( Setelah bongkar-bongkar naskah lama, ternyata saya juga menyimpan sebuah Cerita Anak tentang Puasa )
PUASA ANDI
E. Andantino
Puasa tahun ini adalah puasa ke tiga bagi Andi. Sejak dua tahun yang lalu dia sudah belajar berpuasa dengan penuh dari Subuh hingga Magrib. Tahun-tahun sebelumnya Andi hanya berpuasa hingga waktu Dzuhur tiba.
Sejujurnya, berpuasa baginya adalah sebuah pengalaman yang berat. Namun karena ini adalah kewajiban bagi seorang Muslim, maka dia harus menjalankannya.
Suatu hari Bapaknya pernah berkata, “Memang, berpuasa, tampaknya adalah sesuatu yang berat. Namun kelak kamu akan tahu manfaat kita diwajibkan berpuasa.”
Sampai sekarang Andi kelas VI, dia belum mengerti juga maksud ucapan dari Bapaknya. Baginya, puasa adalah sebuah kesusahan menjelang kegembiraan. Di mana umat Islam merayakan kemenangan berpuasa dengan baju baru dan makan makanan yang enak-enak di Idul Fitri. Saat ini, hanya itulah yang dia tunggu ketika bulan puasa menjelang.
Hari pertama berpuasa, dengan malas Andi bangun untuk makan sahur. Meski di meja makan ibu sudah menyediakan makanan yang tampak lezat, begitu susah Andi menimbulkan selera makannya. Saat itu menurutnya lebih baik meneruskan tidur. Tapi kalau tidur lagi dia akan mendapat malu dari adiknya, Rama. Anak laki-laki kelas II SD itu tampak gembira duduk di meja makan. Ya, Rama tampak bersemangat makan sahur. Tentu saja dia pasti juga sedang bersemangat berpuasa.
Andi jadi teringat saat pertama dia belajar berpuasa. Seperti Rama, diapun bersemangat berpuasa saat itu. Bapaknya menjanjikannya tambahan uang saku bila berhasil melaksanakan puasa hingga Magrib tiba. Begitu juga dengan Rama saat ini. Diapun dijanjikan mendapat tambahan uang saku itu.
Tapi bagi Andi kini lain. Orang tuanya tak menjajikan apa-apa padanya karena kini dia dianggap sudah cukup besar untuk menjalankan ibadah dengan tanpa iming-iming hadiah. Karena sekarang Andi harus tahu bahwa berpuasa adalah kewajiban yang tak boleh ditinggalkan oleh umat Muslim. Meski Andi tahu, lebaran nanti dia akan mendapat jatah baju baru pula.
Dengan malas dan mengantuk dia duduk di belakang meja makan. Sup ayam jagung hangat bikinan Ibu tak juga menerbitkan selera makannya. Ayam goreng yang baru turun dari penggorengan juga belum membuatnya bersemangat. Dia melihat saja tingkah laku adiknya yang dengan lahap menyantap makanan yang disediakan.
“Kamu nggak makan sahur, Di ?” Tegur ibunya demi melihat anak laki-laki sulungnya itu terpaku di belakang meja makan.
“Makanlah, Di. Makan sahur penting untuk tenagamu seharian nanti,” susul Bapak.
Dengan mata yang masih berat dia mengambil nasi dari wadahnya ke atas piring. Ibu membantunya mengambil sepotong dada ayam goreng. Meletakkan di atas nasinya. Andi mengucapkan terima kasih pada Ibunya.
*****
Hari-hari berpuasa, menurut perasaan Andi, berlalu dengan sangat lamban. Cuaca hari-hari yang panas membuat perasaannya semakin tertekan. Sementara ini yang selalu ditunggunya adalah waktu berbuka. Di mana dia bisa makan dan minum sesukanya. Tapi Bapak melarangnya untuk makan terlalu banyak. Sebab, kata Bapak, perut yang terlalu kenyang akan memperberat tugas lambung dalam mengolah makanan. Andi menurutinya meski dengan wajah cemberut.
Satu lagi yang ditunggunya adalah saat shalat Tarawih. Di Langgar, dia bertemu dengan kawan-kawannya. Setelah turun Tarawih bermain bersama di halaman Langgar. Di saat shalat Tarawih itu Andi mendengar dari ceramah Ustadz Rahim bahwa kegembiraan orang berpuasa adalah pada saat berbuka dan pada saat bertemu Tuhan di surga nanti. Benar, pikir Andi, kegembiraannya sekarang adalah saat berbuka. Tapi esok dia akan kembali bersusah payah menahan lapar dan haus.
Satu minggu menjelang Idul Fitri, Ibu mulai sibuk dengan persiapannya membuat kue-kue Lebaran. Pagi itu Ibu tampak di dapur. Mengeluarkan peralatan membuat kue yang lama tersimpan di dalam lemari. Tapi tiba-tiba wajah Ibu tampak kecewa. Peralatan mencetak kuenya telah rusak karena tertindih oleh peralatan memasak yang lain. Bapak menghibur Ibu dan berjanji akan membelikannya besok di Pasar Besar.
Esoknya, di hari Minggu, Bapak telah bersiap pergi ke Pasar Besar. Dia mengajak Andi pergi ke sana. “Sekalian sambil menunggu Magrib,” kata Bapak menghibur Andi. Tentu saja Andi sangat senang.
Dengan sepeda motor mereka ke Pasar Besar. Sebuah pasar di mana menjual bermacam-macam barang dan peralatan selain pasar sayur dan buah-buahan. Andi dan Bapak berkendara menembus terik cahaya matahari di langit cerah dan udara panas jalanan. Andi menikmati perjalanan itu sambil melihat-lihat ke tepi jalan. Melupakan terik matahari yang menyengat kulitnya.
Tapi tiba-tiba sepeda motor meliuk-liuk ke kiri dan ke kanan. Bapak tampak berusaha mengendalikannya agar tak jatuh, menabrak atau tertabrak kendaraan yang lain.
“Astaghfirullah....ban kita kempes Di,” kata Bapak sambil pelan-pelan meminggirkan sepeda motornya ke tepi jalan.
Dan benar. Ban belakang sepeda motor itu tampak kempis. Velgnya hampir menyentuh aspal.
“Ck..Ck...Pasti kena paku,” keluh Bapak. “Ayo cari tukang tambal ban...” kata Bapak.
Sejurus kemudian, mereka berjalan menyusuri bahu jalan. Bapak menuntun sepeda motor itu. Andi mengikutinya di belakang. Dalam hati, Andi menyesal juga ikut Bapak pergi ke pasar. Kini perasaannya kian tertekan oleh panas jalanan. Haus dan lapar kian terasa.
Andi melihat Bapaknya yang mulai bersimbah peluh menuntun sepeda motor. Tentu sangat berat bagi Bapak, pikirnya, menuntun sepeda motor yang berat itu di terik matahari di saat berpuasa seperti ini. Hati Andi tergerak membantu Bapaknya. Dia mulai ikut mendorong sepeda motor itu agar tugas Bapaknya menjadi lebih ringan. Bapak menengok ke belakang sebentar. Wajahnya tampak berkeringat dan lelah. Tapi Andi masih melihat semangat di senyumnya.
Setelah berjalan hampir sepuluh menit mereka menemukan seorang tukang tambal ban pinggir jalan. Bapak menyerahkan sepeda motor itu pada Pak Tua tukang tambal ban itu untuk ditambal. Dengan tekun Pak Tua mengerjakan ban belakang yang bocor itu.
“Bapak berpuasa ?” Tanya Bapak kepada Pak Tua.
“Alhamdulillah, saya berpuasa,” jawab Pak Tua.
Tiba-tiba Andi merasa kagum dengan Pak Tua itu. Di tengah lapar dan hausnya di panas jalanan, Pak Tua dengan tabah menjalankan pekerjaannya.
Ban selesai ditambal dan dipompa, sepeda motor kembali dapat dijalankan. Setelah Bapak memberikan ongkos yang diminta, mereka melanjutkan perjalanan menuju ke Pasar Besar.
*****
Saatnya hari terakhir berpuasa tiba. Esok seluruh umat Muslim akan merayakan kemenangan di hari yang Fitri. Malam ketika beduk ditabuh bertalu-talu dan takbir berkumandang di angkasa, Andi menemui Bapaknya yang sedang bersantai di teras.
“Pak, sekarang Andi tahu manfaat berpuasa bagi kita,” katanya pada Bapaknya.
“Apa itu ?”
“Kita dapat berlatih kesabaran dan keteguhan hati.”
Bapaknya tersenyum dan mengusap-usap kepalanya.
Bogor 0907