebuah sinetron yang telah rutin ditayangkan. Dengan cerita yang tak jelas juntrungannya. Berhias peletat-peletot wajah pemain dan pelototan mata bila marah atau terkejut. Yang tampak sama belaka.
Ah, ternyata ada juga tak menonton sinetron. Seorang laki-laki muda. Meski matanya menghadap layar plasma tapi pikirannya melayang pada ruang-ruang, entah yang mana, tempat istrinya sedang diperiksa oleh dokter kandungan. Mulutnya terus mengunyah apa saja yang tersimpan di tas plastik kreseknya. Sesekali dia menoleh pada dua perempuan yang duduk di kursi depan sebelah kirinya yang terus mengomentari cerita sinetron. Yang terdengar jelas di telinganya adalah ketika kedua perempuan itu berkata, bersahutan :
-. Rasakno koen !
-. Huuh, cik matek rak uwis !
Laki-laki itu tak mengerti apa yang diucapkan oleh kedua perempuan itu. Dia pikir itu pasti bahasa Jawa. Tiba-tiba dia menghentikan kunyahannya demi melihat ke luar kaca. Di sana angin sedang membabi buta.
Hatinya dirundung cemas. Pasti sebentar lagi mati lampu. Seperti hari-hari kemarin di kota ini. Lalu dia bertanya dalam hati, adakah rumah sakit ini mempunyai listrik cadangan.
* terjemahan :
-. Rasain kamu !
-. Huuh, biar mati sekalian !
Bogor 08-09
SELAYANG BAYANG
SELAMAT DATANG
adalah ruang di mana ada kehidupan yang saling menghidupi. Mungkin ada puisi, mungkin ada cerita, mungkin ada renungan atau oleh-oleh kecil atas sebuah perjalanan, mungkin ada imaji, bahkan mungkin sekedar omelan belaka. Suka maupun tak, apabila berkenan, tinggalkan jejak kata.
Apapun, selamat menikmati. Semoga menjadi inspirasi.
Terima kasih telah berkunjung.
Kamis, 26 Februari 2009
Jumat, 13 Februari 2009
PUISI
UNTUK KEKASIH SETIAKU
Kau selalu siap dengan
Tas punggungmu
Menungguku di persimpangan jalan
Dengan senyum purba
Yang tak pernah lekang
Dari bibir merahmu
Bila ku datang
Ku tak pernah menanyakan
Kabarmu
Ah, kau tak juga menanyakan
Kabarku
Seperti biasa kau langsung
Menyerahkan peta perjalanan itu
Padaku untuk ku pilih-pilih
Arah mana petualangan kita
Selanjutnya
Situasi yang terus berulang
Dan berulang dan kau
Tak pernah bosan melakukannya
Padahal kau tahu
Aku selalu mengingkarimu
Bogor 0209
Kau selalu siap dengan
Tas punggungmu
Menungguku di persimpangan jalan
Dengan senyum purba
Yang tak pernah lekang
Dari bibir merahmu
Bila ku datang
Ku tak pernah menanyakan
Kabarmu
Ah, kau tak juga menanyakan
Kabarku
Seperti biasa kau langsung
Menyerahkan peta perjalanan itu
Padaku untuk ku pilih-pilih
Arah mana petualangan kita
Selanjutnya
Situasi yang terus berulang
Dan berulang dan kau
Tak pernah bosan melakukannya
Padahal kau tahu
Aku selalu mengingkarimu
Bogor 0209
Selasa, 10 Februari 2009
CELOTEH
“Inilah kehidupan yang saya jalani. Dulu saya mengikuti para tetua. Berjalan melintas gurun. Berdagang dari desa ke desa. Kini sayalah pemimpin rombongan. Saya menikmatinya. Saya tak berpikir yang lain. Ada nggak sih, kehidupan yang lebih enak selain daripada seperti ini ?”
Itulah yang dikatakan oleh Al-Hasan, seorang pemimpin rombongan pedagang pengembara yang melintas Sahara. Dalam film dokumenter Last Chance Journeys : Sahara di National Geographic Channel. Al-Hasan berbicara seperti itu sambil setengah tertawa. Saya, penonton film dokumenter itu, merasa, Al-Hasan sedang menertawakan saya.
Akhir-akhir ini saya merasa kehidupan berjalan dengan cepat. Saya pernah berpikir ; dulu ketika masa kanak-kanak saya begitu ingin cepat dewasa. Merasakan hal-hal yang dilakukan oleh orang dewasa yang tampak bagi saya, saat itu, begitu bebas dan nikmat. Waktu, saat-saat itu, berjalan dengan lamban. Ingin cepat-cepat menjadi orang dewasa, rasanya. Kini ketika dewasa, saya sedang merasakan kebebasan dan kenikmatan itu. Tapi satu hal lain, saya merasa waktu berjalan lebih cepat.
Entahlah, mungkin saya saat ini sedang berpikir atau tepatnya ketakutan. Akan waktu-waktu yang selanjutnya saya jelang. Usia tua. Di mana, tak dapat dimungkiri, tua adalah identik dengan lamban, tak gagah lagi, kembali terkungkung dalam banyak keterbatasan. Utamanya keterbatasan fisik.
Saya bertanya, kenapa saya tak berpikir saja seperti Al-Hasan. “Ada nggak sih, kehidupan yang lebih enak selain daripada seperti ini.” Tapi saya kini menertawakan diri saya sendiri. Al-Hasan hidup di gurun. Perjalanan demi perjalanan yang beribu kilometer. Diterpa badai dan dinginnnya malam. Berjalan cepat di kala malam agar tak kehilangan bintang penanda yang bergeser. Meninggalkan ternak atau teman yang mati begitu saja di perjalanan. Ah, kehidupan saya tak segarang A-Hasan. Tapi laki-laki begitu tegarnya. Apalah saya ini.
Dalam rombongan Al-Hasan, ada seorang pemuda yang selalu diledek. Karena dia tak becus mengatasi kesulitan-kesulitan selama di perjalanan. Pemuda itu bercita-cita, kelak dia tak mau meneruskan cara hidup seperti itu. Dia akan menyetir mobil. Tapi pemuda itu ditertawakan, bagaimana hendak menyetir mobil kalau tak bisa menyetir dan tak ada mobil di gurun.
Dalam pandangan saya, betapa hidup itu begitu sederhana menurut Al-Hasan. Meski sepanjang perjalan hidupnya bertembung dengan keganasan alam dan kesulitan hidup. Namun begitu rumit bagi sang pemuda, kala dia bercita-cita setinggi langit.
Menjelang bagian akhir film dokumenter, Al-Hasan kembali ke desanya. Desa kecil di tengah-tengah luasnya gurun. Katanya, “kini saya pulang, saya berharap desa saya sedamai dulu ketika saya tinggalkan.”
Bogor, 0209
Itulah yang dikatakan oleh Al-Hasan, seorang pemimpin rombongan pedagang pengembara yang melintas Sahara. Dalam film dokumenter Last Chance Journeys : Sahara di National Geographic Channel. Al-Hasan berbicara seperti itu sambil setengah tertawa. Saya, penonton film dokumenter itu, merasa, Al-Hasan sedang menertawakan saya.
Akhir-akhir ini saya merasa kehidupan berjalan dengan cepat. Saya pernah berpikir ; dulu ketika masa kanak-kanak saya begitu ingin cepat dewasa. Merasakan hal-hal yang dilakukan oleh orang dewasa yang tampak bagi saya, saat itu, begitu bebas dan nikmat. Waktu, saat-saat itu, berjalan dengan lamban. Ingin cepat-cepat menjadi orang dewasa, rasanya. Kini ketika dewasa, saya sedang merasakan kebebasan dan kenikmatan itu. Tapi satu hal lain, saya merasa waktu berjalan lebih cepat.
Entahlah, mungkin saya saat ini sedang berpikir atau tepatnya ketakutan. Akan waktu-waktu yang selanjutnya saya jelang. Usia tua. Di mana, tak dapat dimungkiri, tua adalah identik dengan lamban, tak gagah lagi, kembali terkungkung dalam banyak keterbatasan. Utamanya keterbatasan fisik.
Saya bertanya, kenapa saya tak berpikir saja seperti Al-Hasan. “Ada nggak sih, kehidupan yang lebih enak selain daripada seperti ini.” Tapi saya kini menertawakan diri saya sendiri. Al-Hasan hidup di gurun. Perjalanan demi perjalanan yang beribu kilometer. Diterpa badai dan dinginnnya malam. Berjalan cepat di kala malam agar tak kehilangan bintang penanda yang bergeser. Meninggalkan ternak atau teman yang mati begitu saja di perjalanan. Ah, kehidupan saya tak segarang A-Hasan. Tapi laki-laki begitu tegarnya. Apalah saya ini.
Dalam rombongan Al-Hasan, ada seorang pemuda yang selalu diledek. Karena dia tak becus mengatasi kesulitan-kesulitan selama di perjalanan. Pemuda itu bercita-cita, kelak dia tak mau meneruskan cara hidup seperti itu. Dia akan menyetir mobil. Tapi pemuda itu ditertawakan, bagaimana hendak menyetir mobil kalau tak bisa menyetir dan tak ada mobil di gurun.
Dalam pandangan saya, betapa hidup itu begitu sederhana menurut Al-Hasan. Meski sepanjang perjalan hidupnya bertembung dengan keganasan alam dan kesulitan hidup. Namun begitu rumit bagi sang pemuda, kala dia bercita-cita setinggi langit.
Menjelang bagian akhir film dokumenter, Al-Hasan kembali ke desanya. Desa kecil di tengah-tengah luasnya gurun. Katanya, “kini saya pulang, saya berharap desa saya sedamai dulu ketika saya tinggalkan.”
Bogor, 0209
Selasa, 03 Februari 2009
PUISI
BERITA PAGI
( lagi dan lagi )
Berita pagi ini tentangmu lagi
Kabar kawan-kawanku
Yang kembali kau telan
Dalam rahasia kabut lipatan
Lekuk tubuh memancing birahi
Tahukah kau
Mereka sesungguhnya mencoba
Mengerti sesuatu yang tampak bagi mereka
Di kejauhan sebagai perempuan
Molek menggoda
Ah, Tidak
Kau tak menggoda
Mereka yang tergoda
Begitupun aku
Dulu
Betapa kini ku memahamimu
Sebagai sebuah penciptaan
Yang setiap saat
Kubelai dari kejauhan
Sambil terus memendam
Dendam penaklukan
Ah, kau tersenyum di sana
Beberapa hari yang lalu
Mimpi-mimpi buruk menyambangi
Ternyata itu kau
Memberi tanda akan sebuah
Kunjungan
Seharusnya ku tahu
Kau telah menyapaku
Bogor, 0209
( lagi dan lagi )
Berita pagi ini tentangmu lagi
Kabar kawan-kawanku
Yang kembali kau telan
Dalam rahasia kabut lipatan
Lekuk tubuh memancing birahi
Tahukah kau
Mereka sesungguhnya mencoba
Mengerti sesuatu yang tampak bagi mereka
Di kejauhan sebagai perempuan
Molek menggoda
Ah, Tidak
Kau tak menggoda
Mereka yang tergoda
Begitupun aku
Dulu
Betapa kini ku memahamimu
Sebagai sebuah penciptaan
Yang setiap saat
Kubelai dari kejauhan
Sambil terus memendam
Dendam penaklukan
Ah, kau tersenyum di sana
Beberapa hari yang lalu
Mimpi-mimpi buruk menyambangi
Ternyata itu kau
Memberi tanda akan sebuah
Kunjungan
Seharusnya ku tahu
Kau telah menyapaku
Bogor, 0209
Langganan:
Postingan (Atom)