SELAYANG BAYANG

SELAMAT DATANG

adalah ruang di mana ada kehidupan yang saling menghidupi. Mungkin ada puisi, mungkin ada cerita, mungkin ada renungan atau oleh-oleh kecil atas sebuah perjalanan, mungkin ada imaji, bahkan mungkin sekedar omelan belaka. Suka maupun tak, apabila berkenan, tinggalkan jejak kata.
Apapun, selamat menikmati. Semoga menjadi inspirasi.
Terima kasih telah berkunjung.

Jumat, 29 Oktober 2010

CELOTEH


MEMAHAMI MBAH MARIDJAN, MEMAHAMI JAWA

Saya belum pernah ke Gunung Merapi, saya belum pernah bertemu dengan Mbah Maridjan. Namun saya turut bersedih atas gugurnya beliau di medan tugas. Dan saya meghormati keyakinan beliau untuk tidak meninggalkan posnya ketika “wedhus gembel” berduyun-duyun turun menyapu Kinahrejo dan menjemput kematiannya.

Banyak dari kita yang tak memahami cara berpikir Mbah Maridjan, kenapa ketika dalam kondisi super gawat seperti itu memilih untuk tinggal di rumahnya. Bahkan ada yang menyalahkan bahwa karena ulah beliau, korban banyak berjatuhan. Di antaranya adalah seorang wartawan dan belasan sukarelawan.

Saya seorang suku Jawa ( Timur ), yang dibesarkan dengan budaya wayang kulit yang mencoba mencari refleksi kehidupan sehari-hari dengan cerita-cerita wayang tersebut. Saya juga dibesarkan oleh budaya menghormati alam yang dicerminkan dengan penghormatan kepada Ingkang Mbahurekso ( sosok penguasa gaib ) sehingga mereka bisa diajak berkomunikasi

Dalam perspektif wayang ( versi jawa ) kulit, yang saya pahami, tak ada manusia yang sempurna. Setiap tokoh mempunyai kelemahan. Namun setiap tokoh mempunyai alasan untuk perbuatannya. Ambil contoh Karna. Karna sesungguhnya adalah keluarga Pandawa. Namun karena sejak kecil dia dirawat dan dibesarkan oleh keluarga Kurawa, maka ketika Bharatayudha berlangsung dia melawan Arjuna di medan laga. Saya mengibaratkan Mbah Maridjan seperti Karna.

Mbah Maridjan diangkat sebagi juru kunci oleh Sri Sultan Hamengkubuwono IX dengan gelar Mas Panewu Soeraksohargo. Sebagai abdi dalem Keraton Yogyakarta yang mengurus segala upacara terkait dengan Gunung Merapi. Tentu dalam hal ini Keraton tak sembarangan mengangkat orang. Dalam budaya Jawa, di mana seseorang tertentu dapat berkomunikasi dengan dunia gaib, Mbah Maridjan diangkat juga dalam kapasitas ini. Contoh dari pemahamannya adalah kalimatnya yang dikutip berkali-kali oleh media : “Merapi itu jangan dikatakan sebagai meletus ( njebluk ), Merapi itu sedang membangun ( mbangun ).”

Sosok Mbah Maridjan yang akhirnya saya pahami adalah seorang abdi dalem yang setia dan bahkan cenderung keras kepala. Betapa dia tak menggubris perintah Sri Sultan Hamenkubuwono X untuk turun ketika Merapi memasuki fase Awas. Saya sendiri tak tahu, kekeras kepalaannya itu karena beliau hanya setia kepada yang mengangkatnya, yakni Sri Sultan Hamengkubuwono ke IX yang adalah bapak dari Sri Sultan Hamengkubuwono X, seperti keras kepala Karna untuk berpihak kepada Kurawa atau kesetiannya untuk selalu menjaga Merapi, berkomunikasi dengan Ingkang Mbahurekso Merapi agar tak “mengamuk” lebih hebat. Meski nyawanya sebagai taruhannya.

Begitulah sosok Mbah Maridjan yang saya pahami atas dasar budaya yang sama. Sulit kiranya bagi orang lain di jaman modern ini untuk bisa memahami jalan pikir beliau. Begitu pula saya yang masih meraba-raba. Namun di setiap peristiwa saya yakin ada hikmah dan pelajarannya. Kecuali kita menutup diri untuk tak mau mempelajari dan memahami dari banyak sisi, apa dan bagaimana bisa terjadi.

Terakhir, “sugeng tindak” Mbah. Semoga kami semua mendapat pelajaran berharga dari pengalaman dan kisah-kisahmu.



Bogor 1010.

Senin, 25 Oktober 2010

PUISI


JADI, APA YANG KAU BACA, JAKARTA

Jadi, apa yang kau baca, Jakarta

Seribu bayangan kaca
Sudah kau pantulkan
Bahkan air matapun kau pinta
Datang tuk membuka luka
Yang tlah membusuk sekian lama

Jadi, apa yang kau baca, Jakarta



BOGOR 1010

Selasa, 19 Oktober 2010

PUISI

KEPADA SEBUAH PINTU


Akhirnya kini kau menutup kembali
Seperti belasan tahun yang lalu
Ketika kau mulai mengunci dirimu
Tapi terimakasih
Kau sempatkan aku menengok ke dalam
Ketika dirimu terbuka beberapa saat
Hingga ku dapat melihat
Apa saja yang ada di seberang sana
Juga sebuah bibit pohon yang pernah kutanam
Tetap menghijau meski tak terlalu subur

Ah, dia yang di seberang sana
Berdiri di balik kabut
Mungkin juga telah melihatku
Dan bunga-bunganya masih kurawat
Meski kadang musim menghempaskannya
Namun dia adalah benih yang kuat

Entah kelak
Kau akan membuka kembali
Atau menutup selamanya
Aku akan tetap menandai
Bahwa kau hanyalah sebuah pintu
Di mana aku tak dapat menyeberang
Ke sisi sebaliknya



Bogor, 1010

Jumat, 01 Oktober 2010

CELOTEH


PANCASILA ADALAH HARGA MATI !

Hari-hari terakhir ini kita dibuat tercenung oleh berbagai peristiwa kekerasan. Betapa anak bangsa ini begitu mudahnya terbawa anarkhi. Ruang-ruang sosial kita tercabik-cabik oleh letusan senjata api, tebasan parang, ledakan bom Molotov dan sebagainya. Adalah menjadi sebuah pertanyaan besar, ke mana keramah tamahan bangsa Indonesia yang sudah terkenal ke seluruh penjuru dunia selama ini ? Atau label tersebut hanya isapan jempol atau bahkan nina bobo belaka ?

Lepas dari berbagai peristiwa yang secara mencolok mata disebarkan oleh media masa tersebut. Mari coba kita amati peristiwa sehari-hari dalam tingkah laku manusia Indonesia dalam berlalu lintas. Seorang supir angkot dengan santainya memotong sebuah kendaraan yang disalipnya dan kemudian tiba-tiba berhenti. Ketika ditegur dia menjawab “lho, ini kan angkot pak”. Lalu ada sebuah kisah iring-iringan sepeda motor yang dengan sengaja mengambil jalur kanan yang ujung-ujungnya menyumbat lalu-lintas yang berlawanan. Dan ketika ditegur, jawabnya “memang kenapa ? gak boleh ?” Lalu ada sebuah mobil pribadi di sebuah lampu merah sibuk mengklakson kendaraan di depannya demi melihat lintasan di depannya sudah sepi. Padahal lampu masih menyala merah.

Contoh peristiwa sehari-hari di atas boleh jadi adalah salah satu embrio dari peristiwa-peristiwa besar yang kemudian terjadi. Kenapa ? Karena sikap itu adalah salah satu cerminan sikap manusia Indonesia saat ini, jangankan taat pada hukum tapi sudah tak lagi peduli akan sesamanya. Semuanya seperti hendak berjalan sendiri-sendiri menuruti egonya masing-masing. Tentu saja disinilah kemudian akan terjadi pergesekan-pergesekan antar anak bangsa.

Belum lagi setiap hari kita dipertontonkan kepada tingkah laku para politisi, pejabat publik yang harusnya menjadi panutan malah menginjak-injak rasa keadilan kita

Bangsa ini, seperti sejak awal diproklamirkan, sudah bersepakat mempunyai sebuah ideologi yang khas. Khas karena digali dari keberagaman suku budaya dan agama yang ada di Nusantara. Bukan ideology salah satu diantaranya atau bahkan ideology mayoritas sekalipun. Semuanya ditampung untuk rasa kebersamaan sebuah bangsa yang utuh. Bangsa Indonesia. Dan Ideologi itu adalah PANCASILA. Dengan BHINNEKA TUNGGAL IKA sebagai semboyannya.

Yang kini menjadi pertanyaan, masih setiakah kita dengan ideology yang kita cintai ini ? Atau kita hendak memaksakan ego dan kehendak kelompok, atau bahkan sekedar individu kepada yang lain ?


Bogor, 1010