MENIKAHLAH DENGANKU
Dari sejak pertama bertemu, aku sudah mengajaknya menikah. Karena aku memang sedang mencari istri bukan sekedar pacar. Telah kusampaikan padanya, rencanaku untuk punya anak tiga saja. Ini realistis saja. Dua terlalu sedikit. Kasihan kalau mereka bertengkar tak ada yang menjadi penengah. Empat. Terlalu banyak mulut yang harus diurus. Tiga cukuplah.
Cita-citaku punya rumah tipe 45 juga kusampaikan padanya. Ini juga realistis saja, sebagai pekerja kelas menengah. Lagipula, tipe 45 kurasa cukup untuk menampung tiga anak yang kelak kami hasilkan. Aku juga ingin di depan rumah ada taman dan sebuah kolam kecil. Tempat anak-anak bermain nantinya.
Sementara tak usah punya mobil dulu. Toh di jalan sudah terlalu banyak angkutan umum. Kalaupun ada kesempatan membeli mobil sebaiknya uangnya ditabung atau didepositokan dulu, buat pendidikan anak-anak kelak. Beli mobil nanti saja kalau anak-anak sudah cukup besar.
Tapi apa jawabnya. Dia tak ingin menikah cepat-cepat. Katanya, dia ingin menyelesaikan kuliahnya, lalu bekerja. Tiga, empat tahun cukup, katanya. Sekedar membuktikan kalau kuliahpun ada hasilnya, yakni bekerja. Baginya, buat apa capek-capek kuliah kalau cuma berujung di pernikahan. Lalu kembali ke rumah.
Baik. Tak masalah.
Lalu kutawarkan padanya sebuah peluang untuk bekerja terus. Tidak tiga atau empat tahun, tapi selama dia mampu. Artinya, seperti kata orang, menjadi wanita karir. Juga kukatakan padanya, dia boleh melebihiku. Entah itu jabatan, juga tentunya penghasilan. Juga kupikir, sebuah rumah tangga dengan dua pilar penghasilan adalah lebih baik daripada hanya satu pilar. Yakni, kalau hanya aku yang bekerja.
Tidak, katanya. Dia tetap ingin kembali ke rumah. Mengurus anak, memasak untuk keluarga, melayani suami. Baginya, tak ada yang lebih mulia dari pekerjaan-pekerjaan seperti itu
Baik, lalu bagaimana dengan tawaranku. Menikah denganku, tanyaku kemudian.
Kenapa kau memilih aku. Kenapa kau mengajakku menikah.
Apakah aku salah ? Apakah ini berarti kau menolakku ?
Tidak. Kamu terlalu baik untukku. Kamu adalah laki-laki pertama yang berniat hendak menikahiku.
Baik. Menikahlah dengan aku. Kapanpun kamu mau.
Lama dia tak menjawab. Memainkan ujung tali kain yang melilit pinggangnya. Memandang ke dalam mataku lalu menunduk. Memainkan lagi ujung tali kainnya. Menghela nafas dan tersenyum.
Setujukah kamu dengan rencana-rencanaku tadi ?
Bagaimana kalau aku punya rencana lain ?
Boleh. Apa itu ?
Setelah selesai kuliah aku mau bekerja. Tiga atau empat tahun. Lalu aku menikah dan tinggal di pinggiran kota. Bukan di sebuah kompleks perumahan, tapi di desa. Aku ingin punya rumah mungil dengan tanah pekarangan yang cukup untuk menanam satu pohon jambu, satu pohon cerme, satu pohon mengkudu dan sedikit lahan untuk aku tanam tanaman obat-obatan.
Aku ingin punya anak lima. Aku rasa pekarangan sebesar itu cukup menampung mereka bermain. Betapa meriahnya rumahku. Setiap kali yang kutemui adalah anak-anakku, dan juga suamiku. Aku akan selalu menyayangi mereka.
Aku tak ingin punya mobil. Bagiku, mobil adalah mainan laki-laki. Seseorang yang senang bermain akan lupa segalanya. Cukup sepeda saja. Setiap sore akan kuajak anak-anak satu persatu bersama suamiku keliling desa. Menikmati angin dan menyapa para tetangga.
Itu jauh bertentangan dengan rencana-rencanaku, kataku.
Apa boleh buat. Aku punya rencana. Aku juga punya cita-cita. Masihkah kau mau menikahiku ?
*
Kedua kalinya ketika kutawarkan dia menikah denganku, aku punya rencana lain. Kuturuti keinginannya menyelesaikan kuliah lalu bekerja. Tiga, empat tahun lalu kembali ke rumah Lalu aku juga berhenti bekerja. Karena aku telah menabung dan mungkin juga tabungannya telah cukup untuk sebuah rumah kecil dan membuka sebuah usaha. Aku akan punya lahan yang cukup untuk mengembangan pembibitan tanaman hias di rumah. Betapa menyenangkan, hobiku menjadi sebuah usaha yang menghasilkan.
Rumahku akan juga jauh dipinggiran kota, supaya jauh dari polusi dan hiruk pikuk Aku juga akan punya pekarangan yang cukup besar untuk menampung satu pohon jambu, satu pohon cerme, satu pohon mengkudu dan lahan untuk tanaman obat-obatan. Karena aku punya usaha pembibitan tanaman hias maka aku harus punya mobil yang tak cukup satu. Mungkin dua atau tiga. Mobil kedua, ketiga pastilah mobil niaga. Akan kupekerjakan beberapa orang sekitar rumahku. Supaya memudahkan dari segi keamanan.
Dengan usahaku yang ada di rumah, aku bisa selalu ada di rumah. Selalu dekat dengan istri, anak-anakku. Aku selalu bisa memperhatikan dan bercanda dengan mereka.
Tapi aku terkejut dengan tanggapannya.
Masihkah kau berniat menikahiku sementara akupun sudah berubah rencana.
Baik, apa rencanamu ? Tanyaku.
Setelah kuliah S1ku selesai aku ingin meneruskan kuliahku ke S2. Lalu aku bekerja. Baru setelahnya aku menikah tapi terus bekerja. Aku ingin punya anak dua saja. Karenanya aku ingin tinggal di apartemen di tengah kota dengan fasilitas yang lengkap. Biar anak-anak menikmati kesenangannya.
Aku juga tak ingin punya mobil. Aku masih berprinsip, mobil adalah mainan laki-laki. Seseorang yang senang bermain akan lupa segalanya. Tinggal di tengah kota tentunya mudah menjangkau ke arah mana saja. Kendaraan umum pun jauh lebih banyak. Dengan fasilitas yang lengkap aku tak akan ingin bepergian jauh-jauh. Aku ingin selalu dekat dengan anak-anakku, dengan suamiku.
Akankah kamu menjadi wanita pekerja ? Tanyaku.
Tergantung suamiku. Apakah dengan penghasilan suamiku cukup memenuhi segalanya. Kalau ya, aku cukup mencari pekerjaan paruh waktu. Jadi aku tak lama-lama meninggalkan rumah. Kalau masih kurang, ya bolehlah aku bekerja seperti wanita-wanita kota lainnya.
Menikahlah denganku, kataku.
Tunggu dulu, bukankah kita punya rencana dan cita-cita yang berbeda ?
*
Ketiga kalinya aku ajak dia menikah, aku punya rencana baru. Kerena aku tiba-tiba mendapatkan promosi di kantorku. Naik jabatan dengan tunjangan membeli mobil pribadi. Aku berencana membeli sebuah flat di kompleks apartemen tengah kota. Lingkungannya cukup asri, ada kolam renangnya dan di sebelah kirinya ada sebuah pasar swalayan yang cukup besar. Di atasnya ada empat studio film dan tempat bermain anak-anak.
Aku setuju dengan anak dua saja. Betul katanya, tinggal di apartemen adalah tak mungkin punya banyak anak. Yang pasti dengan begitu, pendidikan dan lingkungan mereka akan sangat terjamin. Aku juga pasti bisa menyekolahkan mereka di sekolah swasta terbaik di kota.
Tapi aku tetap ingin punya mobil. Sebagai seorang yang punya kedudukan, sebuah mobil adalah seperti sebuah keharusan. Bagaimana menghadapi klienku bila aku tetap naik turun angkot dan bus-bus yang kumuh.
Aku sungguh terkejut dengan jawabannya. Dia tak ingin lagi menikah.
Kenapa ? tanyaku.
Haruskah aku menikah, tanyanya.
Tidak dengan orang lain, tapi denganku, aku memotong.
Tidak juga denganmu. Aku ingin sendiri.
Sampai kapan ?
Aku tak tahu. Kenapa aku harus menikah. Kenapa menikah denganmu. Kenapa pula aku harus mengikutimu. Tidakkah aku bisa hidup dengan rencana dan cita-citaku sendiri. Kenapa pula kamu mengikutiku. Bisakah kau hidup dengan rencana-rencanamu sendiri tanpa melibatkanku.
Jadi, kamu tak hendak menikah. Denganku ?
* ini versi yang sudah disunting
versi awalnya ada di majalah Femina edisi Mei 2005
Depok, 2005
* terima kasih untuk Mbak Arie Rachmawati yang sudah mengkliping Cerpen saya ini dan membaginya kepada saya. Sungguh, saya memang orang yang buruk dalam mendokumentasikan karya saya sendiri.