SELAYANG BAYANG

SELAMAT DATANG

adalah ruang di mana ada kehidupan yang saling menghidupi. Mungkin ada puisi, mungkin ada cerita, mungkin ada renungan atau oleh-oleh kecil atas sebuah perjalanan, mungkin ada imaji, bahkan mungkin sekedar omelan belaka. Suka maupun tak, apabila berkenan, tinggalkan jejak kata.
Apapun, selamat menikmati. Semoga menjadi inspirasi.
Terima kasih telah berkunjung.

Rabu, 30 Januari 2008

PUISI

APA KATA

Apa kata tanah

Kutumbuhkan ini untukmu

Apa kata angin

Kutiup dari tujuh samudra

Apa kata api

Kubakar dengan energi panasku

Apa kata air

Kusiram untuk kesegaran jiwa

Apa kata manusia

Kuterima ini untukku

Apa kata raga

Kukembangkan lalu kubentuk

Apa kata akal

Kuolah dengan cahyaMu

Apa kata ruh

Kurayu untuk kukembalikan


Lenteng Agung 1292

Senin, 21 Januari 2008

CERPEN

……PERTEMPURAN BAYANG-BAYANG

membalas dengan sebuah loncatan cepat. Menyerangku dengan cakarnya. Mendekap dan melipat-lipat tubuhku. Jemari tangannya menghunjam punggungku. Ganti aku mengerang. Kepalaku terdongak ke langit yang hampir tertutup tajuk pohon-pohon hutan. Aku mencari matahari, mencari udara segar.

“Kau memang tak cukup berpengalaman tampaknya,” katanya. Aku terdiam. Sesungguhnya aku malu. Malu karena berani menantangnya untuk beradu.

Tapi sudahlah. Dia kini ada di depanku. Apapun awalnya aku harus bisa mengalahkannya. Lalu membunuhnya ? Tidak. Sebaiknya setelah ini ada pertempuran lain. Sehingga aku bisa mempelajari ilmunya sebelum aku benar-benar mengalahkannya.. Membunuhnya. Tidak. Dia tak boleh mati. Lagipula, belum tentu kali ini aku bisa mengalahkannya.

Tiba-tiba dia kembali menyerangku. Sebuah pukulan beruntun menimpa dadaku. Sesak rasanya. Aku hampir tak bisa bernafas. Demi mempertahankan udara di paru-paruku, aku menghisap kuat-kuat, agar oksigen terus berhambur ke dalam dadaku. Lalu dalam jarak dekat sikuku kuhantamkam pada lehernya. Dia berhasil mengelak ke samping dan tersenyum. “Kau cukup bergairah sayang,” katanya menggoda. Lalu dia membuka kedua kakinya, mengeluarkan jurus supit udang. Dua kaki itu secepat kilat menuju ke arah pinggangku. Menjepit dan membanting tubuhku di sebuah batu besar di tepi sungai kecil. Kepalaku tenggelam ke dalam air. Sementara sebagian besar tubuhku tergolek di sebuah batu hitam pipih besar. Kedua kakinya masih menjepit pinggangku.

Sekuat tenaga aku keluar dari himpitan itu. Tapi jepitan itu semakin menguat. Aku mencari akal. Kutepuk air dekat kepalaku. Butiran air yang naik ke udara kugunakan untuk menampar mukanya. Dia gelagapan. Dan saat jepitannya mengendur, kuangkat tubuhku dan tubuhnya bersama-sama hingga batu-batu kecil ikut berhamburan. Karena kehilangan keseimbangan, diapun melepaskan jepitan di pinggangku. Lalu meloncat ke sungai yang kedalaman airnya cuma sebetis. Melihat dia sibuk menyeimbangkan tubuhnya, segera kususul dengan sebuah serangan ke arah perutnya. Tak bisa menghindar, tubuhnyapun terdorong oleh tenagaku. Mulutnya mengeluarkan jeritan kecil. Tubuhnya jatuh seperti pohon tumbang, terlentang di air. Percikannya sempat menjamah wajahku.

Setelah kuseka mukaku, aku tak melihat tubuhnya di tempat dia jatuh tadi. Tiba-tiba sebuah serangan dari belakang mencengkeram dan menarik rambutku. Tanpa bisa melawan, aku ditarik mengikutinya. Aku dibawanya terbang menyusuri sungai kecil itu. Berkelok-kelok di kedalam lembah. Semakin ke dalam udara semakin dingin. Aku merasakannya di seluruh kulitku. Kupicingkan mata, matahari tak lagi dapat dilihat dari sini. Apalagi berharap sinarnya hinggap di tanah. Aku hanya melihat larik-larik sinar hijau yang terpantul di daun-daun pakis. Diredam dinding jurang berlumut.

Dia masih mencengkeram rambutku sambil terus melompat dari batu ke batu yang jaraknya berjauhan. Kudengar tawa kecilnya di sela suara air menderu yang kian lama kian jelas. Aku dibawanya ke sebuah air terjun.

Aku sendiri tetap tak bisa melawan. Tubuhku berpilin-pilin. Setiap kali aku mencoba menjejakkan kaki di sebuah batu, dia segera menghentakkan tarikannya. Tubuhku kembali melayang. Dengan sebuah putaran yang sangat keras, tubuhku dihantamkan pada dinding dalam air terjun. Aku kembali mengerang. Terduduk lunglai aku di bawah hantaman air yang terus menerus menimpa punggungku. Di sana, perlahan aku mengumpulkan tenaga. Ini perkelahian panjang, pikirku. Aku masih punya cukup tenaga untuk terus berkelahi sambil terus mengasah kemampuanku dan mempelajari jurus-jurusnya. Dari balik air, kulihat bayang-bayangnya berdiri di atas pokok kayu mati yang tumbang di sisi kolam air terjun.

Dengan sebuah pijakan kuat di dinding dalam air terjun, aku melompat keluar menyerangnya. Seranganku itu rupanya telah ditunggu olehnya. Dengan sedikit kelitan, dia bisa menghindar dari pukulanku. Tanganku menemui ruang kosong. Tapi, sesungguhnya ini sebuah serangan yang terencana. Begitu aku gagal, langsung kususul dengan pukulan berbalik arah yang dengan telak menimpa dadanya. Mulutnya memekik kecil. Tanpa berpikir panjang, demi untuk mengalahkannya, aku segera menubruknya dengan seluruh tubuh dan tenagaku. Dia terjengkang di pasir hitam tepian kolam. Tubuhnya menggeliat.

Tak sabar aku segera memburunya lagi. Sebuah rangkaian serangan beruntun kutimpakan kepadanya. Seperti tak hendak melawan atau sekedar mengelak, dia terima saja semua seranganku. Tubuhnya hanya bereaksi kecil atas setiap serangan-seranganku. Wajahnya tampak tetap segar meski peluhnya sudah bercampur dengan air dingin pengunungan ini. Sesekali mulut mungilnya tersenyum. Atau terpekik bila sebuah seranganku tiba-tiba agak lebih bertenaga.

Entah sebuah tenaga besar dari mana, tiba-tiba menyuruhku untuk segera menuntaskan perkelahian ini. Mungkin karena melihat musuhku sudah tak berdaya dan aku berada di atas angin. Tenaga itu begitu besarnya hingga aku sendiri tak dapat menguasainya. Lepas begitu saja dan mengantam keras ke tubuhnya. Dia kembali terpekik. Lalu kurasakan angin dingin bercampur butir-butir embun menyelimuti tubuhku. Tuntas sudah perkelahian pertama kami hari itu.

Kubiarkan tubuhnya tergolek di pasir hitam tepian kolam. Sementara aku duduk di pokok pohon mati di tepi kolam tempat dia tadi berdiri.

Kami masih bertempur lagi di hari-hari selanjutnya. Mungkin karena kami sudah pernah saling bertemu, jadi kami sudah bisa membaca setiap serangan yang datang. Perkelahian kami tak lagi seperti yang pertama. Pertempuran selanjutnya mulai terkontrol dan lebih bervariasi. Meski kadang-kadang agak kasar dan brutal terdorong emosi atau kesalahan mengantispasi serangan lawan.

Pada suatu akhir pertempuran tangan kosong yang panjang, aku berkata padanya “Bagaimana kalau setelah ini kita gunakan senjata. Aku rasa untuk tangan kosong, kita sudah cukup lihai.”

“Boleh saja. Aku sendiri telah mempelajarimu. Coba kita lebih serius dan menikmati perkelahian ini.”

“Senjata apa yang kau pilih”

“Dua sabit emasku. Kau ?”

“Tombak bajaku.”

Saat itu langit abu-abu. Di tepi laut dengan pantai pasir putih yang luas kami bertemu. Matahari bersembunyi entah di mana. Mungkin dia segan atau malu bahkan bosan melihat kami selalu beradu. Ah, apa peduliku dengan matahari. Aku datang memenuhi perjanjian dengan musuhku.
Kami berdua berkonsentrasi. Jarak tak membuat kami merasa jauh. Dia seperti melekat di tubuhku. Matanya menyatu dengan mataku. Bau tubuhnya menyelimuti tubuhku.

Seperti mendengar satu aba-aba, secara bersamaan kami melompat ke udara. Sambil melayang kami saling serang. Sebuah pukulanku beradu dengan tendangannya. Terbawa tenaga tolakan itu kami berputar dan segera melancarkan serangan selanjutnya. Sikuku melayang menuju tulang iganya. Dia berputar menghindar membuat sebuah tendangan lutut mengarah ke daguku. Aku melingkar ke belakang sambil mencari pinggulnya. Tertangkap dan kuputar sekuat tenaga. Tubuhnya berputar-putar di udara. Melihat itu segera kususul dengan pukulan dua tangan ke dadanya. Kena ! Dia berpilin dan jatuh terseret di pasir. Tak kudengar erangan mulut mungilnya. Hanya suara debur ombak memukul pantai yang tertangkap berderap-derap di telingaku.

Kudekati dia. Kupastikan bahwa dia masih bisa melanjutkan perkelahian ini. Ternyata ini sebuah tipuan. Dia membuat putaran yang bertumpu pada punggungnya. Demikian keras dan bertenaga putaran itu sehingga membuat cekungan di pasir. Tiba-tiba kedua kakinya terangkat. Berputar seperti baling-baling dan mengarah ke kakiku. Dia membuat sebuah serangan sapuan bawah.

Tak urung, serangan itu menerpa tumitku. Kakiku terangkat tinggi. Aku kehilangan keseimbangan. Kupastikan aku tidak salah mendarat. Sejengkal sebelum jatuh di pasir, kulihat cakarnya sudah ada di depan mataku. Tak bisa menghindar, tangan lentik itu berubah menjadi cengkeraman di kedua sisi kepalaku. Lalu dia membuat sebuah lompatan berbalik. Membawa tubuhku melayang di udara. Saat itu kepalaku masih dalam cengekeramannya.

Karena kedua tangannya mencengkeram kepalaku, aku melihat ada sisi terbuka di dadanya dan rusuknya. Kubuat pukulan siku vertikal ke arah ulu hatinya. Rupanya dia telah siap dengan serangan itu. Lutut kirinya terangkat tinggi hingga melindungi ulu hatinya. Sikuku membentur tulang keras yang membuatku ngilu. Dia tertawa.

Sebuah serangan darinya sungguh tak dapat kuduga. Kaki kanannya yang bebas terangkat menuju selangkanganku. Benturan keras terjadi. Seiring dilepaskannya cengkeraman di kelapaku, aku terbanting di pasir. Aku menggeliat, mengerang, merasakan hawa panas yang mengalir di sekujur tubuhku. Selintas kulihat dari mataku yang menyipit, dia tersenyum.

Pelan-pelan aku berdiri. Kupersiapkan lagi serangan ke arahnya. Dengan sebuah dorongan bertenaga aku melompat mendekatinya. Lalu kubuat gerusan melingkar di pasir. Meninggalkan jejak sebuah lingkaran dan mengangkat butirannya ke udara sehingga kuharapkan merusak konsentrasinya.. Aku menggunting kakinya membuat sebuah bantingan. Dia mengantisipasi serangan itu dengan melompat hingga kedua lututnya melindungi dada. Dia kini berada di atasku.

Ini sebuah serangan yang terencana. Setelah kedua kakiku menemui ruang kosong segera kususul dengan pukulan ke arah tulang ekornya yang terbuka. Menghindari pukulanku, dia membuat salto di udara. Aku segera melompat tanpa menunggu dia pada posisi yang sempurna. Tendangan melingkar kuarahkan pada punggungnya. Kini seranganku mengenai sasaran. Dia turun dengan tubuh terhuyung.

Begitu kaki kiriku menjejak pasir segera kugunakan sebagai poros memutar sebuah sapuan ke arah kakinya. Kaki kananku mengenai betisnya sehingga diapun rubuh tengkurap. Dia mengerang. Aku melompat dan hendak menerkamnya. Tapi dia tak menyerah. Dia berguling menghindar. Terkemanku menemui ruang kosong. Tak kuduga, hindarannya meninggalkan dua buah pukulan di betisku. Karena terkemanku tak sempurna, aku jatuh berlutut. Saat itu dengan mudah dia mencengkeram rambutku.

Dia melayang, menyeretku ke sebuah perbukitan kapur. Kudengar dia tertawa kecil. Tubuhku berpilin-pilin. Setiap kali aku mencoba mencari pijakan untuk menjejakkan kaki, disentakkan tarikannya hingga aku kehilangan keseimbangan. Aku hampir tak dapat berbuat apa-apa.

Suasana di perbukitan kapur ini lebih hangat daripada di tepi laut tadi. Di sini kutangkap matahari bersinar dengan gagahnya. Ah, di sini rupanya dia bersembunyi.

Aku masih dalam cengkeramannya. Dalam situasi serba salah seperti itu, tiba-tiba tanganku tak sengaja meraih alang-alang yang tumbuh di sekitar perbukitan ini. Setelah aku menjebol beberapa lembar daunnya yang lebar dan tajam, aku menggunakan alang-alang ini untuk melecut kakinya. Karena tak menduga mendapat serangan tiba-tiba, dia terkejut dan melepaskan cengkeraman di rambutku. Aku terjatuh, tersuruk-suruk di tanah kapur keras. Lalu kami masing-masing mengambil posisi menyerang.

“Bagaimana, kita gunakan senjata ?” Tanyanya.

“Baik. Kalau kamu sudah siap.”

Dia mengeluarkan dua buah sabit emas dari balik bajunya. Digoyang-goyangkan sabit itu hingga membuat pantulan sinar matahari di mataku. Aku sendiri mengeluarkan tombak baja dari punggungku. Kuputar-putar di atas kepala hingga menimbulkan bunyi berdengung keras. Putaran tombak itu membuat angin berputar di sekelilingku. Daun-daun beterbangan, alang-alang merunduk, batu batu kecil bergeser dari tempatnya.

Serempak kami melompat melakukan serangan. Kudengar dua sabit berdesing-desing di udara. Kian lama kian jelas. Kusorongkan tombakku ke depan membuat sebuah tusukan. Di udara, ketika kurasa tombakku sudah masuk jangkauannya, tiba-tiba dia berpilin. Kedua sabitnya menjepit tombakku. Dia mencoba menangkis tombak bajaku dengan cara memilin. Benturan itu begitu kerasnya hingga menimbulkan bunga api yang berhamburan. Aku menyeringai. Kupikir, tenaganya besar juga.

Kucoba melepas jepitan itu tapi dia menahan dan memutarnya. Kurasa satu-satunya jalan adalah mengikuti putarannya. Segera saja kulakukan putaran yang lebih keras pada tombakku. Bunyi gesekan kedua jenis senjata itu semakin keras. Berdesing, berdengung, memancarkan bunga-bunga api ke segala penjuru. Aku tertawa. Kupikir inilah pertempuran sesungguhnya.

Tiba-tiba dia melepaskan jepitan pada tombakku. Dia berputar membelakangiku. Sebuah pancingan supaya aku mengejar dengan sebuah tusukan. Dan akupun terpancing. Kusorongkan tombakku ke tubuhnya. Dia berkelit, memutar dan membuat sapuan bawah dengan sabitnya ke arah pahaku. Kena. Aku mengerang. Sejenak kurasakan hawa panas mengalir dari bawah ke atas kepalaku. Kulihat dia mundur mengambil jarak. Dia tersenyum.

Merasa kian gemas, aku lakukan serangan sambil memutar tombak bajaku di depan dada. Dengan cepat aku melompat maju. Dia menghindar dengan cara melompatiku. Hendak mengambil posisi di belakangku. Sambil melompat, sabitnya membuat tarikan samping yang cepat ke arahku. Aku mengantisipasi serangan balik itu dengan merunduk dan membawa putaran tombakku ke atas kepala. Kembali, kedua senjata itu berbenturan. Suaranya nyaring memantul berkali-kali di bukit kapur.

Ketika jarakku dengannya menjadi cukup jauh, aku melemparkan putaran tombakku ke arahnya. Dengan sebuah gerakan cepat dia menangkis seranganku. Tombak bajaku terpental ke bukit kapur sebelah kiri kami. Kekuatan tenaga putaran tombak itu bertambah bersama tolakkannya. Hingga ketika membentur bukit kapur, senjataku membuat gerusan yang sangat dalam di bukit itu. Serta-merta, bukit itupun bergoyang. Batu-batu berguguran dari atas. Bunyinya bergemuruh. Bukit kapurpun runtuh.

Dia terkejut, tapi tidak demikian halnya dengan aku. Aku tahu, senjataku memang seampuh itu. Kini tombak bajaku telah kembali ke tanganku.

Dia mengambil sikap untuk memulai sebuah serangan. Akupun bersiap menghadapinya kembali. Beberapa langkah cepat dibuatnya untuk mendekatiku. Kusangka dia akan menyabetkan sabit ke arah dadaku, tapi ketika hampir mendekatiku dia berguling dan membuat tendangan ke arah selakanganku. Mendapat serangan seperti itu aku berputar melompat ke atas. Terlambat. Ujung tapak kakinya mengenai sasaran. Lumayan juga. Tendangan ini membuatku meringis.

Lalu dia berputar, bertumpu pada punggungnya dia melompat berdiri dan menyabetkan sabitnya ke kakiku. Aku kembali melompat ke atas. Belum selesai putaranku, kakinya mendarat telak di pinggangku. Terdorong tenaganya, aku jatuh menyusur tanah kapur.

Aku baru sadar saat itu, matahari mulai bergeser melarikan diri. Mungkin karena tak ada lagi tempat baginya untuk sembunyi. Bukit kapur satu persatu kepingannya berguguran. Aku sendiri tak menyangka kalau akibat dari tombak bajaku memberikan efek berantai yang perlahan tapi pasti meruntuhkan perbukitan putih menjulang.

Sejak itu langit berwarna abu-abu berubah merah darah. Bukit kapur yang menjadi latar belakang kamipun telah rata runtuh. Puing berserakan dan debunya bergulung, berpusar ke atas. Menghalangi pandangan kami. Sebentar lagi matahari akan tertutup awan debu itu. Atau matahari yang menghampirinya, aku tak tahu.

Aku telah lelah bertempur. Kurasa, ini adalah sisa-sisa tenaga terakhirku. Aku terduduk diam di atas batu karang yang tersisa. Dia bersimpuh berjarak di depanku, memunggungiku. Dia kelihatan tak lagi bernafsu menyerangku. Akupun demikian. Sungguh. Ini sebuah rangkaian pertempuran yang hebat. Ekspresi wajahnya tak terlihat. Gembirakah dia, sedihkah dia. Aku sendiri sibuk dengan lelahku.



Depok,2003

Kamis, 03 Januari 2008

CERPEN

Cerpen : PERTEMPURAN BAYANG-BAYANG Hal 1

Sekarang. Ijinkan aku meninggalkanmu.

Sejak langit berwarna abu-abu hingga berubah merah darah. Bukit kapur yang menjadi latar belakang kamipun telah rata runtuh. Puing berserakan dan debunya bergulung, berpusar ke atas. Menghalangi pandangan kami. Sebentar lagi matahari akan tertutup awan debu itu. Kami telah lelah bertempur. Aku terduduk diam di atas batu karang yang tersisa. Dia bersimpuh berjarak di depanku, memunggungiku. Ekspresi wajah perempuan itu tak terlihat. Gembirakah dia, sedihkah dia. Aku sendiri sibuk dengan lelahku.

Ini pertempuran kami untuk kesekian kali. Setiap kali bertemu, kami selalu beradu. Sejauh ini, perkelahian beranjak semakin seru. Awalnya kami buta akan kelebihan dan kelemahan masing-masing. Kamipun bertempur seadanya. Aku datang dengan tangan kosong, demikian pula dia. Lalu kami berkelahi membabi buta.

Sejujurnya, saat itu aku tak terlalu berilmu. Entah dia. Setidaknya aku tak punya pengalaman berkelahi sebelumnya. Dalam pertempuran pertama itu aku menanyakan padanya, adakah dia punya pengalaman berkelahi sebelum denganku. Dia tersenyum dan tanpa kusangka dia menjawab dengan mengeluarkan sebuah tendangan sabit menderu-deru memutar debu. Mataku kelilipan. Katanya, lihat saja, aku akan menikmati perkelahian ini.

“Jadi, kau pernah melakukannya sebelum ini”.

“Tak seserius ini,” katanya. ”Hanya perkelahian pura-pura.”

“Dengan siapa ? musuh-musuhmukah ?”

“Ya, beberapa orang. Bahkan beberapa mungkin kau kenal. Bagaimana denganmu ? ”

“Aku juga berkelahi. Tapi hanya dalam dunia khayalku. Aku belum pernah berkelahi sesungguhnya.”

“Silakan memulai,” pintanya.

Saat itu, dengan cepat kuseret dia ke sebuah lembah. Kuserang dia dengan sebuah tabrakan yang bertenaga. Dia terbang mengerang. Menghantam dinding jurang berlumut. Tubuhnya terkulai sebentar lalu bangkit menatap mataku dalam-dalam. Tiba-tiba dia……
Bersambung hal 2